Meninjau Kekerasan Seksual dari Segi Filsafat

Catatan Hari Filsafat Internasional, 19 November 2021

Oleh :
Anggita Ayunda Sakuntala
Mahasiswa Magister Agribisnis DPPS Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.

Beberapa hari ini jagad dunia Maya dihebohkan dengan pro kontra terhadap adanya Permendikbud 30 yang membahas mengenai hukum terhadap kekerasan seksual di kampus. Peraturan yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim ini secara tidak langsung menunjukan bahwa kasus kekerasan seksual memang benar adanya dan sangat meresahkan segenap civitas akademika kampus.

Mengutip dari berita Kompas.com yang terbit tanggal 13 November 2021, dikatakan bahwa, Dari survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) tahun 2020, ternyata 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, sebanyak 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Kekerasan seksual sendiri sejatinya memanglah tindakan yang luar biasa kejamnya, karena tindakan ini dapat memunculkan kerugian bagi korbannya, hingga bisa jadi memicu adanya trauma psikis.

Adanya kasus kekerasan seksual yang sangat meresahkan hingga membuat menteri pendidikan dan kebudayaan, riset dan teknologi mengeluarkan Permendikbud nomor 30 tahun 2021 ini menunjukan bagaimana mereka tidak mampu menahan hawa nafsunya. Juga menunjukan bagaimana mereka (pelaku kekerasan seksual) sebagai seorang manusia tidak mampu mengontrol Id, Ego, dan Superego-nya dengan baik.

Konsep Nafsu dalam Filsafat

Imam Al-Ghazali dalam bukunya Mizan al’aman mengklasifikasikan nafsu manusia dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama, tertinggi adalah mereka yang mampu mengendalikan dan menguasai nafsunya dengan baik, tingkatan kedua ialah orang yang senantiasa bertarung dengan nafsunya, tingkatan ketiga yang terendah ialah mereka yang dikuasai oleh hawa nafsunya dan tidak dapat melawannya sama sekali. Tingkatan ketiga inilah yang terjadi pada seorang pelaku kekerasan seksual. Dimana mereka tidak mampu mengendalikan nafsunya yang menggebu.

Tindakan kekerasan seksual ini juga menunjukan bagaimana seorang tidak memiliki moral yang mampu mengatur pikiran dan nafsu liarnya sehingga mereka melakukan tindakan amoral. Menurut JJ. Rousseau, seorang filsuf awal abad modern, mengatakan bahwa apabila seorang manusia eksistensi akalnya senantiasa dibayangi oleh nafsu, maka akal akan keliru dalam mengatur moral dan menimbulkan perilaku amoral.

Ibnu Miskawaih, seorang tokoh pemikir muslim yang dinilai sebagai pendiri filsafat moral dalam Islam juga berpendapat sama. Bahwa seorang manusia diberikan akal untuk mampu menciptakan perilaku bermoral dan mengatur serta menekan syahwatnya agar tidak melakukan perilaku amoral.

Sigmund Freud, seorang tokoh psikologjuga filsafat, yang sangat dikenal dengan teori psikoanalisisnya. Mengungkapkan bahwa kepribadian manusia tersusun dari tiga sistem yang mendasarinya. Yakni Id, ego, dan superego. Ketiga konsep dasar ini merupakan bagian penting dalam membentuk kepribadian manusia sehingga sulit dipisahkan.

Id, merupakan sesuatu yang telah ada pada diri manusia, termasuk di dalamnya ialah nafsu. Pernahkan kalian menemui seorang bayi, yang hampir-hampir pagi, siang, malam kerjanya menangis. Ketika lapar ia menangis, ketika ngompol ia menangis, ketika harus ia menangis. Itu konsep Id, ia telah ada dari kita lahir. Berisikan nafsu dan keinginan yang harus segera dituntaskan. Apabila kita lapar secepatnya kita harus makan. Apabila kita haus, harus segera minum, dan seterusnya. Itulah id yang mengharuskan keinginan terpenuhi. Id itu bebas dan liar. Maka untuk itu perlu adanya batasan dan lintasan yang disebut ego.

Id merupakan bagian yang ada di antara ego dan superego. Ia berfungsi menyeimbangkan antara id dan superego. Egolah yang menjadi jalur kita untuk tidak lepas kontrol mengikuti id kita. Katakanlah begini. Apabila diibaratkan ada motor balap, manusia, dan lintasan balap. Id ialah motor balap yang inginnya bergerak kencang dan bebas mencapai garis finish. Tapi, untuk bisa sampai garis finis kita diberikan lintasan untuk mencapainya (inilah ego) sedangkan superego ialah manusia yang mengontrol Id agar bisa tetap berada pada jalur yang tepat, pada ego yang tepat. Superego sendiri senantiasa dikaitkan dengan moral yang berasal dari luar diri kita untuk membentuk penghargaan atau penghukuman.

Katakanlah secara simplenya ialah demikian. Misalnya kita minum teh, keinginan untuk minum teh sebagai bentuk menghilangkan haus dan segera meneguk itu ialah id yang berisikan nafsu dalam diri. Namun ketika hendak meminum teh kita pasti mempertimbangkan apakah teh itu masih panas atau sudah bisa diminum, sudah manis atau belum? Itulah ego, yang mengajarkan kita pada realitas hidup. Kemudian jika dirasa minuman itu masih panas kita menunggunya hingga menghangat, kita tiup perlahan, atau kita tambahkan gula apabila kurang manis, itulah superego, yang berisi norma, tata cara, serta aspek sosial yang membentuk kita dari semasa kanak-kanak.

Apabila didasarkan pada konsep id,ego, dan superego ala Freud ini. Sudah jelas mereka yang menjadi perilaku kekerasan seksual ialah mereka yang memiliki id, ego, dan superego yang tidak stabil dan sinergi. Ada yang bermasalah di sini. Bisa dikatakan id-nya terlalu kuat, hingga ego dan superegonya tidak bisa mengatur dan mengarahkan dengan baik. Harusnya mereka sadar bahwa tindakan nafsunya terhadap seksualitas yang tinggi (id-nya) itu terdapat ego yang membuatnya harusnya bertanya apakah ini tepat atau tidak, dan jelas perilaku kekerasan seksual tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apapun, dan seharusnya perilaku kekerasan seksual juga sadar kalau tindakannya ini akan menghasilkan perilaku amoral, sanksi sosial yang buruk, dan merugikan. Harusnya mereka tahu ini tak dibenarkan. Tapi, ketika id sudah berkuasa dan ego serta superego tidak bisa mengontrol sudah pasti manusia akan melakukan tindakan tercela, yang tentu merugikan dan amoral. Maka, terlepas adanya pro dan kontra. Peraturan terhadap pelaku kekerasan seksual memang harus ada dan tidak pandang bulu. Untuk menghukum, memberi efek jera, dan menyadarkan keseimbangan id, ego, dan superego si pelaku. Tentu utamanya juga berujung pada harapan memberikan keadilan untuk korban.

——– *** ———

Tags: