Problem Tahunan Kasus Demam Berdarah

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Mulai merebaknya kasus demam berdarah di berbagai wilayah Indonesia memang bukan barang baru, setidaknya hampir setiap tahun kejadian kasus demam berdarah yang mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) selalu saja terulang yang ditandai dengan peningkatan kasus dan jumlah kematian akibat DB. Meski disaat yang sama pemerintah terus menggalakkan gerakan pemberantasan demam berdarah. Dari data yang diterima Kompas.com dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada 2018, terdapat 336 kasus tersebar di 34 provinsi. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat sejak 1 Januari hingga 23 Januari 2019 sedikitnya terjadi 9.439 kasus penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia, 85 jiwa diantaranya meninggal dunia. Sedangkan di Jawa Timur, berdasarkan data terbaru, Jawa Timur menempati peringkat pertama sebagai penyumbang kasus DB terbesar di Indonesia dengan jumlah 1.847 kasus dan kematian 37 jiwa. Kasus DB memang telah mengalami perkembangan dari perspektif medis an sich menjadi problem sosial lingkungan. Selain itu pola epidemiologis dan derajat virulensi keganasan yang juga berubah menjadi kian mematikan bahkan diantaranya tidak ditandai dengan tanda bintik-bintik merah sebagat gejala khasnya.
Dalam perspektif sosial, adanya perubahan perilaku masyarakat yang cenderung individualis yang menepikan aspek kegotongroyongan juga memberikan konstribusi atas meluasnya kasus demam berdarah. Misalnya gerakan kerja bakti membersihkan lingkungan habitat nyamuk terutama jentik-jentik secara massal kini sudah jarang ditemui. Pada umumnya masyarakat baru panik bila sudah terjadi kasus apalagi ada yang meninggal sehingga upaya instan yang digalakkan adalah melakukan pengasapan (fogging) dimana secara teknis hanya mampu membunuh nyamuk dewasa, sementara jentik-jentik sebagai calon nyamuk kebal terhadap obat malathion sebagai bahan dasar pengasapan. Pendek kata, sebenarnya upaya pencegahan kasus demam berdarah sederhana namun membutuhkan kolaborasi dan kontinuitas dalam penanganan. Jangan sampai menggunakan filosofi pemadam kebakaran dimana menunggu kejadian muncul baru dilakukan penanggulangan.
Mengenali Gejala
Kasus DB memang telah mengalami perkembangan dari perspektif medis an sich menjadi problem sosial lingkungan. Selain itu pola epidemiologis dan derajat virulensi keganasan yang juga berubah menjadi kian mematikan bahkan diantaranya tidak ditandai dengan tanda bintik-bintik merah sebagat gejala khasnya. Virus dengue menginfeksi nyamuk Aedes aegypti betina ketika menghisap darah seseorang yang sedang dalam fase demam akut (viraemia), yakni dua hari sebelum panas sampai lima hasi setelah demam timbul. Nyamuk menjadi infektif pada 8-12 hari (periode inkubasi ekstrintik) sesudah menghisap darah penderita yang sedang viremia dan tetap infektif selama hidupnya. Setelah melalui periode inkubasi ekstrintik, kelenjar ludah nyamuk bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 34 hari (rata-rata selama 4-6 hari) timbul gejala awal penyakit.
Gejala awal terdapat beberapa gejala awal penyakit DBD ini, antara lain demam tinggi secara mendadak berlangsung sepanjang hari, nyeri kepala, nyeri saat menggerakkan bola mata, dan nyeri punggung. Terkadang disertai tanda-tanda perdarahan, pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan nyeri ulu hati, perdarahan saluran cerna, shock, hingga kematian. Masa inkubasi penyakit ini berkisar 3-14 hari, tapi pada umumnya 4-7 hari. DBD menyerang pembuluh darah, menyebabkan indikator trombosit turun drastis. Kasus meninggalnya seseorang karena mengalami shock pembuluh darah. untuk memutuskan rantai penularan nyamuk ini. Pencegahanpun harus dilakukan dari lingkungan keluarga terlebih dahulu, kemudian lingkungan RT, RW hingga lingkup yang lebih luas untuk mewaspadai DPD. Apabila masyarakat mengalami demam, maka harus segera memeriksakan diri ke Puskesmas atau rumah sakit.
Tanpa Disadari
Kita sepakat bahwa kasus DB bukan sekedar penyakit biasa dimana setiap tahun selalu muncul dan berulang sehingga aspek pencegahan (promotif) berupa pemberantasan sarang nyamuk jauh lebih efektif daripada melakukan fogging atau pengasapan, yang hanya akan mematikan nyamuk dewasa. Tanpa kita sadari ada tumpukan-tumpukan tempat-tempat ban bekas. Begitu juga dengan perilaku, hobi melihara burung, tempat penampungan air minum, vas bunga, genangan air dibelakang kulkas di rumah yang tanpa kita sadari, tempat berkembang biaknya jentik. Berkembang biaknya jentik nyamuk tak bisa terhindari selama masyarakat masih membutuhkan dan melakukan penampungan air. Kondisi tersebut diperparah dengan perubahan lingkungan global, suhu bumi, cuaca yang cenderung unpredictable. Cuaca hangat dan kelembaban tinggi merupakan habitat ideal nyamuk untuk perkembangbiak di suatu wilayah. Dengan kata lain, daur hidup nyamuk aedes aegypty dan sebagian nyamuk aedes albopictus sebagai vektor pembawa virus dengue (dens) kian berkembang cepat pada tingginya intensitas hujan kemudian diikuti panas terik sehingga probabilitas nyamuk untuk berkembangbiak lebih cepat dan mudah terutama di tempat-tempat yang biasanya luput dari perhatian kita. Strategi penanganan DB perlu mencontoh filosofi sepak bola modern yakni total football dimana semua pemain secara kolektif bergerak bersama terutama upaya penyerangan di setiap lini baik penyerang (striker), second striker, gelandang serang, mildfield maupun barisan pertahanan (defender) sehingga tercipta gol untuk kemenangan bersama.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: