Media Sosial dan Ancaman Generasi yang Hilang

Dewi Ayu Larasati

Oleh :
Dewi Ayu Larasati
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya ; Alumni Pascasarjana Universitas Sumatra Utara

Suatu bangsa akan menjadi besar dan bermartabat dalam peradaban dunia apabila generasinya memiliki karakter yang baik. Sebaliknya, suatu negara akan mengalami kemerosotan peradaban akibat kehilangan generasi (lost generation) yang punya integritas dan karakter mulia.

Bangsa ini kini tengah terancam hilangnya generasi (lost generation). Kemajuan teknologi yang begitu pesat tidak berbanding lurus dengan kondisi moral generasi muda. Ketergantungan generasi muda pada teknologi membuat mereka lupa pada hakikat hidup. Teknologi hanya dijadikan alat untuk memuaskan kesenangan pribadi tanpa memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan.

Menurut John Naisbit dalam bukunya High Tech, High Touch (1999), hal ini diistilahkan dengan zona mabuk teknologi, dimana masyarakat berada pada suatu hubungan yang rumit dan sering sekali bertentangan antara teknologi dan pencarian masyarakat akan makna. Hal inilah yang menggiring manusia untuk menyukai budaya instan, ekstrem, serta sulit membedakan antara yang nyata dan semua, yang benar ataupun yang salah.

Potensi lost generation semakin terbuka, seiring pesatnya teknologi informasi bernama media sosial. Saat ini, anak berinteraksi dengan media sosial bukan hal baru lagi. Interaksi tersebut semakin bertambah pada dua tahun belakangan ini, kala segala aktivitas semakin banyak dilakukan secara daring akibat pandemi Covid-19.

Berdasarkan hasil riset bertajuk ‘Neurosensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids’ oleh perusahaan riset independen berbasis kecerdasan buatan (AI), Neurosensum terungkap bahwa rata-rata anak Indonesia mengenal media sosial di usia 7 tahun. Dari 92% anak yang datang dari keluarga berpenghasilan rendah, 54% di antaranya diperkenalkan ke media sosial sebelum mereka berusia 6 tahun.

Merebaknya media sosial di era digital tentunya membawa dilema. Di satu sisi jika generasi muda menolak terhadap realitas perkembangan digital yang kian pesat dan cepat, maka dipastikan akan tertinggal. Namun hal tersebut juga menjadi ancaman ketika konten-konten yang ditampilkan begitu menyesatkan dan tak ramah anak. Hal ini tentunya berdampak buruk pada perilaku dan budaya hidup, sehingga banyak anak yang terpapar menjadi korban atau bahkan pelakunya.

Kita lihat saja bagaimana saat ini konten-konten negatif di media sosial semakin mudah untuk diakses tanpa terkurasi seperti pornografi, pornoaksi, perundungan, dan juga tindakan asusila lainnya. Tak hanya itu, game kekerasan tengah menjadi bisnis besar. Produser game tidak membuat kategori game berdasarkan umur, bahkan tanpa sensor. Alhasil, mereka membuat produk seenaknya, demi keuntungan bisnis semata.

Demikian pula halnya hedonisme dan budaya instan tak terbendung. Hal-hal sensitif yang menyangkut konten kontroversial seperti menceritakan aib diri sendiri maupun orang lain, atau konten “settingan” dan juga ‘prank’ (lelucon negatif) menjadi hal lumrah untuk ditampilkan atau dijadikan materi. Tidak peduli apakah hal tersebut dapat merusak moral, yang penting tercapainya kepuasan untuk mengekspos diri ke publik hingga bahkan menjadi terkenal.

Benar juga apa yang ditulis Profesor Ariel Heryanto dalam bukunya ‘Identitas dan Kenikmatan’, bahwa teknologi menyediakan kenikmatan mengakses dengan kecepatan, kemudahan sarana dalam menyunting, berkomentar, berbagi pengalaman di mana saja dan kapan saja (2018:163).

Kasus bullying (perundungan) anak di Tasikmalaya yang baru-baru ini terjadi juga terkait dengan handphone dan media sosial. Seorang bocah 11 tahun berinisial PH menjadi korban perundungan sekelompok anak lain untuk melakukan aktivitas ekstrem yakni menyetubuhi kucing. Akibat perundungan itu, bocah yang masih duduk di kelas 6 SD tersebut depresi dan meninggal dunia.

Demi viral di dunia media sosial, beberapa orang remaja di kota Tangerang, Banten kerap melakukan aksi berbahaya dengan menabrakkan diri ke truk. Aksi cegat truk memang menjadi semacam trend di kalangan pemuda beberapa waktu terakhir ini. Banyaknya korban berjatuhan, tak membuat para pemuda ini untuk menghentikan aksi cegat truk untuk konten di media sosial.

Ada juga sebuah video yang menampilkan sekelompok remaja sengaja merusak fasilitas umum di Taman Wisata Kota Rebah, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (dikutip dari tribunjambi.com, 2/7/2022). Alasannya tak lain adalah demi konten.

Fakta tersebut menunjukkan bangsa ini kini tengah terancam lost generation akibat salah kaprah pemanfaatan teknologi. Inilah generasi yang hilang (lost generation), generasi yang tidak diwariskan nilai, etika, moralitas, akhlak, serta budaya luhur bangsa.

Faktor Sensasi dan Viral
Media sosial telah merubah perilaku dan kepribadian generasi muda. Betapa sekarang kaun muda kecanduan media sosial demi kata magic ‘sensasi’ dan ‘viral’ atau populer.

Secara psikologis, dalam tubuh setiap manusia mengalir hormon adrenalin, yang membuat seseorang memiliki gairah untuk merasakan sensasi tantangan. Masa remaja, adalah masa di mana produksi hormon ini meningkat tajam, sehingga keinginan untuk cenderung melakukan tingkah laku yang berisiko menjadi hal yang biasa. Menurut Zuckerman (dalam Arnett, 1999), remaja yang besar kemungkinannya mencoba tingkah laku berisiko tersebut adalah remaja yang memiliki kesenangan untuk mencari sensasi dan remaja yang memiliki kecenderungan untuk menuruti kehendak sesaat (impulsivity).

Semakin menggeliatnya media sosial, secara tidak sadar, menggiring kaum muda untuk berlomba mengenalkan diri. Media sosial yang cenderung tidak terkurasi, menjadi saluran yang dianggap tepat untuk mengekspresikan diri. Mereka pun rela menciptakan sensasi hanya untuk terkenal, mendapatkan follower, mendapatkan endorse, dan keuntungan lainnya entah itu bersifat material atau kepuasaan hawa nafsu sesaat.

Selain itu, remaja suka mendapat perhatian sehingga mendadak viral atau populer membuat mereka senang sekaligus bangga. Karena sifat mereka yang cenderung mengambil keputusan berdasar emosi, mereka pun kurang memikirkan konsekuensi dari keputusan maupun tindakannya. Walaupun mereka paham jika melakukan tindakan kriminal adalah perbuatan salah, namun mereka tetap melakukan hal tersebut karena ingin terlihat eksis.

Penyalahgunaan produk teknologi tersebut telah mengacaukan kebenaran karena viral dianggap lebih penting daripada kualitas informasi dan etika. Oleh media sosial, kita digiring pada framing bahwa apa yang sedang populer adalah yang patut dilihat. Hal ini besar dampak perusakannya terhadap pendidikan karakter, karena teknologi tidak mengimplikasikan tanggung jawab moral.

Kaum muda pun menjadi lebih tertarik mencari ‘jalan pintas’ ketimbang menghargai sebuah proses, mendahulukan penampilan ketimbang substansi, mengutamakan kesenangan daripada pengetahuan. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya ‘Dunia yang Dilipat’ menyebut, kondisi yang mewarnai kehidupan kontemporer kita adalah cepatnya informasi dan citraan tetapi terjadi pendangkalan makna (1998:132).

Perlunya Kecerdasan Digital
Menyikapi makin maraknya konten di media sosial yang melibatkan anak-anak dan materinya tak ramah serta tak layak untuk mereka, perlu adanya langkah guna meminimalisir dampak negatif media sosial terhadap perkembangan anak. Hal tersebut tentunya membutuhkan penanganan yang komprehensif dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat.

Kecerdasan digital perlu ditingkatkan agar penggunaan media sosial tepat sasaran dan membentuk karakter yang baik pada anak. Istilah kecerdasan digital ini awalnya diperkenalkan oleh DQ Institute sekitar tahun 2016 yang berarti jumlah keterampilan sosial, emosional, dan kognitif yang memungkinkan orang untuk memenuhi tantangan dan tuntutan kehidupan digital.

Kecerdasan digital menuntut individu bertanggungjawab dan percaya diri menghadapi tantangan dan tuntutan di era digital. Untuk itu, edukasi dan sosialisasi sedini mugkin dari semua pihak terhadap generasi muda harus menjadi prioritas karena kecenderungan penyerapan informasi anak-anak masih sangat baik.

Dengan kecerdasan digital, generasi muda diharapkan mampu mengelola risiko dunia digital, berpikir kritis, bertindak etis dan mengedepankan empati dalam setiap tindakannya. Bangsa ini pun tentunya tidak akan pesimis terhadap ancaman generasi yang hilang atau lost generation.

———– *** ———–

Tags: