Rektor UINSA Siap Bekukan Dema Fakultas Ushuludin

Spanduk bertuliskan "Tuhan Membusuk" pada Orientasi Cinta Akademik dan Almamater (Oscaar) Fakultas Usuhuluddin dan Filsafat (FUF) UIN beberapa waktu lalu.

Spanduk bertuliskan “Tuhan Membusuk” pada Orientasi Cinta Akademik dan Almamater (Oscaar) Fakultas Usuhuluddin dan Filsafat (FUF) UIN beberapa waktu lalu.

UINSA Surabaya, Bhirawa
Langkah tegas mulai diambil jajaran Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya dalam menyikapi spanduk bertuliskan “Tuhan Membusuk” pada Orientasi Cinta Akademik dan Almamater (Oscaar) Fakultas Usuhuluddin dan Filsafat (FUF). Dalam hal ini, Dewan Mahasiswa (Dema) FUF bakal menerima sanksi berupa pembekuan lembaga.
Rektor UINSA Surabaya Prof Abdul A’la mengatakan, pihaknya terus melakukan evaluasi kegiatan Oscaar FUF. Semua yang terlibat akan diperiksa dan disanksi sesuai aturan yang berlaku. Salah satu pilihannya adalah dengan membekukan lembaga Dema FUF sampai batas waktu yang tidak ditentukan. “Kami sudah memproses secara internal. Sanksi akan diberikan dalam rangka mendidik. Dema FUF akan dibekukan sementara waktu,” katanya saat menggelar jumpa pers, Rabu (3/9).
A’la menegaskan, pembekuan ini berdasar surat keputusan (SK) rektor Nomor IN.02/1/PP.00.9/1199/P/2011 tentang Kode Etik Mahasiswa dan SK Nomor UN.08/1/PP.00.9/SK/37/P/2014 tentang Tata Tertib Oscaar 2014. “Tema besar kami dalam Oscaar sebenarnya terkait nasionalisme dan Islam Rahmatan Lil Alamin,” ungkapnya.
Lebih lanjut A’la menegaskan, maksud dari Dema FUF mengusung tema ‘Tuhan Membusuk’ sejatinya bukan untuk menghina agama manapun. Tujuan sebenarnya adalah untuk membangkitkan kesadaran di kalangan mahasiswa baru mengkritik praktik pengatasnamaan Tuhan dan agama untuk tujuan yang justru bertentangan dengan ajaran agama.
Dekan FUF UINSA Dr Muhid menambahkan, sanksi pembekuan itu hanya untuk kelembagaan Dema FUF. Bisa jadi sanksi ini akan terus mengalir hingga menyasar para pengurus di dalamnya. “Tapi ini masih menunggu hasil evaluasi yang ada,” kata dia.
Dalam kesempatan tersebut Muhid juga menegaskan tidak adanya keterlibatan pihak dekanat maupun rektorat atas spanduk kontroversial itu. Semua disebutnya berlangsung sangat tiba-tiba dan di luar sepengetahuan pihak dekan. “Kami tahu spanduk yang berukuran lebih besar, sekitar 3 x 5 meter sempat dipasang. Tapi itu sudah dibakar. Tiba-tiba hari kedua muncul lagi spanduk yang sama,” tutur dia.
Sementara terkait dilaporkannya Panitia Oscar FUF ke Polda Jatim atas tuduhan penistaan agama, pihaknya sudah siap mendampingi. Bahkan, Selasa (2/9) lalu, Polda telah melakukan klarifikasi ke FUF UINSA. “Laporan itu hak bagi setiap orang. Tetapi Polda sudah memeriksa kami dan justru menganggap gagasan ini bagus. Kami pikir Polda akan bersikap arif terkait masalah ini,” katanya.
Bukan hanya Polda Jatim, pihaknya juga sudah membicarakan masalah ini ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim. Muhid mengaku, MUI Jatim sudah memahami makna sebenarnya dari tema yang diusung itu. Dia menegaskan, evaluasi terus dilakukan agar ke depan orientasi mahasiswa baru tidak lagi menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Terpisah, Pakar Pendidikan Prof Zainudin Maliki menilai judul tema yang diangkat mahasiswa FUF UINSA Surabaya masih pada batas wajar dalam konteks wacana lingkungan ilmiah. Dia justru menyayangkan jika sampai ada pihak yang membawa masalah itu sampai ke ranah hukum. Mahasiswa menurutnya hanya ingin menyampaikan bahwa saat ini banyak kelompok manusia yang tidak menganggap Tuhan karena mereka memakainya untuk kepentingan yang jahat. “Hanya bahasa yang dipakai terkesan ekstrim, sehingga menuai protes,” kata Zainudin Maliki yang kini menjabat Ketua Dewan Pendidikan Jatim.
Dia melanjutkan, jika yang protes itu tahu dan paham maksudnya, maka mereka akan sepakat dengan pemahaman bahwa Tuhan adalah dzat yang mulia dan (kini) banyak dipermainkan orang untuk kepentingan pribadi. Dia menyebut, polemik yang terjadi saat ini hanya dinamika masyarakat dalam memaknai simbol yang diberikan mahasiswa. Istilah Tuhan Membusuk secara kasat mata memang menuai penafsiran beragam.
“Yang merasa tersinggung, pasti merespon berlebihan dengan membawa ke ranah hukum. Tapi tujuan mereka sebenarnya sama dengan mahasiswa, yakni memuliakan simbol Tuhan,” terangnya. [tam]

Tags: