Pro Kontra Pembahasan RUU Pemilu

foto ilustrasi

Belakangan ini, revisi Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu) mengundang sorotan publik. Ada yang menolak dan ada pula yang justru mendukung. Berbagai alasannya pun bermunculan, mulai dari catatat masa lalu terkait kompleksitas teknis elektoral yang berdampak pada korban jiwa, terus permasalahan polarisasi yang melemahkan civic culture yang kita hadapi di 2019. Kekhawatiran jika Pilkada diadakan di tahun 2024 bersamaan dengan Pilpres dan Pileg, ternilai akan memberikan beban yang luar biasa bagi penyelenggara Pemilu dan konsentrasi pun akan terpecah belah antara pilpres maupun pilkada.

Sulit membayangkan kompleksitas yang terjadi jika berkaca pada pengalaman tersebut. Bahkan sebagian pihak merasa revisi UU Pemilu dibutuhkan guna mengatasi sejumlah persoalan dalam kepemiluan, sekaligus mencegah terjadinya tirani dan oligarki kekuasaan yang terstruktur. Sedangkan di lain pihak memperkarakan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mengenai ketentuan pelaksanaan pemilihan kepada daerah ( Pilkada) serentak. Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 di draf revisi UU Pemilu akan berubah pada 2022 dan 2023. Sedangkan, jika tetap menggunakan skema UU No. 10 tahun 2016, maka Pilkada serentak nasional dilaksanakan tahun 2024. Sementara yang lain mempertanyakan seberapa penting merevisi UU Pemilu ditengah kondisi pandemi Covid-19.

Berangkat dari kenyataan-kenyataan itulah, pro dan kontra revisi UU Pemilu tidak bisa terhindarkan. Sejatinya, untuk memediasi pro dan kontra RUU Pemilu yang terjadi saat ini bisa diselesaikan dengan mengacu pada regulasi putusan MK Nomor 55 MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu, dan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas UU Pilkada Nomor 1 Tahun 2015. Nah, merujuk dari regulasi tersebut semestinya ada penyesuaian terhadap UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, yang selebihnya bisa cukup menggunakan aturan turunan yang sifatnya menyepurkan, karena perubahan UU Pemilu yang relatif cepat justru akan berpotensi membuat tidak ada waktu untuk mematangkan demokrasi.

Ani Sri Rahayu
Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

Rate this article!
Tags: