Menyusupi Musim Hujan

Pembuangan limbah (dan sampah) secara sembarang kerap dilakukan pada musim hujan. Karena akan terbawa arus air di sungai maupun di permukaan tanah, bagai menyusup pola pembuangan. Berbagai limbah padat, cair, dan gas, sampai radioaktif, nampak semakin mengotori kawasan. Menjadi pencemaran yang meracuni lingkungan, merembes ke sumber air. Serta terbawa udara terhirup pernafasan. Menyebabkan berbagai penyakit.
Seiring musim hujan, volume air sungai. Tetapi ironisnya, melubernya air sungai digunakan oleh pengusaha untuk membuang limbah beracun berbahaya. Out-take (titik buang) perusahaan biasa tertutup (tersembunyi) dibawah permukaan air sungai. Tetapi dampaknya bisa langsung terlihat. Yakni, timbulan busa dalam takaran sangat menggunung. Seperti terjadi di Kali Damper, Pandaan (Pasuruan, Jawa Timur). Busa diduga dari limbah penggilingan plastik di kawasan setempat.
Pemandangan busa sepanjang satu kilometer, viral di media sosial (medsos), memicu beragam komentar. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten seharusnya bertindak cepat mengusut pemilik limbah. Pada sungai yang lain, diantaranya Kali Surabaya, ikan-ikan munggut (menggelepar pada permukaan air) karena kekurangan oksigen. Masyarakat yang tinggal di dekat stren kali memunguti ikan, walau sangat berbahaya untuk dikonsumsi.
Berdasar UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada pasal 69 ayat (1) huruf a, “setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.” Pemerintah (dan daerah propinsi serta Pemerintah Kabupaten dan Kota), memiliki wewenang kuat (dan luas) dalam pencegahan pengrusakan lingkungan.
UU Lingkungan Hidup juga memberi wewenang pemerintah (dan daerah propinsi, kabupaten dan kota) melakukan upaya paksa. Padal pasal 82 ayat (2), dinyatakan, “Menteri, gubernur, atau bupati / walikota berwenang untuk memaksa penanggungjawab usaha …melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran … lingkungan hidup yang dilakukannya.”
Hukuman pencemaran lingkungan, bukan enteng. Pada pasal 95, ayat (1) dinyatakan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 3 milyar, dan paling banyak Rp 10 milyar.
Hukuman bertambah berat, manakala mengakibatkan orang luka atau sakit dan membahayakan kesehatan manusia. Pidana-nya menjadi 4 tahun, denda sampai Rp 12 milyar. Lebih lagi menyebabkan luka berat atau kematian, pidananya menjadi 5 tahun, dengan denda sampai Rp 15 milyar. Tetapi biasanya, Pengadilan akan mem-vonis sebagai “kelalaian” (bukan kesengajaan). Sehingga hukuman pidana (dan denda) berkurang.
Tetapi realitanya, pencemaran dan perusakan lingkungan kerap berulang terjadi. Hanya tindakan perusakan lingkungan yang telah memperoleh hukuman berat. Antara lain pada kasus pembakaran hutan dan lahan. Sedangkan pencemaran lingkungan belum memperoleh kepedulian lebih seksama. Terutama pencemaran air (sungai), udara, dan pada permukaan tanah, bagai ter-abaikan. Termasuk dilakukan oleh perusahaan swasta skala besar, dan BUMN.
Lemahnya penegakan hukum pencemaran, berakibat banyak pengusaha nakal selalu coba mencari jalan pembuangan limbah secara gratis. Seperti terjadi pada pembuangan limbah radioaktif, di Tangerang Selatan. Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) masih mengusut pembuangan limbah radioaktif. Persis di perumahan pegawai Batan (Badan Tenaga Atom Nasional), di Serpong. Ini bagai teror “di depan hidung,” walau konon, tidak membahayakan.
Pemerintah (dan daerah) seyogianya lebih kukuh melaksanakan UU Nomor Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terutama penyusunan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) sesuai update terbaru.
——— 000 ———

Rate this article!
Menyusupi Musim Hujan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: