Merespons Wajar Pilkada Serentak 2018

(Beberapa Daerah Terasa “All Jokowi Final”)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Iring-iringan pendukung pasangan calon (paslon) pilkada, mulai sering terlihat di sepanjang jalan menuju kantor KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah). Pilkada serentak putaran ketiga, sudah dimulai sejak awal tahun (2018) ini. Diperkirakan bakal lebih seru dibanding pilkada serentak sebelumnya (tahun 2017), yang hanya ramai di (pilgub) Jakarta. Tahun ini, tiga propinsi terbesar (penduduknya) di se-antero Jawa, akan menggelar pilihan gubernur. Diikuti pula dengan 154 pilkada Bupati dan Walikota.
Konon, pilkada serentak tahun 2018, akan menjadi pertarungan terakhir parpol. Sekaligus menjadi potret sukses pemilu legislatif dan pilpres 2019. Sebanyak 171 daerah akan menggelar hajat memilih pimpinan. Sebanyak 17 daerah akan memilih gubernur baru. Di Jawa Timur, selain menggelar pemilihan gubernur juga digelar 13 pilihan bupati, dan 5 penyelenggaraan pilwali. Sehingga diperkirakan lebih seru dibanding pilkada serentak tahun 2017.
Pekan ini menjadi injured time parpol dan bakal paslon. Terutama yang belum ketemu jodoh. Parpol belum menemukan bakal paslon yang tepat. Begitu pula bakal paslon masih mencari parpol yang bersedia mengusung. Pendaftaran calon akan ditutup 10 Januari 2018. Namun harus diakui, tidak mudah memenuhi syarat pendaftaran bakal calon dalam pilkada. Antaralain, persyaratan sangat berat yang diatur dalam UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada.
Sampai H-2 pendaftaran, terbukti beberapa parpol belum memiliki bakal paslon. Serta beberapa bakal calon (yang memiliki uang berlimpah) masih melobi parpol. Biasanya, parpol memilih waktu sampai jam akhir (pukul 23:00), tanggal 10 Januari 2018. Walau sebenarnya, waktu yang sangat mepet, tidak menguntungkan. Karena bakal paslon yang diusung secara dadakan, tidak memiliki waktu yang cukup untuk di-sosialisasikan. Sedangkan bakal paslon lain telah memajang baliho, spanduk, dan poster.
Pendaftaran bakal pasangan calon (paslon) diatur dalam UU Pilkada pada pasal 39, dan dirinci pada pasal 40 ayat (1). Yakni, bakal paslon independen pengumpulan KTP sebanyak 25% jumlah pemilih. Itu tidak mudah (tidak murah pula). Serta memerlukan ke-tokoh-an (popularitas dan elektabilitas) paslon. Ironisnya dalam sejarah pilkada di Indonesia, hanya sekitar 2% calon independen bisa memenangkan pilkada.
Harus diakui, tidak mudah menentukan bakal paslon pilkada. Bukan sekedar memilih kader (internal parpol) terbaik. Bahkan tak jarang, harus rela menjumput kader parpol lain. Hal itu terjadi, antaralain di Jawa Timur, dilakukan oleh PDIP. Bakal paslon yang diusung dalam pilgub, Saifullah Yusuf-Azwar Anas, keduanya dikenal sebagai kader PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Walau Saifullah Yusuf, memiliki “benang merah” sebagai anggota DPR-RI dari fraksi PDIP.
“All Jokowi Final”
Begitu pula bakal paslon “seberang,” (Khofifah Indarparawansa – Emil Dardak), tak lepas pula dari keterkaitan dengan PDIP. Khofifah (yang diangkat sebagai Menteri bukan dari unsur parpol), di-identik-kan sebagai “orang-nya” (presiden) Jokowi. Jargon paslon ini “KErja,” (baca kerja)merupakan ikon ujaran presiden Jokowi. Ikon ujaran presiden tersebut mulai dipopulerkan sejak peringatan 17 Agustus 2016.
Hal itu menunjukkan, bakal Calon Gubernur Khofifah, maupun Saifullah Yusuf, sama-sama memiliki hulu yang sama. Yakni, PDI-P, atau presiden Jokowi. Sehingga bisa disebut “All Jokowi Final.” Itu menirukan pertandingan olahraga even internasional, manakala terjadi dominasi final oleh delegasi satu negara. Misalnya dalam pertandingan bulutangkis, sering terjadi All Indonesia Final. Begitu pula pada pertandingan sepakbola (piala Champions Eropa) sering terjadi All Spain Final (sama-sama dari Spanyol), atau kadang El-Classico.
“All Jokowi Final,”di-identik-kan dengan parpol pendukung presiden Jokowi. Yakni, PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, dan Hanura. Tak jarang mulai disusul pula oleh Partai Demokrat. Walau sebenarnya, presiden Jokowi, tidak pernah mengurus pilkada (pemilihan gubernur). Hal itu sudah dinyatakan ketika pilgub DKI Jakarta, bahwa presiden tidak turut campur dalam pilgub. Lebih lagi, presiden Jokowi bukan pengurus parpol. Sedangkan pilgub, semuanya urusan parpol dan daerah.
UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, pada pasal 39, merinci peserta pemilihan (kepala daerah). Yakni, partai politik atau gabungan partai politik, serta paslon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.Penyelenggaranya, juga lembaga negara independen (KPU, Komisi Pemilihan Umum Propinsi, serta KPUD Kabupaten dan Kota). Tidak terkait samasekali dengan presiden dan lembaga kepresidenan.
Bahkan UU tentang Pilkada, tidak menyebut kesertaan DPP dalam pilgub maupun pilkada kabupaten dan kota. Pasal 42 ayat (4) UU Pilkada menyatakan, “Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai Politik tingkat Provinsi disertai Surat Keputusan Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi.”
Itulah alasanterbangunnya analisis “All Jokowi Final.”Sebab realitanya, seluruh rekom parpol untuk pilgub, dilakukan oleh dewan pengurus pusat (DPP) parpol. Kenyataan pula, bahwa pada penyusunan kabinet, presiden Jokowi berkoordinasi dengan pucuk pimpinan (DPP) parpol. Begitu pula pada urusan politik krusial (di DPR-RI), selalu dilakukan lobi-lobi antar-DPP parpol. Paling akhir, misalnya, pada pengesahan Perppu Nomor 2 tahun 2017, berkait dengan pembubaran ormas radikal.
Cegah Kampanye Hitam
Rasa “All Jokowi Final,”bukan hanya pada pilgub Jawa Timur. Melainkan juga di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Seluruhnya sah, legal, wajar, dan sesuai undang-undang. Namun hasil pilkada, niscaya, bergantung pada hasil coblosan pilihan rakyat. Bukan bergantung pada parpol pengusung dan pendukung. Terbukti, pilgub DKI Jakarta, calon yang diusung (bersama-sama) parpol pendukung pemerintah, kalah telak.
Hasil coblosan putaran kedua di DKI Jakarta, seolah-olah mengulang pilkada tahun 2012 lalu. Pasangan incumbent kalah telak. Bahkan pilkada saat ini, kekalahan incumbent (Ahok – Djarot) lebih telak! Berselisih sampai 15%. Padahal dukungan parpol kepada incumbent sangat besar, selalu single majority. Seharusnya (berdasar kalkulasi konstituen parpol pada pileg 2014 lalu) menang mudah. Realitanya, masyarakat Jakarta berkehendak lain, dengan berbagai ketegangan.
Dukungan koalisi parpol besar, sampai mayoritas tunggal, tidak selalu inharent dengan hasil coblosan. Pengalaman pilkada DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta, patut menjadi “kaca benghala” nasional. Sampai menjadi pemberitaan internasional. Sekaligus menjadi awal maraknya hoax (berita bohong) pada media sosial. Tetapi ekses psiko-sosial pilkada Jakarta, menunjukkan tren krisis kepemimpinan makin kuat.
Seluruh energi (dan kapita) seolah-olah dicurahkan untuk pilkada. Seluruh kader parpol (Ketua Umum tingkat pusat sampai tingkat kelurahan) diwajibkan berperan aktif. Tak terkecuali melibatkan kader parpol yang memiliki jabatan publik. Sehingga pilkada, bukan hanya kontestansi paslon. Tetapi telah menjadi ajang “aduan” kelompok parpol. Niscaya, berpotensi ajang tarung sosial secara diametral. Setidaknya, terjadi di media sosial. Termasuk kampanye hitam (fitnah).
Kampanye hitam, ternyata sudah dimulai. Korbannya, tidak tanggung-tanggung, bakal calon Wakil Gubernur Jawa Timur. Padahal, Abdullah Azwar Anas, sudah di-deklarasikan oleh parpol terbesar di Jawa Timur (PKB dan PDIP). Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi, tergolong Kepala Daerah berprestasi. Juga menang mudah (telak) pilkada Banyuwangi, dua periode. Bahkan pada periode kedua, unggul mutlak, dengan dukungan hampir 90% suara pemilih.
UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, terdapat larangan kampanye hitam. Pasal 69 (larangan kampanye), huruf c disebutkan, “melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.”Namun Azwar Anas, memilih mundur sebelum didaftarkan ke KPU Propinsi.
Saat ini Di Jawa Timur, pilkada serentak 2018, akan diselenggarakan di 13 kabupaten, dan 5 pemilihan walikota. Separuhnya (9 daerah) berpotensi kerawanan sosial. Pilkada, mestilah dihindarkan dari potensi perpecahan daerah, disesuaikan dengan UU Pilkada Nomor 8 tahun 2015. Tokoh-tokoh masyarakat diharapkan dapat menjaga “kesejukan” pilkada. Tidak merespons pilkada bagai pertarungan hidup-mati.
Urusan pilkada, seharusnya “selesai” di tingkat daerah. Selesai pula segala hiruk-pikuknya sampai batas coblosan. Tanpa melibatkan pejabat vertikal maupun “teman” dari daerah lain. Agaknya, masih diperlukan revisi (keempat) terhadap UU Pilkada, agar lebih mewadahi kearifan lokal.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: