Marak Kasus Bullying di Sekolah, Orang Tua dan Guru Minim Pemahaman

Pakar psikologi anak Unesa Riza Noviana Khoirunnisa

Surabaya, Bhirawa
Terjadinya bullying masih banyak terjadi di lingkungan sekolah. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 17 kasus perundungan di sekolah, mulai siswa SD hingga SMA. Baru – baru ini, salah satu siswa SD di Tasikmalaya meninggal dunia diduga karena depresi lantaran jadi korban perundungan teman – temannya di sekolah.
Terkait masih banyaknya bullying ini, Pakar Psikologi Anak Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Riza Noviana Khoirunnisa SPsi MSi menyebut, fenomena bullying seperti epidemi atau penyakit menular dengan cepat yang menimbulkan banyak korban. Kasus perundungan terus meningkat setiap tahunnya.
Riza sapaan akrabnya mengungkapkan, banyak faktor yang menyebabkan kasus bullying. Namun, yang sering ditemukan yaitu adanya ketidakseimbangan antara pelaku dengan korban. Bisa berupa ukuran badan, fisik, kepandaian komunikasi, gender hingga status sosial. Selain itu, adanya penyalahgunaan ketidakseimbangan kekuatan untuk kepentingan pelaku dengan cara mengganggu atau mengucilkan korban.
“Penyebab lain yang menyertai biasanya terkait lingkungan pergaulan yang salah dan pengaruh teman sebaya dan lain-lain. Karena untuk usia SD, anak ada di fase ketekunan versus rendah diri. Percaya diri vs rendah diri sering terjadi di sekolah,” ujar dosen Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) .
Selain itu, bullying kurang mendapat perhatian sehingga jatuh korban. Perhatian yang kurang ini bisa disebabkan karena efek bullying yang tidak tampak secara langsung.
“Banyak korban yang tidak melapor entah itu karena takut, malu atau diancam maupun karena alasan yang lain. Ini yang menyebabkan kasus bulliying tidak terselesaikan,” katanya.
Riza melanjutkan, secara kasat mata bullying tampak seperti guyonan biasa kepada anak-anak. Jangan kira ini tidak menimbulkan dampak serius. Ejekan atau olokan secara verbal sangat berbahaya bagi anak.
“Biasanya orang tua dan guru menganggap teguran sudah cukup untuk mengakhiri candaan di sekolah. Padahal, ini sebenarnya luka psikis atau emosional yang lebih dalam serta menyakitkan dan efeknya bisa jangka panjang,” tegasnya.
Kemudian juga karena minimnya pengetahuan guru dan orang tua tentang bullying dan dampaknya terhadap anak. Pengetahuan ini sangat penting untuk melihat apakah masalah di sekitar anak serius atau tidak.
Riza memaparkan, bagi anak yang menjadi korban, tentu saja berdampak pada masalah kesehatan mental mereka. Anak merasa terisolasi secara sosial, tidak memiliki teman dekat atau sahabat dan tidak memiliki hubungan baik dengan orang tua.
“Ini bisa menjadi trauma panjang. Trauma ini mempengaruhi penyesuaian diri anak dengan lingkungan, terutama sekolah,” urainya.
Beberapa penelitian juga menunjukkan, bullying menjadi faktor utama yang bisa mempengaruhi prestasi akademik hingga putus sekolah.
Bagi anak yang menjadi pelaku, bullying bisa membuat si pelaku memiliki empati yang minim dalam interaksi sosial. Biasanya mengalami perilaku abnormal, hiperaktif hingga prososial. Ini berkaitan dengan respons pelaku terhadap lingkungan sosial sekitarnya. Juga ada, anak yang jadi korban plus jadi pelaku bullying. Ini tingkat gangguan mentalnya menjadi lebih besar.
“Anak – anak di level ini merupakan individu yang mengalami prososial, hiperaktif. Ini menjadi lebih besar dan lebih mengkhawatirkan. Karena itu perlu perhatian dan tindakan yang tepat dari sekolah maupun orang tua,” tandasnya.
Dalam penyelesaian kasus bullying ini, Riza berpendapat, jika iklim sekolah harus diperhatikan. Sekolah harus punya program pencegahan, intervensi maupun sosialisasi yang efektif. Sinergi antara sekolah dan orang tua sangat penting dibangun dan diperkuat lagi. Komunikasi yang aktif anatara sekolah dan orang tua penting dilakukan.
“Orang tua perlu mengetahui detail informasi mengenai perkembangan sekolah dan anak mereka. Jika perlu sekolah punya divisi khusus yang menangani komunikasi dengan orang tua. Sekolah bisa membuka hotline yang setiap saat bisa orang tua hubungi. Bisa juga sekolah membuat website interaktif,” paparnya.
Hal lain yang penting diperhatikan juga yaitu memperbaiki komunikasi antara orang tua dan anak di rumah. Pola asuh yang baik adalah yang bisa memberikan kesempatan kepada anak mengungkapkan apa yang ada di pikiran dan hatinya. [ina.fen]

Tags: