Mendiskriminasi Koruptor

JUNAIDI KHAB2Oleh: Junaidi Khab
Penulis adalah Akademisi Asal Sumenep, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kasus korupsi di negeri ini sudah menjadi sebuah budaya yang tidak asing lagi dan sulit untuk memberantasnya. Sebenarnya jika kita benar-benar mau mencermati lebih mendalam, sangat banyak macamnya dan tidak hanya dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi negara. Namun, di daerah pun praktik korupsi masih menjadi hal yang biasa. Dikatakan membudaya karena korupsi memang sudah menjadi hal yang sudah lumrah dilakukan oleh pejabat negara baik dari pusat hingga daerah.
Perlu kita ketahui bahwa salah satu agenda utama reformasi politik tahun 1998 adalah pemberantasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (Supenu, 2012:03). Kenyataannya setelah sepuluh tahun reformasi berlalu, nyaris tidak ada perubahan budaya masyarakat yang gemar melakukan korupsi. Tidak heran jika Supeno mengutarakan dan memaparkan dengan jelas beberapa kasus korupsi di tingkat daerah. Sejak sebelum dan sesudah ada lembaga khusus yang menangani kasus korupsi –  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi memang mulai diusut, namun tidak ada hasil yang cukup signifikan.
Sebuah Kendala
Banyak hal yang menjadi penyebab pengusutan kasus korupsi itu tidak sukses. Akan tetapi salah satu yang menjadi penyebab dominannya adalah karena bangsa ini tidak pernah sungguh-sungguh berperang melawan korupsi. Kita hanya membangun industri dan pabrik-pabrik yang menghasilkan barang-barang konsumsi, tetapi kita sangat kurang membangun industri hati untuk mendapatkan manusia dengan kekayaan spiritual guna merawat dan mencegah diri dari segala bentuk kasus korupsi. Bahkan, nilai-nilai ketuhanan dan dalil agama saja dijadikan senjata untuk korupsi.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, memang banyak kasus korupsi yang dibongkar oleh KPK. Sejak delapan tahun terakhir pula beberapa pejabat publik dan pegawai rendahan hingga pejabat eselon, mantan menteri, dan anggota DPR kini berdesakan di dalam buih desas-desus kekhawatiran. Namun demikian, sesungguhnya belum menyelesaikan persoalan pemberantasan kasus korupsi tersebut. Kita masih menyangsikan keseriusan bangsa ini untuk memberantas korupsi secara sungguh-sungguh. Selain itu pula, masih ada aparat penegak hukum yang masih saja terindikasi bahkan tertangkap basah tengah melakukan praktik korupsi.
Diskriminasi
Korupsi tidak memandang sebuah institusi, baik di daerah atau di pusat pemerintahan. Semuanya sama saja. Bila di pusat kasus korupsi berlangsung hingga ke sudut paling atas dari bangunan kekuasaan, di daerah juga begitu, yaitu hingga pada sudut-sudut yang paling kecil di masyarakat. Misalkan proyek favorit, seperti pengadaan proyek pengaspalan jalan. Permainannya sederhana saja, dari kelebaran dan ketebalan aspal.
Kalau mau diteliti dengan sungguh-sungguh, lebar jalan aspal itu tidak sama, ada selisihnya walau hanya lima (5) cm, tetapi kali sekian kilometer panjangnya. Juga ketebalannya, tidak akan ada lembaga kepengawasan yang bisa menjamin sepanjang jalan aspal ketebalannya sama seperti yang tercantum dalam kontrak. Meskipun demikian, biarlah Tuhan yang mengadili. Namun, masyarakat Indonesia harus tetap semangat untuk memberantas korupsi.
Dewasa ini, kasus korupsi sudah banyak yang terbongkar dan pelakunya dikenakan hukuman. Namun, di balik itu semua, koruptor-koruptor lainnya menjamur hingga masyarakat merasa gregetan untuk menghukumnya sendiri, misal dimassa hingga mati. Karena negara kita ini berbasis hukum, maka masyarakat tidak memiliki kuasa untuk itu. Bahkan sudah ada rancangan hukum bahwa koruptor harus dimiskinkan. Tapi, masih saja korupsi terus beranak pinak.
Sebenarnya, masyarakat bukan tidak bisa berperan untuk mengusut kasus korupsi, mulai dari pencegahan hingga pemberantasannya. Ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Pertama, pribadi masyarakat yang membenci korupsi harus benar-benar bersih dari kasus KKN. Kedua, masyarakat dan segenap bangsa Indonesia harus serius dalam memegang komitmen untuk memberantas korupsi. Ketiga, masyarakat mengupayakan agar pelaku korupsi dan mantan korupsi dijauhi, alias didiskriminasi dalam dunia pergaulannya.
Diskriminasi bukan seutuhnya diperlakukan secara menyeluruh dalam lingkungan sosial, karena hal tersebut melanggar haknya sebagai manusia. Masyarakat bisa mengambil langkah dengan tidak mudah percaya lagi dan menutup akses untuk memasuki dunia politik. Hukuman penjara melalui proses hukum di pengadilan tidak membuat jera para koruptor, karena hukum bisa dibeli dan pengadilan hanya basa-basi belaka (Sobary, 2015:12).
Jika masyarakat dan segenap bangsa Indonesia bersama-sama serius dan berkomitmen untuk memerangi serta memberantas korupsi dengan mendiskriminasi koruptor dalam “tanda kutip”, maka kemungkinan besar kasus korupsi di negeri ini perlahan bisa berkurang. Buatlah mereka jera dan merasa malu ketika berada di lingkungan sosial atas perbuatannya yang disorientasi bagi kehidupan bangsa.
Memberantas korupsi bukan sebatas diproses di pengadilan, dipenjara sekian tahun, lalu bebas, atau dimiskinkan. Akan tetapi, hukuman tersebut harus berlaku seumur hidup, yaitu diskriminasi di lingkungan sosial. Jika masyarakat atau lembaga tertentu masih ada yang loyal pada koruptor atau mantan koruptor, maka pemberantasan korupsi di negeri ini akan terbengkalai dan bangsa serta negara yang akan menjadi korbannya. Mari, selamatkan segenap bangsa dan pemerintahan Indonesia dari kejahatan korupsi.

                                                                                                             ———– *** ————

Rate this article!
Mendiskriminasi Koruptor,5 / 5 ( 1votes )
Tags: