Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen Civic Hukum dan Trainer P2KK Universitas Muhammadiyah Malang

Belakangan ini, kekerasan di ranah publik masih tergolong masih tinggi. Terlebih kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di lingkungan pendidikan. Oleh karena itu, upaya penerapan zona bebas kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk zona bebas kekerasan seksual, harus menjadi perjuangan bersama. Menjadi logis, jika kawasan bebas kekerasan, termasuk kekerasan seksual di lembaga pendidikan, merupakan gagasan yang wajib didukung oleh siapa saja. Nah, melalui rubrik opini di harian inilah penulis berusahan menuangkan gagasan sekaligus solusi guna menekan angka kekerasan di lingkungan pendidikan.

Kekerasan di lembaga pendidikan
Pembangunan yang berjalan dewasa ini merupakan upaya yang memunculkan pembangunan dengan paradigma baru yaitu pembangunan yang menitikberatkan pada upaya empowerment yang mengacu pada pembangunan berwawasan melalui paradigma sehat, dimana orientasi upaya kesehatan lebih mengutamakan kegiatan yang promotif, preventif, tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Peran aktif seluruh komponen pembangunan sangat diperlukan dalam kesatuan wadah pelaksana pembangunan ini, termasuk didalamnya kaum perempuan.
Namun, sayang di tengah kemajuan pembangunan perempuan justru kerap menjadi korban kekerasan (violent), sehingga posisi perempuan menjadi isu penting yang marak pada dewasa ini, selain mengandung aspek sosiologis, juga sarat dengan aspek ideologis. Berdasarkan data pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan, kekerasan di sektor publik masih tinggi, yaitu sebanyak 1.276 kasus dimana kekerasan seksual mendominasi. Salah satu sektor publik yang menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual adalah di lingkungan pendidikan.
Laporan tahunan Komnas Perempuan 2023 mencatat adanya peningkatan yang signifikan pada kekerasan di lembaga pendidikan dari 12 menjadi 37 kasus dibandingkan tahun sebelumnya, dengan kekerasan seksual, percobaan pemerkosaan, pelecehan verbal, dan kriminalisasi di antara bentuk-bentuk kekerasan seksual. Mirisnya lagi, kekerasan juga dilakukan oleh guru, pelatih, dan pemuka agama yang bekerja di bidang pendidikan. Realitas tersebut, merupakan sebuah paradoks, karena mereka seharusnya menjadi pelindung, panutan dan perwakilan negara yang seharusnya hadir sebagai penanggung jawab hak-hak sipil, bukan justru sebaliknya mengancam perempuan.
Oleh karena itu, upaya penerapan zona bebas kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk zona bebas kekerasan seksual, harus menjadi perjuangan bersama. penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajuan bangsa sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Lembaga Pendidikan dan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 73 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Satuan Pendidikan di bawah Kementerian Agama, meski direalisasikan dengan tindakan konkret. Regulasi tersebut mestinya harus menjadi acuan yang harus dipahami oleh civitas akademika dan pemangku kebijakan di lembaga pendidikan.

Solusi pencegahan dan penanggulangan
Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM yang paling kejam yang dialami oleh perempuan. Fenomena ini juga telah menjadi kecemasan bagi setiap negara di dunia, termasuk negara-negara maju yang sangat menghargai dan peduli dengan hak hak asasi manusia. Solusi untuk pencegahan pun meski penting dilakukan dan lembaga pendidikanlah yang mestinya menjadi institusi yang strategis dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual. Detainya, berikut inilah beberapa solusi yang mestinya dilakukan penyelengga pendidikan dalam mencegah kekerasan seksual terhadap perempuan.
Pertama, saatnya penyelenggaraan pendidikan mampu mewujudkan pendidikan yang demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajuan bangsa telah diamanatkan dalam UU RI No. 20/2003 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan. Upaya tersebut, meski juga didukung oleh KMA No. 3/2023 tentang Pedoman Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
Kedua, menciptakan lingkungan yang aman. Lembaga pendidikan harus menciptakan lingkungan pendidikan yang aman. Lingkungan yang bisa melindungi setiap warganya dari setiap tindakan kekerasan, termasuk kekerasan seksual ini. Apabila terjadi pelecehan seksual di sekolah pastikan sekolah tidak menutupi kasus tersebut tetapi melindungi korbannya, memastikan keamanan korban, dan mengawal kasus tersebut untuk diselesaikan secara hukum.
Ketiga, meningkatkan pembelajaran seksual (sex education). Secara umum siswa/siswi diberi pemahaman yang benar tentang pembelajaran seksual, agar mereka memahami pentingnya menjaga diri dan mengenal batasan-batasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis atau orang lain.
Keempat, sistem keamanan di lembaga pendidikan harus berjalan dengan baik. Pemasangan CCTV di berbagai sudut. Security, petugas piket, penjaga dan guru/dosen secara berkala berbagi tugas untuk menyisir setiap sudut dan tempat-tempat di area sekolah. Jadi apabila terjadi pelecehan terhadap siswi/mahasiswa dapat dicegah melalui CCTV bahkan bisa menjadi barang bukti yang kuat untuk dilanjutkan ke ranah hukum.
Kelima, diberikan sanksi berat terhadap pelaku pelecehan seksual. Lembaga pendidikan pastinya juga harus memberikan sanksi yang berat terhadap pelaku kekerasan seksual. Bila guru atau dosen yang melakukan kekerasan seksual, maka tidak ada ampun. Lembaga pendidikan harus memberikan sanksi yang berat.
Keenam, mencegah kekerasan seksual dengan melakukan seleksi penerimaan guru yang ketat. Pastikan sekolah memilih guru yang tidak hanya memiliki kemampuan mengajar yang baik, melakukan wawancara/test khusus tentang pembelajaran seksual kepada setiap tenaga pendidik yang masuk ke sekolah tersebut, dan juga punya akhlak yang baik. Bila hal-hal tersebut sudah dipenuhi, bisa mencegah kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru.
Melalui keenam solusi penjelasan tentang kekerasan seksual dan cara pencegahannya itulah mestinya urgen menjadi perhatian bersama, sekaligus diperlukan komitmen yang kuat baik dari satuan pendidikan maupun pemerintah sebagai regulator, ditambah pengawasan sosial dari masyarakat. Mari kita semua mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, agar siswi/mahasiswi bisa merasa aman dan menempuh ilmu dengan tenang dan nyaman.

———– *** ————

Tags: