Pekerjaan Tak Mengenal Gender, Harus Dengan Perhitungan Tepat

3-foto- Eko Supeno, Direktur Kemahasiswaan Unair (geh.)Surabaya, Bhirawa.
Rencana pengurangan jam kerja bagi PNS perempuan harus diterapkan dengan pertencanaan dan perhitungan yang tepat.  Sifat pekerjaan , terutama tugas birokrasi, yang tidak mengenal gender harus diantisipasi agar kebijakan pengurangan jam kerja ini justru bisa berdampak positif secara luas.
Pakar administrasi negara Unair, Eko Supeno, , Drs., M.Si, mengapresiasi bentuk penghargaan pemerintah kepada perempuan yang bekerja di lingkungan PNS terkait pengurangan jam kerja. Akan tetapi, pihaknya khawatir kebijakan ini akan memposisikan PNS sebagai komunitas yang salah.
” Jangan sampai jadi komoditas politik, tanpa sadar menciptakan PNS ini adalah musuh rakyat. Jangan sampai ini terjadi, tapi bisa jadi ini menimbulkan gejolak. Sebenarnya banyak yang harus pemerintah dikerjakan seperti kualitas PNS itu sendiri,” kata Eko Supeno yang juga Direktur kemahasiswaan Universitas Airlangga (Unair), ketika ditemui Bhirawa di gedung kemahasiswaan kampus C, Selasa (2/12).
Wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan pekerja di lingkup PNS yang diusulkan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini , lanjut Eko, bisa memunculkan kesan diskriminatif, namun diyakini dosen FISIP Unair ini berdampak positif bagi pekerja perempuan.
Menurut Eko, pengurangan jam kerja bagi PNS perempuan berdampak positif maupun negatif. Positifnya, tambah Eko, mengapresiasi terhadap kaum perempuan yang masih mengedepankan keluarga, karena jam kerja perempuan memang jauh lebih panjang dibandingkan laki-laki. Yang kedua, mengurangi potensi-potensi konflik keluarga.
” Dan mengurangi beban arus lalu lintas karena beban dibagi jam pemulangannya. Kalau negatifnya bisa terlihat setelah kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah,” tambahnya.
Ditanya, apakah kebijakan ini nantinya tidak menimbulkan kecemburuan sosial bagi perempuan yang bekerja di swasta?, Eko mengatakan, pekerjaan itu tak mau tahu itu laki apa perempuan. ” Jadi pekerjaan itu tak mengenal gender. Apalagi kalau atasannya perempuan. Kebijakan ini perlu ditata, diatur, dan diperhitungkan,”  imbuhnya.
Dirinya mencontohkan, semisal kalau ada kesalahan di dalam pekerjaan, atau ada kekurangan, dan itu dikerjakan oleh PNS perempuan. Dan di saat itu juga sudah jam pulang, apakah tidak diselesaikan saat itu juga?,
” Beban kerja memang berkurang, kalau sistem penggajian itu nantinya automaticly. Seharusnya pemerintah itu bagaimana cara meningkatkan kinerja PNS, kan masih banyak PNS yang keluyuran di mall. Dan terkait pengiriman surat tidak harus dengan kertas, sekarang ini sudah jamannya IT jadi harus dimanfaatkan. Kalau mau meeting kan bisa menggunakan E-meeting. Apalagi limbah kertas sekarang banyak,” jelasnya.
Selain itu, Kabid Penempatan Pembinaan dan Pengembangan Tenaga Kerja Disnaker Surabaya, Irna Pawanti mengapresiasi kebijakan pemerintah terkait pengurangan jam kerja bagi PNS perempuan. Akan tetapi, Irna mengatakan, penerapan kebijakan ini harus diiplementasikan secara bijaksana. Sehingga program pemerintah berjalan dengan baik.
” Saya setuju saja, asal harus komprehensif jangan tunggal. Karena itu salah satu untuk menciptakan keluarga hebat berkarakter,” ujar Irna yang juga mempunyai putra berusia 10 bulan ini pada Bhirawa di ruang kerjanya.
Sementara itu respon kalangan pengusaha  atas rencana ini justru kurang pas dengan kondisi pekerja sector swasta. Mereka menganggap dengan berkurangnya jam kerja berdampak kepada produktivitas kerja yang akan menimbulkan gangguan terhadap operasional perusahaan.
Roberto Bernhardeta, Direktur Keuangan PT Berlina Tbk, menguraikan pengurangan jam kerja bisa berdampak kepada pekerja perempuan. Lantaran banyaknya pekerja perempuan yang harus rela harus bekerja lembur guna menutup kebutuhan setiap harinya.
” Untuk belanja setiap hari banyak pekerja wanita yang harus mengambil lembur, kalau hanya mengandalkan jam kerja yang resmi sangat pas-pas’an,” tegas pria berusia 39 tahun tersebut, Selasa (2/12) kemarin di Surabaya.
Ia melanjutkan, jika alasan pemerintah agar wanita lebih memperhatikan keluarga menurutnya kurang tepat. Karena dalam rumah tangga perhatian terhadap keluarga merupakan tanggung jawab bersama. Yang penting bagaimana memberikan waktu yang berkualitas terhadap keluarga.
” Jika kebijakan tersebut diterapkan kepada pekerja wanita yang bekerja di Swasta tentu sangat menganggu produksi. Contoh buruh Sampoerna, yang mayoritas adalah perempuan jika jam kerjanya berkurang maka target produksi yang harus dicapai pada hari itu tidak bakal tercapai,” katanya.
Dampak yang lebih besar bisa terjadi PHK dalam jumlah yang besar. Terutama bagi perempuan yang ber keluarga. Karena perusahaan telah memberikan kewajibannya dengan memberikan upah, namun target produksi tidak tercapai maka perusahaan yang operasionalnya menggunakan kaum perempuan akan mengganti dengan  perempuan yang masih lajang atau fresh graduate (baru lulus sekolah). Atau tetap menerima perempuan yang siap kerja dengan jam normal.
” Inikan dimulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan yang jam kerjanya berkurang. PNS perempuan kan penghasilannya sudah cukup melimpah, berbeda dengan perempuan yang bekerja pada swasta, mereka tidak masuk bekerja maka bayarannya akan mengalami potongan yang banyak. Jadi saya usulkan kepada pemerintah, agar membatalkan rencana tersebut karena sangat merugikan banyak pihak,” tuturnya. [geh.wil]

Keterangan Foto : Eko Supeno, Drs. M.Si

Tags: