Menjamin Hak Politik Penyandang Disabilitas

Wahyu Kuncoro SNOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak akan segera digelar 15 Februari 2017 mendatang. Terdapat 101 pilkada di Indonesia, tujuh di antaranya pemilihan gubernur. Ketujuh pemilihan gubernur itu untuk Provinsi Aceh, DKI Jakarta, Banten, Bangka Belitung, Papua Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Selain itu, ada 18 kota dan 76 kabupaten yang secara serentak akan menggelar pilkada.
Perhelatan Pilkada sesungguhnya merupakan pesta demokrasinya semua warga negara Indonesia tanpa diskriminasi. Lantaran itu, semua warga negara harus mendapatkan akses untuk bisa menggunakan hak politiknya, termasuk mereka yang disebut sebagai penyandang disabilitas.
Merujuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, maka yang dimaksud dengan Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Hadirnya UU ini sebagai pengganti UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menegaskan kedudukan penyandang disabilitas sebagai subjek (diakui keberadaannya) yaitu manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.
Setidaknya ada dua konsepsi pandangan terkait keberadaan penyandang disabilitas yaitu: Pertama, pandangan medis/individual yang menempatkan kecacatan sebagai sebuah permasalahan individu. Definisi ini menempatkan kecatatan atau kelainan fisik/mental sebagai penyebab hambatan untuk beraktifitas atau hidup sebagaimana layaknya. Kedua, pandangan hak asasi manusia (HAM) yang menempatkan isu disabilitas sebagai bagian integral dari HAM yang menempatkan jaminan atas kesetaraan, kesamaan hak serta partisipasi penuh juga melekat pada setiap individu Penyandang disabilitas.
Pandangan yang pertama tercermin di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang mendefinisikan penyandang cacat adalah “setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya. Materi UU Penyandang Cacat ini lebih bersifat belas kasihan (charity based) dan pemenuhan hak penyandang disabilitas masih dinilai sebagai masalah sosial yang kebijakan pemenuhannya haknya masih bersifat jaminan sosial, rehabilitasi sosial dan peningkatan kesejahteraan sosial. Pandangan di dalam UU Penyandang Cacat sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan upaya peningkatan harkat dan martabat penyandang disabilitas sebagai manusia seutuhnya.
Perubahan paradigma tentang penyandang disabilitas sebagai bagian hak asasi manusia (HAM) diatur secara spesifik dalam tujuan pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas tersebut diatas, menempatkan setiap individu penyandang disabilitas mendapatkan jaminan penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM dari negara.
Penyandang disabilitas didudukkan sebagai subjek yaitu sebagai individu yang memiliki hak dan kewajiban sehingga penyelenggaraan kesejahteraan sosial untuk penyandang disabilitas tidak hanya berupa rehabilitasi sosial dan jaminan sosial namun juga meliputi pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial. Pemberdayaan dan perlindungan sosial ini ditujukan untuk menguatkan hak penyandang disabilitas untuk menjadi individu yang tangguh dan mandiri melalui pelatihan, pendampingan, peningkatan akses pemasaran, advokasi sosial dan bantuan hukum dan lain-lain.
Hak Politik Penyandang Disabilitas
Salah satu indikator keberadaban suatu bangsa adalah bila derajat aksesibilitas untuk para penyandang disabilitas terjamin. Artinya ada kemudahan bagi penyandang disabilitas dalam mewujudkan kesamaan dalam segenap aspek kehidupan dan penghidupan semakin membaik.
Dalam konteks penyelenggarakan Pilkada, secara faktual masih sering kita menemukan berbagai persoalan yang menggambarkan betapa partisipasi politik penyandang disabilitas dalam pelaksanaan pesta demokrasi masih rendah. Sosialisasi yang belum menyeluruh di akar rumput dinilai menjadi problem utama rendahnya tingkat partisipasi politik kaum difabel. Sementara pada wilayah lain ketidakpekaan masyarakat terhadap penyandang disabilitas yang mempunyai hak pilih, masih sering terjadi setiap kali adanya pemilu. Masih banyak hal yang belum tersentuh untuk meningkatkan kualitas pemilu maupun Pilkada khususnya terkait partisipasi politik penyandang disabilitas. Bagaimanapun partisipasi tidak boleh hanya berhenti sampai pemilu, dan perlu adanya dorongan bagi penyandang disabilitas untuk terlibat menggunakan hak-hak politiknya. Selain itu, kerabat keluarga juga seringkali tidak mau mendaftarkan. Mereka merasa keterlibatan penyandang disabilitas dalam pemilu dirasa tidak penting dan tidak berpengaruh apapun. Inilah beberapa realitas yang harus diurai satu persatu. Artinya, semua pihak harus terlibat dalam melakukan gerakan literasi politik bagi penyandang disabilitas.
Sebagai warga negara, penyandang disabilitas memiliki kewajiban dan hak yang sama sebagaimana diatur sangat jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Salah satu hak yang dijamin oleh konstitusi adalah persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
Secara khusus, dalam Undang Undang 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 13 menegaskan Hak Politik Penyandang Disabilitas melitputi hak : memilih dan dipilih dalam jabatan publik; menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan; memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum; membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik; membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas; berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum; memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan memperoleh pendidikan politik.
Merujuk pada hak politik yang dimiliki penyandang disabilitas, maka negara harus menjamin penyandang disabilitas hak-hak politik dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya. Jaminan itu diberikan agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih, antara lain dengan misalnya memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan bahan-bahan pemilihan bersifat layak, dapat diakses serta mudah dipahami dan digunakan; melindungi hak penyandang disabilitas untuk memilih secara rahasia dalam pemilihan umum dan referendum publik tanpa intimidasi dan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, bilamana diperlukan atas permintaan mereka, mengizinkan bantuan dalam pemilihan oleh seseorang yang ditentukan mereka sendiri dan sebagainya. Artinya, kesadaran untuk berdaya juga harus dilakukan agar penyandang disabilitas bukan hanya sekadar objek suara yang diperebutkan. Namun hak pilih yang dimiliki penyandang disabilitas juga memiliki makna dalam turut serta menghadirkan demokrasi yang berkualitas. Bahwa adanya partisipasi politik yang melibatkan seluruh masyarakat Indonesia termasuk penyandang disabilitas yang telah memiliki hak pilih merupakan konteks sesungguhnya demokrasi.
Di luar itu, negara secara aktif harus juga mengembangkan lingkungan agar penyandang disabilitas secara efektif dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat, tanpa adanya diskriminasi dan berdasarkan atas azas kesetaraan dengan warga negara lain, serta mendorong partisipasi mereka dalam kehidupan bermasyarakat.

                                                                                                         ————– *** —————-

Tags: