Proteksi Pekerja Lokal dari TKA

Oleh:
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Belakangan ini regulasi tentang penggunaan tenaga kerja asing (TKA) yang diterbitkan Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden Nomor 20/2018 tengah memunculkan polemik tajam di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya, realitas tersebut secara tidak langsung mengingatkan kesadaran kolektif publik bahwa aturan tersebut kembali menghidupkan isu kedatangan secara besar-besaran tenaga kerja asal China yang sempat marak beberapa tahun lalu.
Menimbang Perpres terkait TKA
Melalui perpres ini, pemerintah berdalih dan berharap bisa mempermudah TKA masuk ke Indonesia yang berujung pada peningkatan investasi dan perbaikan perekonomian nasional. Seperti kita ketahui bersama bahwa memasuki era pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ASEAN Free Trade (AFTA), dan NAFTA saat ini, masuknya investasi ke Indonesia bersamaan dengan masuknya TKA dalam kegiatan perekonomian memang tidak bisa dihindarkan. Data Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan pada 2017 terdapat 74.000 TKA di Indonesia.
Sedangkan kalau kita perhatikan secara seksama diterbitkannya Perpres Nomor 20/2018 ini merupakan representatif dari keinginan Presiden Jokowi yang meminta agar izin bagi TKA hendak masuk ke Indonesia dipermudah. TKA yang masuk ke Indonesia harus dipermudah prosedurnya, baik dalam pengajuan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA), izin penempatan tenaga asing (IPTA), maupun visa tinggal terbatas (vitas).
Keinginan Presiden Jokowi mempermudah prosedur penggunaan TKA di Indonesia terlihat jelas dari konsiderans “menimbang” huruf a perpres tersebut yang menyebutkan: bahwa untuk mendukung perekonomian nasional dan perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi, perlu pengaturan kembali perizinan penggunaan tenaga kerja asing.
Secara eksplisit, dasar pertimbangan penggunaan TKA sebagaimana tercantum dalam konsiderans menimbang huruf a perpres tersebut sangat bias dengan kepentingan investor asing. Memperluas kesempatan kerja bisa jadi hanyalah modus belaka. Selain itu, perpres ini juga memberikan aturan tambahan baru terkait pemberi kerja yang tidak wajib memiliki RPTKA tatkala mempekerjakan TKA dengan syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1), yakni (a) pemegang saham yang menjabat sebagai anggota direksi atau anggota dewan komisaris pada pemberi kerja TKA; (b) pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau (c) TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan oleh pemerintah.
Dimasukkannya pemegang saham sebagai anggota direksi atau anggota dewan komisaris ke dalam kategori tidak wajib memiliki RPTKA jelas telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Padahal Undang-Undang Nomor 13/ 2003 (UU Ketenagakerjaan) sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (3) mengatur RPTKA hanya tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. Itu artinya, selain perwakilan asing wajib memiliki RPTKA.
Penggunaan TKA menjadi wajar ketika yang menanam modal adalah perusahaan asing sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 25/2007 (UU Penanaman Modal) yang menyebutkan perusahaan penanam modal asing berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, penggunaan TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah yang masuk dalam kategori tidak wajib memiliki RPTKA sebagaimana diatur dalam perpres tersebut sangat tidak wajar.
Pro-kontra regulasi TKA
Melalui regulasi Peraturan Presiden Nomor 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Perpres TKA) tersebut sekiranya, pihak yang kontra dengan regulasi tersebut menilai pemerintah telah membuka pintu lebar-lebar yang memudahkan tenaga kerja asing (TKA) masuk ke Indonesia, terutama dari China. Sebaliknya, pemerintah berdalih Perpres TKA adalah salah satu strategi menarik investor asing agar berbondong-bondong menanamkan modal di negeri ini. Polemik mengenai Perpres TKA terus bergulir bak bola salju.
Apalagi merujuk dari hasil investigasi Ombudsman menemukan tak sedikit TKA yang tidak memiliki keahlian bekerja di Indonesia. Sebagian besar dari China. Ombudsman menggelar investigasi khusus TKA dari Juni hingga Desember 2017 pada sembilan provinsi. Sulit disangkal, berdasarkan temuan Ombudsman bahwa TKA dari China yang masuk pada periode investigasi sebagian besar tidak memiliki keterampilan (unskill labour). Mereka bekerja sebagai buruh kasar, seperti sopir angkutan barang, di Morowali, (Kompas, 28/4).
Menurut analisis selaku penulis, ada baiknya jika pemerintah mengambil beberapa langkah agar tidak terjadi penyalahgunaan aturan implementasi dan bisa meredam polemic tentang tenaga kerja asing ini dengan beberapa langkah.
Pertama, ada baiknya pemerintah mampu membuka data angkatan kerja dan kebutuhan lapangan pekerjaan pada proyek investasi, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Selain itu, besar harapan pemerintah sebaiknya tidak terlalu sensitif menanggapi pihak yang kontra terhadap Perpres TKA tersebut. Agar polemik Perpres TKA tidak semakin tajam yang menghabiskan energi tidak perlu.
Kedua, ada baiknya jika pemerintah mampu mengetatkan pengawasan dengan membuat aturan turunan terhadap implementasi Perpres TKA yang bertujuan meminimalisasi kesalahpahaman.
Ketiga, saatnya mengkoreksi atas diterbitkannya perpres penggunaan TKA saat ini. Sebab, bagaiamanapun perpres tersebut sangat berbanding terbalik dengan kebijakan terhadap tenaga kerja lokal. Bukankah khittah konstitusional ketenagakerjaan di Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa mendapatkan pekerjaan yang layak merupakan hak asasi warga negara Indonesia dan pemerintah berkewajiban memenuhi hak asasi tersebut.
Begitupun, amanat konstitusi sebagai­mana termaktub dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 mengamanatkan kepada pe­me­rintah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, termasuk perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia dimana pun ia berada, baik itu dalam bekerja dan/atau mencari kerja tanpa terkecuali.
Singkat kata, melalui tiga langkah itu sekiranya besar harapan pemerintah bisa tetap menjamin ketersediaan lapangan kerja dan penghidupan yang layak bagi warga negara Indonesia. Sebab, para pekerja lokal dengan segala keterbatasan dan kekurangannya akan habis digilas oleh TKA yang unggul dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, meskipun sekarang era pasar bebas, harus tetap ada proteksi dari pemerintah terhadap pekerja lokal ketika bersaing dengan TKA di dalam negeri. Dengan demikian, warga negara Indonesialah yang harus diperhatikan dan diprioritaskan dalam kesempatan kerja dalam negeri, bukan TKA.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: