Peran Kampus dalam Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus

Oleh :
Firsty Oktaria Grahani
Dosen Psikologi Universitas Wijaya Putera (UWP) Surabaya

Salah satu Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah penyandang cacat. Merujuk data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2021, diperoleh data bahwasannya dari total 7 miliar penduduk dunia di tahun 2021, 15 persen di antaranya adalah penyandang disabilitas. Dari sejumlah 15 persen itu, 80 persennya tinggal di negara berkembang.

Kota Surabaya, menurut Dinas Sosial Kota Surabaya pada Tahun 2019 memiliki jumlah penyandang cacat sebesar 280 jiwa yang terdiri dari 111 jiwa tuna netra, 86 jiwa tuna wicara/rungu, 129 jiwa cacat anggota badan dan 125 cacat mental/tunagrahita. Kondisi ini menunjukkan adanya kenaikan penyandang cacat atau disabilitas di setiap tahunnya.

Pemerintah punya kepedulian terhadap hak-hak penyandang disabilitas. Salah satunya dengan pembentukan Komisi Nasional Disabilitas berlandaskan Peraturan Presiden Nomor 68 tahun 2020, sebagai aturan turunan dari pasal 134 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) tahun 2018, terdapat 22% penyandang disabilitas berusia dewasa di Indonesia. Ironisnya, di dunia pendidikan, menurut data BPS, akses pendidikan kepada kaum disabilitas masih tergolong rendah. Hal ini dapat dicermati dari data-data yang diperoleh sebagai berikut: BPS menyebutkan, terdapat 30,7% penyandang disabilitas yang tidak tamat sekolah sampai tingkat pendidikan menengah.

Sementara penyandang disabilitas yang berhasil tamat perguruan tinggi hanya 17,6% dari total penyandang disabilitas. BPS juga menyebutkan, lapangan pekerjaan bagi disabilitas pada periode 2016-2019 tidak pernah tumbuh lebih dari 49%.

Survei Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018.Survei itu menunjukkan, hanya 56 persen anak penyandang disabilitas yang lulus Sekolah Dasar, dan hampir 3 dari 10 anak dengan disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan.

Berdasarkan Statistik Pendidikan 2018, persentase penduduk usia 5 tahun ke atas penyandang disabilitas yang masih sekolah hanya 5,48 persen. Penyandang disabilitas yang belum atau tidak pernah bersekolah sama sekali mencapai 23,91 persen. Sementara itu, penyandang disabilitas yang tidak bersekolah lagi sebesar 70,62 persen.

BPS melaporkan, pada 2021, jumlah penyandang disabilitas usia sekolah (5-19 tahun) berkisar 2.197.833 jiwa. Sementara, yang terdata di Pusat Data dan Informasi Kemendikbudristek ada sekitar 269.398 anak yang mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah inklusi. Artinya, baru sekitar 12 persen anak yang dilayani kebutuhan pendidikannya.

Selama ini, perspektif yang berkembang luas di masyarakat adalah bahwa Anak berkebutuhan khusus dianggap sebagai sosok yang tidak berdaya dan perlu dikasihani. Hal inilah yang menjadikan anak berkebutuhan khusus sering dikucilkan atau termaginalkan dari lingkungan sekitar bahkan sering menerima perlakuan yang diskriminatif dari orang lain.

Kondisi keterbatasan yang dialami para ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) semakin dirasa sulit ketika mereka harus menghadapi kemiskinan dan keterlantaran. ABK dari keluarga miskin, mereka tidak mampu mendapatkan sekolah khusus karena keterbatasan kondisi ekonomi keluarganya.

Dengan kondisi keterbatasan yang dimiliki ABK akan membuat orang lain merasa iba, bahkan tidak jarang mereka dimanfaatkan oleh orang tuanya atau keluarganya untuk meminta-minta di jalanan. Selain itu, ada juga ABK yang sengaja ditelantarkan oleh orang tua atau keluarganya karena tidak dapat menerima keadaan pada diri mereka. Akibatnya banyak ABK yang berada dalam kondisi SES (Status Ekonomi Sosial) yang rendah hidup di jalanan, terlantar, dan bahkan menjadi pengemis.

Fenomena yang dialami oleh ABK tersebut banyak terjadi di kota-kota besar, tidak terkecuali di kota Surabaya. Permasalahan yang dialami oleh ABK tersebut perlu menjadi salah satu fokus penanganan oleh pemerintah baik, pemerintah daerah, kota maupun pusat.

Sebagaimana yang tertuang di Peraturan Menteri Sosial No. 4 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi Sosial Dasar Bagi Anak Telantar, bahwa setiap anak mempunyai hak yang sama untuk hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya sehingga diperlukan rehabilitasi sosial dasar bagi anak telantar yang terarah dan terpadu untuk melaksanakan rehabilitasi sosial dasar bagi anak telantar, diperlukan pengaturan yang terintegrasi dan terkoordinasi.

Dalam hal ini perlu adanya kerjasama, sinergi dan kolaborasi dari semua pihak, karena masalah tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah melainkan menjadi permasalahan yang perlu diselesaikan bersama dan dalam hal ini memerlukan kesedian dan kontribusi aktif dari phak-pihak yang ahli dan berpengalaman di bidangnya khususnya dalam penanganan ABK juga individu dengan kondisi disabilitas. Salah satunya peran serta aktif dari civitas akademika baik dari dosen maupun mahasiswa.

Pada dasarnya pemerintah kota telah mencanangkan program rehabilitasi sosial yang dilaksanakan di dalam panti maupun di luar panti. Untuk program disabilitas di luar panti, rehabilitasi diselenggarakan pada fasilitas milik pemerintah daerah maupun masyarakat,. Namun, pada kenyaataannya beberapa program yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut masih memiliki beberapa kendala baik dari sisi keterbatasan SDM maupun minimnya edukasi yang dimiliki oleh masyarakat terkait pemahaman tentang ABK (Anak Berkebutuhan Khusus), dll.

Kondisi-kondisi demikian secara tidak langsung turut mempengaruhi efektivitas proses penanganan yang dilakukan terhadap ABK maupun penyandang disabilitas yang menjadi kurang optimal. Hal yang demikian yang pada akhirnya memerlukan sinergi serta peran serta aktif dari pihak-pihak yang memiliki keahlian pada penanganan ABK dan salah satunya dari perguruan tinggi.

Dalam hal ini Perguruan Tinggi bersama dengan pemerintah khususnya dinas sosial yang khusus menangani ABK yang terlantar berkolaborasi dalam membuat suatu program dalam pengembangan soft skill maupun hard skill ABK yang tentunya telah disesuaikan dengan karakteristik masing-masing ABK, tentunya program yang dikembangkan nantinya bersifat aplikatif sehingga mudah untuk diimplementasikan, kerjasama dalam hal pendampingan untuk mengetahui perkembangan ABK secara berkelanjutan, serta melakukan riset bersama sebagai salah satu langkah dalam pengembangan keilmuwan guna penanganan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)

Harapannya ke depan dengan adanya sinergi, peran serta aktif dan kolaborasi antara pemerintah dengan pihak-pihak terkait yang memang memiliki keahlian khususnya perguruan tinggi dapat membantu pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan perkotaan sedangkan untuk para ABK, harapannya nantinya para ABK ini dapat berperilaku normatif dan mandiri dalam menjalankan fungsi sosial secara wajar di lingkungan masyarakat sehingga program-program yang telah dirancang oleh pemerintah dapat berjalan dengan efektif karena setiap anak yang termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK) memiliki hak yang sama seperti anak-anak reguler yang lain untuk dapat mengembangkan diri dan meraih masa depan sesuai dengan yang diharapkan.

———- *** ————

Tags: