Kisah Tragis Angeline

Ani Sri RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Tragedi yang menimpa Angeline, anak perempuan manis berusia 8 tahun yang dibunuh di Denpasar, Bali, membuat kita sedih, trenyuh, masygul, dan geram. Simpati, duka, dan doa masyarakat untuk arwah Angeline adalah wujud keprihatinan kita. Mengapa peristiwa tragis itu masih terjadi di sekitar kita? Sungguh amankah lingkungan anakanak kita?
Sebelum peristiwa tragis yang menimpa Angeline mencuat di media massa, sudah banyak peristiwa kekerasan dan kekejaman terhadap anak-anak. Masyarakat juga belum lupa akan kasus anak-anak yang ditelantarkan sendiri oleh ayah ibu mereka. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, kasus kekerasan pada anak di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun.
Pelindungan Hukum Anak
Peristiwa tragis yang menimpa Angeline seharusnya menggugah perhatian masyarakat bahwa perlindungan pada anak-anak adalah persoalan serius bagi bangsa ini. Angeline tewas mengenaskan, padahal setiap hari orang-orang di sekitarnya melihat bocah cilik itu mengalami kondisi perlakuan yang tidak wajar. Mengapa lingkungan hanya bungkam?
Kita tidak hendak mempersalahkan orang-orang di sekitar Angeline. Para guru dan lingkungan sekolah sudah berbuat yang terbaik untuk dia. Hanya saja, penyesalan tetaplah muncul ketika pada akhirnya Angeline harus ditemukan dalam keadaan terbunuh. Ini pula saatnya masyarakat Indonesia menggugat diri sendiri agar tidak terulang kembali tragedi itu di masa depan. Ketika lingkungan membiarkan penderitaan Angeline dan akhirnya kematian seakan menjadi jalan keluar bagi anak itu, ketika itu pula penyesalan kita membuncah. Polisi tentu harus mengungkap kasus itu seterang-terangnya agar kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum kembali pulih. Mungkin saja, sikap diam lingkungan dikarenakan tidak percaya pada aparat.
Hikmah dari tragedi Angeline, publik dan pemerintah harus jujur dan membuka mata pada kedaruratan perlindungan anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan, setiap tahun telah terjadi 3.700 kasus kekerasan terhadap anak. Mengandalkan pada aparat saja sudah pasti tidak cukup. Warga harus kembali terlibat dan peduli terhadap situasi lingkungan.
Memang, sejauh ini polisi baru menetapkan satu tersangka yang merupakan karyawan baru di rumah Angeline. Namun, jika saja kepekaan sosial di sekitarnya lebih kuat dan proaktif, bukan tidak mungkin Angeline bisa keluar dari situasi yang memang tidak memberikan perlindungan padanya. Angeline yang tidak terurus ibarat domba yang hidup di luar pagar. Ia pun menjadi mangsa yang empuk bagi mereka yang bejat. Dari sini pula maka sudah sepantasnya polisi terus mengintensifkan penyelidikan. Tidak hanya pada pelaku pembunuhan, hukum juga semestinya mengadili orang-orang yang membuat atau membiarkan bocah itu dalam situasi membahayakan. Lebih jauh, peraturan dan sistem perlindungan terhadap anak sudah sepantasnya diperbaiki. Memang tahun lalu undang-undang perlindungan anak telah diubah, yakni melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2001 tentang Perlindungan Anak.
Salah satu perubahan ialah mengenai pidana penjara terhadap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak. Pada UU 23/2001 pelaku dapat dipidana 10 tahun jika menyebabkan kematian anak, sedangkan pada UU 35/2014 pelaku dapat dipidana 15 tahun. Namun, dengan terus naiknya angka anak korban kekerasan, banyak pihak pun menyerukan hukuman yang lebih berat. Komnas Anak mencatat, pada 2013 jumlah pengaduan kekerasan anak sebanyak 3.023 kasus. Angka itu meningkat 60 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Ironisnya, kasus-kasus kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya melindungi anak seperti orang tua, paman, guru, orang tua angkat ataupun tiri. Kasus Angeline memang sudah sepatutnya menjadi godam untuk pemberantasan kejahatan terhadap anak. Fakta tersebut mengungkap gagalnya negara, pemerintah, masyarakat, dan orang tua melindungi serta menghormati hak anak di Indonesia. Kita sebagai masyarakat terlalu sibuk dengan urusan sendiri.
Negara yang seharusnya melindungi dan memelihara mereka terlalu sibuk mengurusi hal-hal besar, seperti urusan politik, skandal korupsi, dan ekonomi bangsa. Negara belum maksimal melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan. Fakta ini juga bertentangan dengan program Kabupaten/Kota Layak Anak yang sering didengungkan pemerintah. Pemerintah dianggap tidak terbuka dan tidak merespons secara proporsional kasus-kasus pelanggaran hak anak.
Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan produk hukum untuk melindungi anak. UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga lain berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berha­dapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas yang terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, serta anak yang diperdagangkan.
Perlindungan juga wajib diberikan kepada anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotik, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak yang menyandang cacat, serta anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Saat ini terdapat sekitar 84 juta anak-anak Indonesia, dan setiap tahunnya lahir sekitar 4 juta-5 juta anak. Mengingat jumlahnya yang sangat besar dan merupakan generasi penerus bangsa, perhatian dan perlindungan terhadap anak Indonesia mutlak harus dilakukan. Perlindungan anak tentu menjadi tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan negara.
Elemen Perlindungan Anak
Potret hitam kasus kekerasan anak tentu mengusik kita semua. Perlindungan anak tentu menjadi tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan negara. Adapun tanggung jawab pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak anak seba­gai bagian dari warga negara. Sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk melindungi anak, pemerintah memang sudah membentuk UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana penulis sebutkan diatas. Pemerintah, dalam hal ini Departemen (Kementerian) Sosial serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mestinya berada di barisan terdepan dalam menyelamatkan mereka. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan Nasional harus dilibatkan.
Terpenting, hak-hak dasar anak sebagaimana amanat konstitusi harus dipernuhi negara. Ada empat jenis hak dasar anak, meliputi hak hidup, hak untuk tumbuh dan kembang secara optimal, hak untuk berpartisipasi, dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari bermacam bentuk kekerasan dan penelantaran.
Bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anak dapat diwujudkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, pemberian pendidikan, pengenalan etika dan sopan santun, pemberian bekal agama yang baik, dan perlindungan jiwa raganya. Tanggung jawab masyarakat adalah menciptakan lingkungan interaksi sosial yang positif sehingga anak bisa bersosialisasi dengan baik bersama dengan teman-temannya maupun lingkungan sekitarnya.
Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak pelanggaran hak anak seperti tindak kekerasan (child abuse), diskriminasi, trafficking, dan perlakuan salah lainnya. Karena pembiaran dan impunity atas pelanggaran hak-hak anak adalah refleksi rendahnya derajat keberadaan dan lemahnya empati kemanusiaan oleh negara.
Sinergi antara orang tua, masyarakat, LSM, dan pemerintah harus terus dilakukan dalam melindungi anak. Pemerintah bersama masyarakat luas harus kerja ekstra dalam upaya penyediaan dana, kepedulian, masalah keamanan, perbaikan nasib (perekonomian, pendidikan, kesehatan rakyat) merupakan faktor penting mengatasi persoalan potret hitam kekerasan anak di atas.

                                                                                                                   ————- *** ————-

Rate this article!
Kisah Tragis Angeline,5 / 5 ( 1votes )
Tags: