Mengurai Defisit BPJS Kesehatan

Oleh : Oryz Setiawan
Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair  

Problematika Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus mendera. Salah satu Badan Usaha Milik Negara yang mengurusi masalah penjaminan pembiayaan kesehatan terus mengalami defisit keuangan secara berkelanjutan. Sederet problem BPJS Kesehatan terus menjerat seakan-akan BPJS Kesehatan dibentuk untuk ‘bangkrut’. Hal ini diperkuat dengan laporan keuangan tahunan BPJS, menunjukan defisit sebesar 3,8 trilyun tahun 2014, defisit 5,9 trilyun pada tahun 2015, defisit 9,7 tahun 2016 dan 10,98 trilyun pada tahun 2017. Diperkirakan hingga akhir 2018 defisit keuangan BPJS mencapai 16,5 trilyun rupiah yang terdiri dari 12,1 trilyun defisit rencana kerja anggaran tahunan dan 4,4 trilyun (carry over) atau sisa tunggakan tahun lalu. Sebenarnya keberadaan BPJS Kesehatan menjadi secercah harapan bagi masyarakat Indonesia terutama bagi saudara-saudara kita yang sedang sakit, memerlukan pengobatan dan perawatan di layanan kesehatan baik di puskesmas, rumah sakit maupun layanan kesehatan swasta.
Kondisi tersebut juga merupakan jawaban atau manifestasi dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara menjamin kesehatan setiap warga negara dalam bentuk pembebasan pembiayaan kesehatan. BPJS Kesehatan merupakan impian yang dilahirkan ketika di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diakhir tahun 2013 dengan harapan bahwa setiap yang sakit tidak ditolak rumah sakit, tidak bisa berobat karena alasa biaya, sehingga seluruh pembiayaan dijamin oleh BPJS Kesehatan. Hal ini seiring dengan makna UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dimana mewajibkan setiap warga negara untuk menjadi peserta program jaminan sosial sehingga pemerintah untuk mendaftarkan peserta Jamkesmas / Jamkesda menjadi peserta BPJS. BPJS Kesehatan didesain dalam rangka mencapai Universal Health Coverage (UHC) bagi seluruh warga negara Indonesia. Hingga berdasarkan data per 23 Februari 2018, jumlah peserta JKN-KIS sudah mencapai 193.144.982 jiwa atau lebih dari 74% dari total penduduk Indonesia.
Beberapa akar permasalahan finansial BPJS Kesehatan antara lain : pertama, filosofi pembiayaan kesehatan di Indonesia lebih dari 90 persen adalah pelayanan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif dimana secara karakteristik memerlukan biaya tinggi dan memiliki durasi yang lama (penyakit kastatropik) sehingga secara komulatif membebani kesehatan finansial BPJS. Sebenarnya pelayanan bukan hanya bersifat kuratif dan rehabilitatif namun juga bersifat promotif dan preventif seperti program penyuluhan kesehatan perorangan, pelayanan imunisasi rutin, pelayanan KB dan pelayanan skrining kesehatan yang diberikan secara selektif untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit. Kedua, melakukan penyuluhan dan sosialisasi program swamedikasi atau pengobatan sendiri untuk mengatasi sakit ringan sebelum mencari pengobatan pemerintah harus mendorong masyarakat agar mulai membiasakan diri dengan swamedikasi. Memang perilaku ini memerlukan waktu untuk menjadi sebuah kebiasaan berobat, pada saat yang sama didorong untuk melakukan perilaku hidup bersih dan sehat sebagai upaya promotif yang paling efektif untuk menekan pembiayaan kesehatan.
Berdasarkan penelitian, lebih dari 60 persen dari anggota masyarakat melakukan swamedikasi, dan 80 persen di antaranya mengandalkan obat modern. Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan No.919/MENKES/PER/X/1993, secara sederhana swamedikasi adalah upaya seseorang dalam mengobati gejala sakit atau penyakit tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Setidaknya ada lima komponen informasi yang yang diperlukan untuk swamedikasi yang tepat menggunakan obat modern, yaitu pengetahuan tentang kandungan aktif obat, indikasi, dosis, efek samping, dan kontra indikasi. Ketiga, masih ada sistem manajemen pelayanan kesehatan memerlukan perbaikan. Aspek efisiensi dan efektivitas layanan kesehatan yang diatur dalam Perpres, antara lain melalui perbaikan manajemen klaim kesehatan, perbaikan sistem rujukan dan rujuk balik, dan pelaksanaan strategi purchasing. Selain itu, perbaikan pengelolaan dana kapitasi dan pemanfaatan sisa dana kapitasi.
Keempat, adanya fleksibilitas penggunaan pelayanan jaminan kesehatan. Adanya tren peserta BPJS yang baru daftar sebagai peserta sudah dapat melakukan klaim pelayanan kesehatan sehingga klaim yang diajukan peserta BPJS lebih tinggi dibandingkan dengan premi yang ada. Meski pada perjalanannya merujuk per 1 Juni 2015 peserta BPJS Kesehatan baru dapat melakukan klaim setelah hari ke-14 dan telah melakukan pembayaran satu bulan pertama. Selain itu terdapat banyak peserta BPJS Non-PBI yang menunggak pembayaran iuran premi, setidaknya ada 12 juta laporan BJPS Kesehatan yang menunggak iuran pembayaran premi. Terdapat sekitar 6 persen dari total perserta JKN-KIS yang mencapai 196 juta peserta. Kondisi inilah yang mempengaruhi neraca keuangan BPJS yang pada gilirannya memberikan konstribusi defisit keuangan BPJS. Semoga BPJS Kesehatan mampu memperbaiki kinerja keuangan sehingga mempengaruhi tata kelola manajemen pelayanan pembiayaan yang pada akhirnya jaminan seluruh kesehatan masyarakat Indonesia.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: