Memasuki MEA dalam Ketimpangan

Najamuddin KhairurrijalOleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Pengajar Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), peneliti pada Malang-ASEAN Youth Community (Maycomm)

Implementasi ASEAN Economic Community (AEC) tinggal menghitung hari. Tanggal 31 Desember 2015, negara-negara ASEAN resmi memasuki fase baru dalam hubungan kerja sama di antara mereka. Jalan panjang nan berliku telah dilakukan negara-negara ASEAN, tak terkecuali Indonesia, dalam mempersiapkan era baru integrasi negara dan masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Kita semua akan menjadi bagian dari solidaritas negara dan masyarakat ASEAN, menjadi pemain dan ikut bermain dalam pusaran kerja sama negara-negara ASEAN.
Meski begitu, walau telah lama digagas dan persiapan panjang penuh dinamika telah dilakukan, faktanya kita akan memasuki AEC atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dalam kesenjangan dan ketimpangan (inequality). Bukan hanya ketimpangan di dalam negara (inequality within country) yang didasarkan pada faktor perbedaan kepemilikan sumber daya ekonomi masyarakat di dalam suatu negara, melainkan juga ketimpangan antar negara-negara di ASEAN (inequality between countries). Persoalan ketimpangan ini menjadi tantangan dan batu sandungan tersendiri dalam mewujudkan Komunitas ASEAN yang berusaha sejalan searah menuju kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Integrasi ASEAN
Sejak didirikan pada 1967, ASEAN telah menjadi arena kerja sama antar sepuluh negara anggotanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di kawasan. Puncaknya adalah ketika negara-negara ASEAN menginisiasi lahirnya ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1994. Kata free dalam AFTA berkonotasi pada pengertian sistem perdagangan yang “membebaskan” eksportir dan importir dari hambatan tarif dan nontarif atas barang-barang yang diekspor ke atau diimpor dari sesama negara anggota ASEAN. Tujuannya untuk memperlancar aktivitas perdagangan, menarik investor, meningkatkan volume perdagangan, dan menumbuhkan daya saing produk.
Kawasan perdagangan regional tersebut kemudian mulai diberlakukan secara bertahap mulai tahun 2002. Diawali oleh enam negara ASEAN Kelas I, yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, dan Filipina. Empat anggota lainnya menyusul kemudian, yakni Vietnam pada 2006, Laos dan Myanmar pada 2008, dan Kamboja pada 2010.
Perkembangan kerja sama ekonomi regional berikutnya melahirkan ASEAN Economic Community (AEC) sebagai komunitas ekonomi ASEAN yang akan melahirkan pasar tunggal ASEAN dan MEA. Harapannya, adalah negara-negara ASEAN mampu mengejar pertumbuhan ekonomi yang setara, meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan, serta dapat menguntungkan lebih dari 500 juta penduduk ASEAN.
Persoalan Ketimpangan
Dalam perjalanannya, fakta yang terjadi kemudian adalah semakin timpangnya negara-negara di ASEAN. Alih-alih mampu berdiri hampir sama rata, enam negara-negara ASEAN Kelas I, utamanya Singapura, Malaysia, dan Brunei justru melesat meninggalkan empat negara ASEAN Kelas II, yakni Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam (CMLV). Memang, pertumbuhan ekonomi meningkat dan angka kemiskinan menurun. Namun, kesenjangan juga meningkat. Pihak yang paling diuntungkan adalah negara dan kalangan masyarakat yang memang kaya sehingga yang kaya lebih cepat kaya dibanding yang miskin (the rich more richer faster than the poor).
Data Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) (2012) menunjukkan bahwa sekalipun pertumbuhan ekonomi untuk sepuluh negara anggota ASEAN akan mencapai 5,5% selama periode 2013-2017, namun pendapat per kapita meningkat lebih cepat antara tahun 2005 dan 2011 dalam enam negara ASEAN dibandingkan CLMV. Ini menunjukkan bahwa kondisi dan performa ekonomi antar negara ASEAN beragam.
Kesenjangan atau ketimpangan itu tidak hanya terjadi antar (between) negara, tetapi juga di dalam (within) negara-negara ASEAN itu sendiri. Malaysia misalnya, terjadi kesenjangan yang nyata antara penduduk Melayu, China, dan India sebagai tiga etnis utama yang menjadi komposisi penduduk di negeri itu. Pendapatan per kapita etnis China meningkat hampir dua kali lipat dibanding etnis Melayu.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Keterbukaan ekonomi Indonesia hanya membawa keuntungan ekonomi pada wilayah Barat, sementara wilayah Timur timpang. Kesenjangan di Indonesia “tumbuh” dengan  cepat selama tahun 2002-2005, dan mengalami loncatan pada tahun 2006. Menurut data Chongvilaivan (2013), pada tahun 2009, kesenjangan di Indonesia juga meningkat lebih tinggi dari tahun 2007. Hal yang sama juga terjadi di Thailand dan Filipina.
Melalui tulisan Chongvilaivan (2013), dapat ditarik penjelasan bahwa globalisasi ekonomi berupa integrasi yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi justru memperlebar “jarak” karena distribusi pertumbuhan ekonomi tidak merata. Pertumbuhan ekonomi itu tidak dapat dinikmati oleh setiap elemen. Keterbukaan ekonomi melalui reduksi rintangan tarif dan nontarif serta kebebasan ekspor-impor dan investasi hanya memberikan keuntungan bagi negara dan pengusaha yang memiliki kapasitas dan kapabilitas. Sementara negara dan pengusaha “kecil” tersisihkan dari persaingan aktivitas bisnis.
Menurut Bock (2014), ketika ASEAN sedang gencar-gencarnya memperkuat integrasi ekonomi regional, pada saat yang sama justru melahirkan ketimpangan. Data menunjukkan bahwa jurang pemisah semakin signifikan antara tiga negara dengan pendapatan ekonomi middle (Thailand, Indonesia, dan Filipina) dengan tiga negara paling kaya di ASEAN atau high-income economies (Singapura, Brunei, dan Malaysia). Pada tahun 2010, tiga negara tersebut memiliki pendapatan per kapita lima belas kali lebih besar dari negara-negara CMLV. Sementara, tiga negara middle-income ASEAN hanya terpaut dua kali lipat dari empat negara CLMV tersebut.
Atas dasar itu, beberapa pihak kemudian meramalkan bahwa dengan kenyataan seperti itu, kesenjangan antar dan dalam negara di ASEAN akan semakin besar ketika diberlakukannya integrasi ekonomi yang melahirkan MEA. Hasil penelitian Bock (2014), misalnya, menemukan bahwa 92 persen responden dari policy-makers yang diwawancarainya menyatakan bahwa integrasi ekonomi ASEAN akan menciptakan inequitable (posisi yang timpang dan tidak adil).
Tantangan
Dengan posisi dan kondisi yang sejatinya memang timpang, maka integrasi ekonomi ASEAN jelas akan menemui dan melalui jalan terjal berliku. Kesenjangan itu akan menjadikan “permainan” dalam kerangka integrasi ekonomi menjadi tidak adil dan berimbang. Memang, negara-negara CMLV akan memasuki AEC lebih di belakang, yakni pada tahun 2020 dibanding enam negara lainnya, karena organisasi ASEAN menyadari bahwa mereka (CMLV) memang lebih tertinggal (less developed). Namun, enam negara ASEAN lain yang akan mengimplementasikan AEC di akhir tahun 2015 pun juga berangkat pada posisi start yang berbeda. Malaysia, Singapura, dan Brunei jauh lebih di depan, sementara Indonesia, Thailand, dan Filipina mengikuti di belakang.
Dengan posisi “start” yang berbeda ini, bisa jadi bahkan sangat mungkin MEA hanya menguntungkan negara-negara yang memulai start terdepan. MEA hanya akan lebih menguntungkan segelintir negara dengan high-income dan segelintir masyarakat level menengah ke atas (the haves), karena mereka memiliki akses dan pengetahuan tentang bagaimana memperoleh keuntungan ekonomi di tengah kompetisi keterbukaan ekonomi. Sementara, negara middle-income dan low-income serta masyarakat menengah ke bawah (the have-nots) hanya mendapat keuntungan yang minimal karena tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas.
Memang, semua berpotensi dan bisa merasakan keuntungan, tetapi keuntungan negara high-income dan masyarakat the-haves jauh lebih besar. Mereka (negara dan masyarakat) yang miskin tetap berpotensi menjadi kaya, tetapi yang negara dan masyarakat yang kaya juga semakin kaya. Hasilnya adalah kesenjangan tetap meningkat karena yang kaya jauh lebih cepat dan semakin kaya, sementara yang miskin butuh waktu dan proses yang panjang untuk menjadi kaya dari sejumlah keuntungan integrasi ekonomi. Ini adalah tantangan yang perlu dipikirkan bersama oleh negara-negara ASEAN.

                                                                                                ——— *** ———-

Rate this article!
Tags: