Pileg, Sirkuit (termahal) Demokrasi

Yunus Supanto

Yunus Supanto

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dkwah sosial politik.
Sirkuit demokrasi pileg (pemilu legislatif) lima tahunan akan digelar serentak di seluruh Indionesia 9 April 2014. Inilah hajatan paling sistemik, masif terstruktur, dan sangat mahal. Andai dihitung pengeluaran setiap caleg di seluruh Indonesia, maka ongkos pileg bisa mencapai ratusan trilyun. Kegiatan seremonial pokok untuk setiap orang yang memiliki hak pilih tak lebih dari sekitar 5 menit. Hanya nyoblos 4 kali (pada 4 lembar surat suara), jes, jes, jes, jes, lalu pulang setelah mencelupkan jari ke kaleng tinta.
Bersamaan dengan detik-detik coblosan sejak awal, bisa dipastikan, seluruh televisi dan media online juga menayangkan hasil coblosan. Tayangan hasil coblosan melalui media tersebut memang tidak resmi. Dan hanya merupakan prakiraan berdasarkan hasil quick-count (hitung cepat) oleh perusahaan jasa survei. Berdasarkan putusan MK (Mahkamah Konstitusi), mulai tahun ini prakiraan quick count boleh ditayangkan bersamaan dengan coblosan. Sehingga pileg akan lebih nampak bagai sirkuit, adu cepat pengumpulan suara.
Bagi parpol dan celag, pemilu legislatif, memang sirkuit. Yakni, mengadu nasib mencapai finis pada kursi parlemen di pusat maupun daerah (propinsi serta kabupaten dan kota). Sebagai salahsatu pilar sistem pemerintahan, parlemen memiliki fungsi sangat strategis. Berdasarkan UUD pasal 20A, DPR memiliki fungsi legislasi (membuat undang-udang), fungsi anggaran (menentukan APBN) dan fungsi pengawasan.
Sehingga setiap anggota parlemen memiliki hak protokoler “high level” hampir setara menteri. Bahkan dalam forum tertentu pada rapat-rapat komisi di DPR, seolah-olah anggota dewan memiliki hak bicara melebihi menteri. Ini bisa dimaklumi, karena setiap komisi di DPR memiliki  institusi “mitra binaan” beberapa Kementerian. Konon, karena hak bicara yang lebih keras itulah yang menyebabkan keanggotaan ke-DPR-an memiliki nilai tawar sangat tinggi.
Banyak Kementerian harus pandai-pandai “menjinakkan” anggota dewan, dengan berbagai cara. Termasuk meng-entertaint anggota DPR agar tidak uring-uring-an. Meng-entertaint juga banyak cara, yakni layanan “matang” berupa kunker (kunjungan kerja) ke luar negeri. Ada juga layanan “mentahan” berupa pemenangan tender proyek Kementerian sesuai rekomendasi anggota dewan. Ujung-ujungnya bermuara pada penghasilan sangat besar.
Penghasilan besar dan hak protokoler high level itulah yang menyebabkan pen-caleg-an diantre banyak orang, yang tua maupun yang muda. Toh dalam rekrutmen caleg tidak diminta persyaratan kompetensi akademis maupun kompetensi pengalaman kerja. Siapapun boleh menjadi caleg asalkan memiliki akses hubungan ke pimpinan parpol. Syarat lainnya, membayar iuran caleg yang ditentukan parpol.
“Membeli” Suara
Menilik DCT (Daftar Calon Tetap) yang dipampang KPU Propinsi dan KPUD kabupaten/Kota, mayoritas anggota dewan (DPR, DPR Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) mencalonkan kembali. Ada yang telah empat kali periode (sejak 1999). Beberapa “muka” lama nekad nyaleg lagi walau harus pindah Dapil. Bahkan andai gagal di parpol  asal, dewan lama berusaha bisa nyaleg melalui parpol lain. Beberapa parpol membuang kadernya yang saat ini masih menjadi anggota dewan.
Sebaliknya, beberapa parpol denga sukacita menerima bakal caleg yang memiliki bekal kekayaan cukup memadai. Parpol penampung kader buangan, tak peduli sebab-sebab pembuangan. Boleh jadi, kader yang dibuang tidak pernah dihukum (karena tindakan kriminal atau korupsi). Tetapi kenyataannya, banyak politisi busuk (suka minta uang pada SKPD) secara mental maupun moral, tetap ditampung. Konon ada “mahar” mahal yang sanggup dibayar oleh politisi busuk yang berkeinginan nyaleg lagi pada parpol lain.
Menjadi anggota DPRD merupakan pekerjaan menggiurkan. Penghasilan besar tanpa keringat, tanpa keahlian dan tanpa pertanggungjawaban. Konon untuk berpengharapan besar jadi lagi (sebagai anggota DPRD Jawa Timur) diperlukan ongkos politik sekitar Rp 1 milyar. Tetapi diyakini biaya ini akan BEP (break event point, balik modal) pada paruh tahun ketiga. Selebihnya, separuh periode tinggal memetik hasil keuntungan.
Perhitugan secara normatif, penghasilan anggota DPRD (Jawa Timur) minimal sebesar Rp 29 juta. Itu yang minimal dan halal karena dipayungi peraturan perundang-undangan, di-create dalam berbagai kegiatan ke-dewan-an. Masih ditambah lagi dengan berbagai kunjungan kerja (enam kali dalam sebulan) bisa mengantongi Rp 2 juta-an. Totalnya, mencapai Rp 40 juta per-bulan. Belum termasuk angpao dari SKPD mitra kerja, terkait pembahasan Rancangan Perda, khususnya Raperda APBD, P-APBD serta Raperda LPJ.
Jika serius (dan bernafsu) sebagai caleg, memang memerlukan biaya besar. Selain untuk pembuatan alat peraga (spanduk, baliho, kalender, kaos, dan iklan di media cetak maupun elektronik), jugga memberi “sangu” kepada calon pemilih. Walau money politics dilarang, tetapi hampir pasti mayoritas caleg melakukan upaya itu. Kadang, money politics juga dikemas dalam pembagian sembako murah, atau secara kolektif berupa bantuan sarana ibadah dan jalan.
Pulung Nasib
Tetapi yang tak kalah gentingnya adalah pada masa injured time, perhitungan di KPUD Kabupaten dan Kota. Sebagian caleg (terutama incumbent) akan selalu “mengintip” perhitungan suara di kantor KPUD. Manakala diketahui perolehan suara tidak menjamin bisa meraih kursi, maka akan dilakukan upaya lain. Yakni, “membeli” suara. Ini bukan rahasia, karena sudah terjadi sejak Pemilu 2004 lalu. Pada tahun 2009, malah semakin masif.
Konon harganya antara Rp 10.000,- hingga Rp 20.000,- per-suara. Jika kekurangannya (untuk jadi anggota dewan) sampai 100 ribu suara, maka disediakan anggaran setidaknya Rp 1 milyar. Nah, pada saat pengumuman bakal anggota DPRD yang akan dilantik, jumlah perolehan suara sudah sesuai dengan “harga” kursi. Saat ini harga kursi DPRD Jawa Timur setara dengan 340 ribu suara lebih. Tetapi setelah coblosan nilai itu akan menyusut sampai separuhnya, karena adanya golput.
Harus diakui sangat tidak mudah untuk memperoleh dukungan sampai 170 ribu suara. Pada Pemilu 2009, tak lebih dari 10% yang memperoleh suara setara dengan harga kursi. Cuma Eddy Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang memperoleh dukungan lebih harga kursi. Sisa (suara) lebihnya ditambahkan untuk rekan sesama parpol sebagai hak suara partai.
Perhitungan sisa suara di KPUD merupakan pekerjaan paling njelimet,  sekaligus rawan penyalahgunaan. Dengan prosedur penghitungan suara di TPS, PPS dan KPUD, maka penyalahgunaan bisa dimulai sejak di tingkat PPS (tingkat kelurahan/desa). Karena itu setiap caleg (dan parpol) mestilah memiliki saksi sejak di TPS (Tempat Pemungutan Suara) serta kukuh memelototi proses di PPS dan KPUD. Sisa suara atau perolehan suara yang tak mencukupi itulah yang diperjual-belikan.
Tetapi sebagian masyarakat meyakini, bahwa pileg hanyalah proses demokrasi. Walau dengan berbagai pernik kecurangan caleg maupun penyelenggara pemilu. Sedangkan pelantikan sebagai anggota dewan merupakan pulung nasib. Ada yang sudah habis-habisan, tetapi tidak terpilih. Bahkan ada yang sudah dinyatakan terpilih, tetapi tidak bisa dilantik karena berhalangan tetap maupun terhalang proses hukum pidana.
Pileg yang akan digelar pada hari Rabu (Pon) 9 April ini, diyakini juga memiliki “rahasia.” Misalnya berdasar hitungan falakiyah Jawa, neptu pasaran Rabu Pon, merupakan isyarat rezeki (kemakmuran) yang besar. Tetapi karena Rabu Pon berada pada bulan Jumadil Akhir, seringkali juga memiliki unsur im-predictable. Menyimpan banyak faktor yang diluar prediksi, yang menyenangkan maupun muatan penderitaan. Wallahu a’lam bis-shawab. 

Rate this article!
Tags: