Mewujudkan Polri “Presisi”

foto ilustrasi

Kepala Kepolisian RI (Kapolri) yang baru langsung “tancap gas” sambangi organisasi kemasyarakatan (Ormas). Sinergitas Polri dengan masyarakat bisa mewujudkan pengamanan lingkungan secara swakarasa oleh masyarakat. Menjadi modal utama membangun kondisi tertib sosial. Termasuk mencegah kejahatan dengan tindak kekerasan yang masih meresahkan. Tetapi masih diperlukan peningkatan citra Polri menuju “Presisi” (prediktif, responsif, dan transparansi).

Pencegahan (dan pemberantasan) radikalisme dan terorisme masih menjadi beban utama tupoksi Polri dengan dukungan Koopsus TNI. Sehingga diperlukan penguatan wawasan kebangsaan dan bela negara. Radikalisme (aliran “kiri” dan ekstremisme “kanan”) biasa muncul dari tengah masyarakat. Maka sinergitas Ormas terbesar (dan terpercaya) bersama Polri, memiliki fungsi strategis.

Radikalisme juga biasa berlindung di balik HAM (Hak Asasi Manusia). Terutama berkait isu penegakan hukum yang masih terasa timpang, dan kemiskinan. Dalam forum uji kelayakan di hadapan Komisi III DPR Kapolri berjanji, cita penegakan hukum akan memenuhi rasa keadilan di atas hokum materiil. Selain juga harus berjalan lebih efektif, efisien. Secara khusus Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, mengenang tragedi penegakan hukum kasus nenek Minah, November 2009.

Nenek Minah, divonis 1,5 tahun dengan masa percobaan selama 3 bulan, oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto (Jawa Tengah). Majelis hakim yang memvonis, juga mencucurkan air mata. Serta memberi uang tanda empati. Nenek Minah, terbukti (dan mengakui) perbuatannya, sesuai BAP Kepolisian. Yakni, memetik 3 buah kakao milik perusahaan. Tujuannya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya.

Kasus nenek Minah terjadi bagai drama “parodi hukum” zaman kolonial. Ketahuan mandor perusahaan memetik 3 buah kakao, nenek minta maaf, dan mengembalikannya. Tetapi mandor kebun bersikukuh melaporkan ke Kepolisian. Pada kasus ini Polres gagal menjadi juru damai. Nenek Minah tetap disidik sampai P-21 hingga persidangan usai di Pengadilan Negeri.

Kapolri berjanji, penegakan hukum seperti kasus nenek Minah, dipastikan tidak akan terjadi lagi. Polri harus berhasil me-mediasi kasus hukum sesuai prinsip rasa keadilan. Bahkan dalam penegakan hukum lalulintas, Polri tidak perlu menilang pelanggar. Tilang akan dilakukan secara elektronik (Electronic Traffic Law Enforcement, ETLE). Ini sekaligus mengurangi pelanggaran prosedur polisi di jalan. Serta mengubah citra Polisi lebih berwibawa.

Jargon “Presisi” (prediktif, responsif, dan transparansi) akan menjadi panduan utama kinerja Kepolisian RI (Polri). Sudah dimulai ketika Polri menerima legawa hasil investigasi Komnas HAM terhadap peristiwa penembakan anggota ormas terlarang. Polri menindaklanjuti dengan penyidikan dan penyelidikan internal oleh Divisi Propam. Serta kasus suap penghapusan Red Notice terhadap buron terpidana kasus korusi Bank Bali.

Setidaknya selama 5 tahun terakhir Polri telah meningkatkan kepercayaan publik, sekaligus mengukir prestasi gemilang. Terutama hampir hilangnya kasus “damai” tilang di jalan. Namun yang lebih gemilang, adalah sukses mengamankan rangkaian kegiatan Pemilu 2019 yang mendebarkan. Termasuk sukses menangani kerusuhan menolak hasil pilpres, walau sampai menahan 400 lebih tersangka. Dengan dukungan TNI, dan masyarakat, Polri tidak mundur dari gertakan dan ancaman ketertiban masyarakat.

Pemilu serentak 2019, merupakan pemilu paling kolosal di dunia. Sekaligus paling rumit. Boleh jadi, Polisi seluruh dunia akan belajar pada Polri (Kepolisian Republik Indonesia). Kegaduhan sosial yang menyertai kegiatan Pemilu 2019, telah terjadi sejak pra-pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan sampai ancaman peruntuhan sendi ke-negara-an. Tetapi Polri berhasil menangani dengan prinsip “Presisi.”

Dukungan TNI, dan masyarakat, akan tetap memperkuat Polri. Sekaligus menjadikan “Presisi” sebagai kelaziman dan inti ke-profesi-an.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: