Memperpanjang PPKM Bukan Penentu

Oleh:
Muh Kamarullah
Mahasiswa FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Setelah berakhirnya kebijakan PPKM Darurat Jawa- Bali. Pemerintah kembali memutuskan untuk memperpanjang hingga ketiga kalinya. Pertama perpanjangan dilakukan hingga tanggal 25 Juli, kedua, hingga 2 Agustus selanjutnya diperpanjang lagi sampai 9 Agustus dan terus diperpanjang, entah sampai kapan.

Tentu keputusan yang diambil oleh pemerintah ini telah melalui berbagai pertimbangan dan evaluasi. Misalnya sejak awal yang disampaikan oleh Menko Maritim dan Investasi sekaligus Koordinator PPKM Darurat, Luhut Binsar Panjaitan bahwa kebijakan itu diambil lantaran tren kasus Covid-19 masih fluktuatif (20/7).

Memang pada realitasnya, selama pemberlakuan PPKM Darurat angka kasus tidak kunjung memberikan angin segar. Berdasarkan data yang diupdate oleh akun intagram resmi Kementrian Kesehatan RI @kemenkes_ri per Kamis, 02 Agustus 2021, angka penambahan kasus positif sebesar 22.404, sembuh 32.807, dan meninggal 1.568. Dalam artian, perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) bukan sebagai penentu keberhasilan kita dalam melawan dan mengakhiri wabah Covid-19.

Kondisi ini diperparah lagi dengan penyebaran varian Delta virus Corona yang tingkat penularannya sangat tinggi. Sepanjang dua pekan penerapan PPKM, beberapa kali tercatat rekor kasus harian yang sangat menyedihkan. Dimana terjadi pada 15 Juli dengan angka yang mencapai 26.757 kasus. Bahkan Indonesia pernah tercatat menempati posisi tertinggi di dunia kematian harian akibat Covid-19.

Ledakan kasus yang dialami Indonesia memang bukan hal baru. Sebelumnya di banyak negara di dunia telah mengalami lonjakan kasus yang sangat tinggi juga. Namun yang menjadi pembeda dengan Indonesia adalah banyak negara di dunia semulanya telah berhasil mengendalikan pandemi. Dan ketika melonggarkan pembatasan sosial baru lonjakan infeksi Covid-19 terjadi lagi.

Misalnya di Australia setelah sebelumnya berhasil mencapai nol kasus Covid-19. Negara Kangguru ini kembali di serang virus varian Delta. Beberapa negara bagian, Victoria dan Australia Barat yang mobilitas sosialnya tinggi kembali diketatkan. Australia akhirnya memperpanjang masa pemberlakuan lockdown di Sydnei dan sejumlah daerah lainya. Kebijakan lockdown ini seharusnya berakhir pada 26 Juni, namun diperpanjang lagi karena kasus yang tidak kunjung reda.

Bukan Penentu

Kebijakan perpanjang PPKM Darurat maupun istilah lainnya seperti PPKM level IV bukan menjadi persoalan yang harus diperdebatkan. Begitupula masalahnya bukan pada berapa lama pembatasan sosial akan diakhiri. Tetapi lebih dari itu yakni, seberapa serius dan siapkah pemerintah dalam pertarungan melawan pandemi Covid-19?

Kiranya yang harus dijadikan pijakan awal pemerintah adalah konsistensi dan kompetensi. Dua hal ini akan menjadi jawaban atas strategi dan langkah penanganan pandemi yang kurang efektif selama ini. Jika sedikit direfleksikan, inkonsistensi dan inkompetensi kebijakanlah yang sering kali dipertontonkan oleh pemerintah itu sendiri.

Mungkin masih lekat diingatan, alih-alih ketika presiden berteriak soal “sanse of crisis” pemerintah justru sering melanggarnya. Seperti melanjutkan Pilkada ditengah angka kasus yang belum terkendalikan. Begitupula dengan aktivitas kerumunan yang sering kali dilakukan pemerintah sendiri. Pun juga masyarakat yang belum terlalu disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan.

Selain dari pada itu, harus diakui bahwa berbagai kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah mengalami simpang siur. Hasilnya penekanan terhadap angka kasus belum maksimal. Mulai dari social distancing, karantina wilayah, PSBB dan sebagainya. Begitupula dengan upaya percepatan program vaksinasi hingga perlindungan ekstra tenaga kesehatan yang sudah dilakukan.

Senada dengan tulisan pada tajuk Republika ini, kita bersyukur bahwa satu kemajuan dari pemerintah adalah tengah menyadari pentingnya tasting. Dengan demikian akan semakin mudah, cepat, dan terjangkau layanan testing maka semakin terlihat persebaran Covid-19. Dengan begitu, setiap orang yang terpapar Covid-19 benar-benar terdata dan tertangani dengan baik.

Meski demikian, hingga kini publik masih meyakini bahwa untuk keluar dari bencana pandemi ini, kunci utamanya adalah pencapaian vaksinasi. Karena vaksin yang menentukan sejauh mana pelonggaran atau pembatasan sosial harusnya dilakukan. Bahwa semakin mengurangnya fasilitas kesehatan (faskes) dan angka kematian, maka yang perlu di crosscheck adalah bukan pada kebijakan pembatasan sosial maupun lockdown tetapi vaksinasi.

Inggris patut dijadikan contoh bagaimana program vaksinasi begitu kencang dilakukan. Meskipun saat ini ketika program lockdown dibuka dan menjalani hari normal pertama, Inggris kembali mengalami situasi darurat. Tetapi, minimal vaksin Covid-19 terbukti efektif dalam mengurangi penyakit parah dan kematian.

Sebagaimana Inggris berhasil meluncurkan program vaksinasi hingga 87 persen dari populasi orang dewasa Inggris yang memiliki satu dosis vaksinasi. Sebanyak lebih dari setengah atau 68 persen populasi yang memiliki dua dosis yang memberikan perlindungan lengkap.

Melihat program vaksinasi antara Indonesia dengan Inggris diakui sangat jauh perbandingannya. Bagaimana tidak, capaian vaksin dosis lengkap Indonesia baru 7,82 persen. begitupula vaksin merah putih yang masih terus dikembangkan. Namun, apa yang dilakukan Inggris perlu disodorkan agar kita bisa mengerti betapa pentingnya vaksinasi.

Akhirnya kiranya angka-angka kasus yang terus mengarah pada situasi yang semakin menyedihkan ini. Layaknya mendapat perhatian yang lebih serius lagi bagi pemerintah. Satu-satunya untuk kemenangan melawan pandemi Covid-19.

Maka kiranya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa, apapun strategi yang akan dilakukan pemerintah, jika masih diketemukan inkompetensi dan inkonsistensi serta seberapa lama PPKM maupun lockdown sekalipun diterapkan. Rasanya sulit sekali untuk menjamin keberhasilan melawan pandemi ini.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: