MELEMBAGAKAN EKOSPIRITUALITAS BUMI

Oleh:
Rachmad K Dwi Susilo, MA, Ph.D
Dosen Sosiologi Lingkungan dan Kebencanaan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Alumni Public Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo, Jepang

Setiap 22 April warga dunia memeringati Hari Bumi. Peringatan ini menjadi momen tepat kita refleksi ekologis dan sosial di tengah krisis dan kerusakan bumi hari ini yang kian memprihatinkan. Kondisi bumi semakin memburuk sejak 2014. Badan kelautan dan atmosfer Amerika Serikat (NOAA) menyatakan bahwa 2013-2021 merupakan sepuluh tahun terpanas. Juga, menurut Organisasi Meteorologi Dunia, kita sekarang secara resmi berada di wilayah yang belum dipetakan dengan perubahan iklim (greenpeace.org). Dampak anomali ini kian nyata, perubahan iklim memangkas produksi jagung dan gandum di Eropa selatan sampai separo pada pertengahan abad ke-21 (Gates, 2021). Kemudian berbagai bencana hidrometereologis melahirkan kesengsaraan di semua belahan bumi.
Bumi semakin rusak juga disebabkan masalah pencemaran. Laporan Ecoton terbaru menyatakan bahwa empat sungai besar di Jawa (Sungai Brantas, Sungai Bengawan Solo, Sungai Citarum dan Sungai Ciliwung) tercemar mikroplastik. Sementara itu, dalam perspektif global kita masih belum beranjak dari masalah perubahan iklim (climate change). Bumi semakin menua dan panas, terjadi kenaikan suhu dan mencairnya es di permukaan bumi.
Komunitas dunia menanggapi persoalan ini dengan menggalang upaya-upaya pengurangan dampak dari perubahan iklim. Penyusunan kesepakatam dan kerja sama global dirintis untuk kebijakan pengurangan emisi karbon dan pengarusutamaan ekonomi hijau. Dalam forum dunia Indonesia termasuk negara aktif yang menyuarakan ekonomi ramah lingkungan. Sekalipun demikian, langkah komunitas dunia perlu diimbangi penguatan etika lingkungan. Karena ia merupakan fondasi dari perilaku sosial.

Kerusakan Bumi dan Ekospiritualitas
Perilaku manusia sejatinya kompleks dan tidak mudah dijelaskan. Pendekatan sosiologi dan politik menyatakan bahwa penyebab utama kerusakan bumi yakni ulah dan perilaku manusia yang abai ekologi. Ia menolak pendekatan determinis lingkungan yang menganggap semua kejadian alam dan perubahan lingkungan mutlak disebabkan oleh alam. Pandangan ini menegasikan manusia sebagai makhluk pasif yang pasrah menerima takdir perubahan alam itu. Sejatinya, etos masyarakat modern melegitimasi eksploitasi.
Sumber daya alam dikeruk dengan tidak memperhatikan keberlanjutan. Atas nama kemajuan ilmu pengetahuan dan pertumbuhan ekonomi, sumber daya alam dieksploitasi demi kepuasan manusia. Perilaku rusak yang berada dalam tataran global terkait erat struktur saling yang saling bergantung dan saling sandera.
Kini kita membutuhkan refleksi ekologis dan praktik konservasi aktor-aktor komunitas tingkat lokal sampai global. Untuk itu kesadaran atas persoalan bumi harus mendorong praktik-praktik ekologis. Disinilah spiritualitas menemukan posisinya. Spiritualitas menunjuk sumber non material yang berpartisipasi pada kemunculan atau evolusi alam melalui makna pengalaman manusia, nilai dan tujuan yang tidak dapat direduksi pada fungsi dunia material (Smith, 2009). Spiritulitas yang mengajak penyelamatan bumi dinamakan eko-spiritualitas. Eko-spiritualitas ini didasarkan pada keyakinan fundamental pada kesakralan alam, bumi dan jagat semuanya. Ia ditemukan baik pada agama maupun keyakinan adat tertentu.
Kedua sumber kultural tersebut membekali ekospiritualitas yang mengatur etika keharmonisan relasi harmonis antara lingkungan yang terlihat (profan) dengan yang tidak terlihat (ghaib). Tidak ada dikotomis saling meniadakan relasi lingkungan. Dalam agama misalnya kita menemukan hadits nabi yang mengajarkan etika keseimbangan eko-spiritualitas. “Ada tiga hal yang menjernihkan pandangan yaitu menyaksikan pandangan pada yang hijau dan asri, pada air yang mengalir dan pada wajah yang rupawan” (H.R. Ahmad).
Hadits nabi juga menasehati perlakuan manusia pada lingkungan “takutlah tiga perkara yang menimbulkan laknat. Buang air disaluran air (sumber air), di tengah jalan dan tempat orang berteduh” (H.R. Abu Dawud). Kemudian, berwudhu cukup sekali membasuh anggota badan, yang kedua dan ketiga adalah Sunnah. Buang air besar/kecil tidak boleh di air yang menggenang karena kotoran akan mencemari air yang tergenang tersebut.
Kontribusi ekospiritualitas agama dalam bentuk teologi atau fikh lingkungan membekali nilai dasar, prinsip universal dan rumusan norma yang benar. Misalnya, fikh yang membahas kosmologi pengelolaan, pemanfaatan dan solusi permasalahan lingkungan kontemporer.
Bentuk-bentuk ekospiritualitas seperti etika yang mengajarkan kesederhanaan dan penghormatan pada makhluk-makhluk lain, penjelas atas kemunculan bencana, tindakan-tindakan mitigasi, penanganan korban bencana, dan lain-lain.Etika memuat kaidah pergaulan sehari-hari sejak muslim bangun tidur begaul di masyarakat hingga berwasiat (Mangunjaya, 2021).
Geertz (1971) menyatakan bahwa agama menyatu dengan masyarakat yang menekankan pada makna dan simbol-simbol untuk menguatkan suasana hati yang berkepanjangan, meresap, memiliki kekuasaan, konsepsi atas keteraturan umum dari eksistensi dan konsepsi ini dengan sebuah fakta yang selera dan dorongan terlihat realistis dan unik.
Potensi untuk melembagakan agama dalam konservasi air terbuka lebar mengingat kapasitas agama dalam membentuk kosmologi (pandangan dunia) sejalan dengan visi ekologis, otoritas moral, basis pengikut yang besar, sumber daya materi yang signifikan dan kapasitas membangun komunitas.
Kini yang dibutuhkan objektivasi nilai-nilai sosial yakni pesan-pesan spiritualitas yang disebarkan kepada manusia baik penganut atau bukan penganut. Pesan-pesan universal menjangkau publik dalam wilayah luas dan lebih banyak. Pesan-pesan agama tidak hanya berlaku bagi kelas bawah atau menengah ke atas, tetapi masyarakat lintas strata. Komunitas bumi menerima pesan-pesan ini bukan diikat sektarianisme dan primordialisme tetapi karena solidaritas ekologis sebagai sesama warga bumi yang peduli.
Indonesia negara yang kaya dengan spiritualitas, eko-spiritualitas tidak hanya pada agama, tetapi juga pada kepercayaan masih kuat dianut komunitas-komunitas lokal berbasis adat. Ia bagian melekat dan rujukan dalam mengelola hidup di komunitas. Dalam terminologi Sosiolog Robert K. Merton (1968) adat merupakan sebagai kondisi yang tidak terelakkan (indispensability) pada setiap sistem sosial.
Dari sini, spiritualitas semakin terlibat dalam menyelamatkan bumi. Aspek kultural lingkungan nilai, etika dan moral mampu mengarahkan pada perilaku ekologi. Kini yang dibutuhkan, kontekstualisasi dan revitalisasi sumber-sumber ekospiritualitas yang adaptif sebagai etika global mengingat ia tidak sekedar membekali cara pandang ekologis, tetapi juga komitmen pada keadilan sosial dan visi tentang kehidupan yang baik dan tidak konsumtif.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: