Kunci Sukses SMK di Era Revolusi Industri 4.0

Oleh :
Hafis Muaddab
SMK Negeri 1 Jombang 

Semua negara masih mempelajari implementasi sistem Industry 4.0, sehingga dengan penyiapan peta jalannya, Indonesia berpeluang menjadi pemain kunci di Asia.
Kementerian Perindustrian telah merancang Making Indonesia 4.0 sebagai sebuah roadmap (peta jalan) yang terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki era Industry 4.0.
Guna mencapai sasaran tersebut, langkah kolaboratif ini perlu melibatkan beberapa pemangku kepentingan, mulai dari institusi pemerintahan, asosiasi dan pelaku industri, hingga unsur akademisi.
Pada revolusi industri keempat, menjadi lompatan besar bagi sektor industri, dimana teknologi informasi dan komunikasi dimanfaatkan sepenuhnya.Tidak hanya dalam proses produksi, melainkan juga di seluruh rantai nilai industri sehingga melahirkan model bisnis yang baru dengan basis digital guna mencapai efisiensi yang tinggi dan kualitas produk yang lebih baik.
Mengingat bahwa implementasi Industry 4.0 tidak hanya memiliki potensi luar biasa dalam merombak aspek industri, bahkan juga mampu mengubah berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Kita punya pasar dalam negeri yang kuat, dan punya banyak talenta dari jumlah universitas yang ada, sehingga tersedianya pool of talent.
Babak Baru Vokasi
Untuk diketahui semua bahwa vokasi Indonesia memasuki babak baru. Seiring adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan. Menjadi martir pendobrak kebekuan pendidikan vokasi selama ini. Tak bisa dihindari Revolusi Industri 4.0 membuat teknologi “desruptif: yang luar biasa dahsyat dan membuat turbulensi kehidupan baru, serta persaingan global yang makin berat. Karenanya program revitalisasi SMK diharapkan dapat mendongkrak kualitas tenaga kerja Indonesia yang sekarang statistiknya masih menggelembung di tingkat bawah dengan tingkat pendidikan mayoritas pendidikan dasar.
Revitalisasi SMK diharapkan mampu memberikan dampak positif terhadap peningkatan mutu SMK dengan dua orientasi baru.
Pertama, mengantisipasi datangnya gelombang Revolusi Industri 4.0 dengan segala teknologi desruptif yang menyertainya. Dengan cara memperkokoh jalinan SMK dengan dunia usaha dan industri. Kedua, orientasi pengembangan keunggulan potensi wilayah sebagai keunggulan nasional untuk menciptakan daya saing bangsa. Dengan cara mendongkrak keunggulan lokal menjadi keunggulan global.
Pekerjaan Rumah Belum Selesai
Aneh rasanya apabila institusi yang bertujuan untuk mengurangi pengangguran dengan pendidikan kejuruan (spesialisasi), justru memberikan sumbangsih pengangguran tertinggi dari pada institusi lainnya. Ironisnya, institusi tersebut sudah memiliki standarisasi pendidikan kompetensi yang dibutuhkan di pasar tenaga kerja kelas bawah yang justru terjerembab di jurang pasar tenaga kerja.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, pendidikan menengah baik SMA dan SMK menjadi kontributor utama TPT. Pada lulusan kejuruan (SMK), sebesar 11,24 persen melonjak dari bulan Februari tahun ini yang sebesar 8,92 persen. Kenaikannya tidak tanggung-tanggung, kurang lebih 3 persen dalam jangka waktu kurang lebih 6 bulan. Kabar baiknya angka tersebut turun jika dibandingkan dengan Agustus tahun lalu yang sebesar 11,41 persen.
Berdasarkan Brief Notes yang dirilis oleh Lembaga Demografi FEB UI (2017), tingkat pengangguran tertinggi berasal dari jurusan Teknik Komputer dan Informatika sebesar 24,53 persen, Teknik Otomotif sebesar 17,94 persen, Teknik Perminyakan sebesar 14,67 persen, Teknik Elektronika sebesar 13,27 persen dan Teknik Furnitur sebesar 12,88 persen.
Kondisi ini mendesak untuk diperbaiki dengan adanya peta kompetensi Industri oleh pemerintah provinsi sebagai leading sektor pembinaan SMK. Persoalan program link and match pada kurikulum SMK tidak bisa hanya diserahkan kepada sekolah saja. Hal ini harus menjadi program kerja lintas sektor dan tentu hanya bisa diwujudkan dengan intervensi pejabat publik.
Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa teknologi melengkapi keahlian dari tenaga kerja dan menyebabkan pencabangan keahlian yaitu yang rendah (Skillless) dan keahlian yang kompleks (Advance Skill) yang pada akhirnya menciptakan bias antara tenaga kerja yang berada di Negara berkembang.
I.4 akan memaksa para pekerja memiliki keterampilan tinggi dan berpendidikan baik (Golden and Katz, 2007) sehingga tidak hanya menuntut keterampilan seorang teknisi motor yang sebatas mengganti bagian-bagian mobil/motor melainkan menguasai sistem komputer yang dimiliki mobil/motor tersebut (sebagian mobil/motor telah menerapkan sistem komputerisasi).
Solusi Jangka Panjang Itu Ada
Di era digital sebenarnya job fair yang dilakukan oleh Dinas tenaga kerja seharusnya juga berkembang menuju platform digital. Sebagai contoh, apa yang telah dilakukan oleh Ryn Gondokusumo pendiri Sribu.com dan Sribulancer.com Melalui website tersebut, sangat membantu kita dalam hal penyediaan desain dan penyedia jasa pekerja freelance.
Melalui situs ini sangat mudah sekali untuk mengorder kebutuhan desain logo, web atau juga sekedar mendaftar sebagai salah satu desainernya. Coba desain ini bisa diaplikasikan dalam bursa kerja milik Disnaker, tentu akan luar biasa dalam pengendalian tenaga kerja dan angka pengangguran di Indonesia.
Saat ini, setidaknya ada 144 kompetensi keahlian yang ada di pendidikan vokasi di Indonesia dengan 5 jurusan dengan murid terbanyak antara lain Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan sebanyak 578.000 murid, Teknik Kendaraan Ringan 574.000 murid, Akuntasi 430.000 murid, Administrasi Perkantoran 428.000 murid, dan Teknik Sepeda Motor 270.000 murid. Kelima jurusan tersebut berkontribusi 54,9% dari total murid vokasi di Indonesia. Tentu perlu terobosan untuk memaksimalkan penyerapan tenaga kerja dari sektor ini.
Ide penyesuaian antara keterampilan SMK dan potensi suatu daerah menjadi solusi logis hari ini. Jika sistem ini diterapkan maka pemerintah daerah harus paham potensi yang dimiliki daerahnya.
Setelah itu berkordinasi dengan SMK yang berada di daerah tersebut dan memfokuskan pada pengembangan keterampilan di bidang sesuai potensi daerah. Akan tetapi saat ini setiap pemda masih memiliki pekerjaan rumah dasar yang harus diperbaiki sebelum menerapkan sistem tersebut.
Pertama, perbaikan perbukuan dan terlalu teoritisnya kurikulum SMK. Pelajaran di SMK sampai saat ini masih sangat teoritis, beberapa kali perubahan tidak menjadikannya menjadi lebih tajam tetapi malah menjadikannya padat teori daripada praktek. Disisi lain, sebagai pengajar di SMK Anda tentu dapat merasakan sendiri sulitnya ketersediaan buku hingga jobsheet. Kedua, penambahan jumlah guru pengajar SMK sistem pendataan pemerintah. Data pengambilan kebijakan harus akurat, oleh sebab itu pendataan harus ditingkatkan oleh masing-masing pemda. Ketiga, ketidakmerataan infrastruktur. Infrastruktur menjadi kunci penting aksesbiltas jalur distribusi. Pemerataan infrastruktur yang baik akan mengurangi biaya ekonomi yang tinggi (High Cost Economy). Keempat, penyederhanaan regulasi dan pengalokasian CSR perusahaan dalam pengembangan SMK. Tumpang tindih regulasi menjadi masalah diberbagai daerah. Termasuk terhadap bagaimana perusahaan terlibat dari hulu hingga hilir dalam distribusi lulusan SMK untuk bisa diakses perusahaan yang membutuhkan.

——- *** ——

Tags: