Mengantisipasi Dampak Digitalisasi dalam Pembelajaran

Oleh:
Mishad
Penulis adalah guru dan Ketua Penjaminan Mutu MAN 2 Kota Malang

Ketika masa pandemi Covid-19, teknologi digital sangat dibutuhkan untuk pembelajaran dan aplikasi pendukung pembelajaran daring. Pasca pandemi pun, dalam pembelajaran sehari-hari pemanfaatan teknologi tetap dilakukan oleh guru maupun dosen dalam proses pembelajaran.

Dampak positif yang ditimbulkan oleh teknologi digital dengan perkembangan ilmu, terutama dalam pendidikan cukup banyak. Diantaranya adalah: dengan teknologi, kita dapat dengan mudah menerima informasi atau materi dari beberapa sumber dan literatur digital. Kita tahu metode-metode pembelajaran yang lebih beragam. Hadirnya e-learning. Proses belajar dan pembelajaran tidak harus selalu melalui tatap muka. Terpenuhinya kebutuhan fasilitas pendidikan dengan cepat, dan lain-lain .

Tentunya tidak hanya dampak positif yang kita dapatkan dari hadirnya teknologi digital dalam dunia pendidikan. Disinyalir kuat, hadirnya teknologi dalam pendidikan, terutama pada masa pandemi telah mengikis sendi-sendi positif dalam keberlangsungan pendidikan pada kondisi normal sebelumnya, terutama dalam penanaman pendidikan karakter pada anak didik.

Perilaku-perilaku negatif peserta didik yang muncul ketika penerapan teknologi/ digitalisasi terlalu mendominasi dalam pelaksanaan pembelajaran adalah: Pertama. Peserta didik menjadi malas. Ketika kemudahan-kemudahan diterima oleh peserta didik dalam pembelajaran, seperti yang dilakukan melalui pembelajaran jarak jauh (PJJ), seperti tatap muka diganti daring, tugas dikirim manual diganti dikirim lewat e learning, kurikulum normal diganti kurikulum darurat, waktu KBM (kegiatan belajar mengajar) normal menjadi waktu KBM yang lebih singkat, dan lain-lain menyebabkan siswa kita menjadi lebih malas. Maka, kondisi ini harus diantisipasi dengan mengubah sedikit demi sedikit ke kondisi normal, seperti sudah harus tatap muka, tugas harus ada versi manualnya walaupun ada yang versi digital, materi belajar sudah mulai digeser ke materi kurikulum normal, termasuk durasi waktu belajar juga digeser mendekati durasi waktu belajar normal.

Usaha-usaha tersebut dilakukan untuk membangkitkan semangat anak didik kita dan membiasakan mereka untuk kembali belajar normal. Kondisi pandemi yang menyebabkan mereka mengalami loss learning dan loss control harus segera terpulihkan, tetapi tentu saja tidak dengan cara frontal, tapi harus dengan langkah terprogram dan beradaptasi. Kita, terutama para pendidik harus mengikis rasa malas peserta didik dengan semangat mengajari mereka di pertemuan tatap muka, tanpa menghilangkan hadirnya teknologi. Kita tetap memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran, tapi kita tetap mendidik karakter mereka untuk tetap semangat, sopan santun, dan berakhlak mulia.

Kedua. Penyalahgunaan penggunaan piranti teknologi/ gadget. Fakta di lapangan menunjukkan, hadirnya pandemi telah menghadirkan kemudahan siswa menggunakan piranti teknologi, terutama kemudahan pemakaian gadget dan akses internet. PJJ telah melegalkan penggunaan gadget dan akses internet secara longgar bagi siswa dalam pembelajaran. Karena banyaknya celah dan kesempatan, maka penggunaan gadget dan akses internet tidak hanya untuk kegiatan pembelajaran, tapi juga untuk hal lain, yang durasi waktunya lebih banyak daripada untuk belajar.

Sebuah survei menunjukkan bahwa lebih dari 19 persen remaja di Indonesia kecanduan internet. Ahli Adiksi Perilaku dr. Kristiana Siste mengatakan angka itu diperoleh berdasarkan survei kepada anak-anak dari 34 provinsi di Indonesia. Survei tersebut dilakukan kepada ribuan generasi muda di Indonesia pada Mei sampai Juli 2020. Hasilnya adalah 19,3 persen remaja dan 14,4 persen dewasa muda kecanduan internet. Sejumlah 2.933 remaja mengalami peningkatan durasi online dari 7,27 jam menjadi 11,6 jam per hari. Itu meningkat 59,7 persen. Ia juga mengungkapkan sekitar 4.734 dewasa muda atau orang-orang yang berusia di atas 20 tahun juga mengalami peningkatan durasi online menjadi 10 jam per hari selama pandemi. Survei itu dilakukan sekitar satu tahun setelah ia bersama jajarannya melakukan survei kepada 643 remaja di Jakarta. Surveinya menunjukkan bahwa 31,4 persen remaja di Jakarta kecanduan internet. Ia mengatakan sebagian besar waktu yang dihabiskan anak-anak dan remaja di internet adalah untuk bermain gim online serta media sosial.

Akibat kecanduan internet, remaja akan mengalami perubahan di otak, yaitu terjadinya penurunan konektivitas fungsional otak antara area parietal lateral dan korteks prefrontal lateral. Hal ini menyebabkan seseorang sulit membuat keputusan, sulit konsentrasi dan fokus, pengendalian diri buruk, prestasi menurun, penurunan kapasitas proses memori, serta kognisi sosial negatif. Kita tidak boleh melarang anak atau remaja menggunakan internet. Namun, peran kita adalah melakukan pengawasan serta menjaga keseimbangan antara internet dengan aktivitas-aktivitas riil bagi mereka. Kita sebagai orang tua dan pendidik harus mengatur waktu anak didik kita dalam pemanfaatan gadget mereka, supaya mereka tidak “berlebihan dan menyimpang” dalam mengakses internet.

Ketiga. Hilangnya kebiasaan menulis dengan pemikiran sendiri dan literasi asli. Hadirnya teknologi internet memudahkan kita dalam mengetahui segala informasi. Adanya mesin pencari informasi “goegle” mendorong kita untuk mencari sumber informasi yang serba instan. Ketika kita mencari sumber kajian teori dan pustaka untuk menulis sebuah karya ilmiah, seringkali kita menukil di internet. Sumber informasi teori dan pustaka tidak lagi dari buku utama/ literasi asli/ primer, tapi sudah berubah sumber sekunder yang ada dinukilan penulis lain. Kita juga tidak menulis/ mengetik ulang, tapi tinggal copy paste. Permasalahan utamanya ada pada prosedur sitisasi yang seharusnya dari sumber primer tidak terpenuhi.

Di beberapa lembaga telah ditemukan “plagiasi” (tindakan menjiplak) karya orang lain. Selain karena masalah moral, perilaku plagiat ini dimudahkan oleh teknologi internet. Kita harus mengantisipasi kecurangan apa pun yang dilakukan oleh anak didik kita, termasuk dalam tindakan menjiplak. Salah satu caranya adalah kita harus melatih mereka untuk menulis tentang fakta yang ada di sekitar mereka yang dipastikan dia akan menulis sendiri apa yang mereka lihat dan rasakan. Hal lain yang bisa kita lakukan adalah menanamkan sikap pada mereka, bahwa plagiasi itu sama buruknya dengan mencuri dan perbuatan tercela lainnya, yang harus dihindari.

Ke-empat. Masuknya budaya menyimpang baru di kehidupan belajar. PJJ menghadirkan kebudayaan baru dalam belajar, seperti belajar sambil “nyambi” melakukan aktivitas lain (multitasking), belajar sambil rebahan, malas gerak (mager), dan lain-lain. Sekilas perilaku multitasking sepertinya baik, tapi faktanya tidak demikian. Belajar yang optimal tidak bisa dilakukan dengan nyambi, apalagi peserta didik masih usia sekolah. Belajar butuk fokus dan konsentrasi yang baik dan itu tidak nisa dilakukan dengan “nyambi” yang lain dalam waktu yang sama. Ketika zoom pada saat PJJ saya pernah mengajar siswa yang video converence sambil “gowes”. Menurut saya ini sepertinya “multitasking”yang tidak pas dan kebablasan dalam pembelajaran.

Belajar sambil rebahan di kasur sambil membawa HP/ Laptop adalah fakta yang banyak terjadi pada masa pandemi. Ini adalah budaya belajar yang harus kita kikis. Usahakan tempat belajar dengan kamar tidur terpisah. Hal ini bisa meminimalisir rasa malas karena ingin rebahan di tempat tidur, hasilnya belajar anda bisa lebih efektif karena minim gangguan. Memisah ruang belajar juga bisa memaksimalkan istirahat pelajar. Saat istirahat mereka tidak akan terbayang-bayang tumpukan buku dan tugas di meja belajar.

Fakta membuktikan, mayoritas di antara kita (orang tua, guru, dan peserta didik) mengalami masalah fisik yang sama pada saat pandemi, yaitu penambahan berat badan. Itu terjadi karena kebanyakan dari kita kurang/ malas beraktivitas dan kurang gerak/ olah raga. Kita lebih sering berinteraksi dengan HP/ laptop kita daripada aktivitas lain. Badan yang terlalu gemuk/ kelebihan berat badan akan mengganggu segala aktivitas/kesehatan kita, termasuk belajar. Untuk menjadi peserta didik yang baik, mereka harus menjaga kesehatan. Ketika sudah belajar tatap muka, maka perlu dibiasakan peserta didik kita untuk bergerak, berolahraga, dan aktivitas lain yang menyehatkan jasmani dan rohani mereka. Sudah waktunya penggunaan HP, laptop, dan akses internet untuk dibatasi dan diatur seperlunya saja.

Semoga hadirnya teknologi bisa meningkatkan kualitas pendidikan kita. Sedangkan dampak negatif penggunaan teknologi juga bisa kita antsipasi sedini mungkin. Sehingga hadirnya teknologi lebih kita dapatkan manfaatnya daripada madharat-nya, maka tergantung pada kita untuk mengaturnya seperti apa? Ibarat pisau yang sangat berguna bagi ibu-ibu untuk bisa dipakai untuk merajang sayur dan bumbu di dapur. Tapi pisau juga bisa dipakai untuk membunuh orang. Penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran harus bisa mendatangkan manfaat sebaik mungkin, sedangkan dampak negatifnya harus kita antispasi dan hindari. Wallahu a’lam Bisshawab”.

——— *** ———-

Tags: