Restorative Justice Tidak Menghentikan Pemidanaan

Oleh :
Moch Choirul Rizal
Dosen Hukum Pidana Fakultas Syariah IAIN Kediri.

Penyelesaian perkara penganiayaan terhadap David Ozora yang dilakukan Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas tidak menggunakan pendekatan restorative justice. Keduanya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya menurut hukum acara pidana sebagaimana mestinya. Demikian Kejaksaan Agung menegaskan.
Dasar yang digunakan Kejagung untuk menanggalkan restorative justice dalam perkara itu adalah Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja No. 15 Tahun 2020). Keduanya dipandang tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam Peraturan yang ditetapkan pada 21 Juli 2020 dan kemudian diundangkan pada 22 Juli 2020 itu.

Melihat Restorative Justice
Jauh sebelum kejaksaan menerbitkan aturan mengenai restorative justice, kepolisian telah dulu menerbitkan Surat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Nomor: B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, tentang Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute Resolusion (ADR). Lalu, dalam perkembangannya, diterbitkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perpol No. 8 Tahun 2021).

Perja No. 15 Tahun 2020 dan Perpol No. 8 Tahun 2021 terlanjur mempersepsikan, restorative justice dapat menghentikan perkara pidana (pemidanaan). Memang, misalnya, ada istilah diversi dalam sistem peradilan pidana anak. Mekanisme pengalihan penyelesaian perkara pidana terhadap anak berhadapan dengan hukum (ABH) itu diasosiasikan sebagai salah satu praktik penerapan restorative justice. ABH tidak perlu menjalani pemidanaan sebagaimana mestinya.

Lalu, ada istilah mediasi penal. Istilah yang menyerempet praktik peradilan perdata untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Dalam perkara pidana, antara pelaku dengan korban dapat berdamai. Ada pelaku yang mengganti kerugian korban. Di samping itu, masyarakat juga dilibatkan dalam proses perdamaian. Perkaranya tidak dilanjut ke pengadilan.

Secara harfiah, restorative justice berarti keadilan (yang sifatnya) merestorasi. Restorasi adalah pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula. Dengan begitu, pelaku tindak pidana mengembalikan atau memulihkan kerugian yang dialami korban seperti sediakala.

Restorative justice lahir sebagai kritik terhadap peradilan pidana konvensional yang mengedepankan kepastian hukum, namun abai terhadap keadilan substansial. Bahkan, dalam KUHAP, yang disusun saat rezim orde baru, sudut pandang perlindungan adalah kepada tersangka atau terdakwa, bukan kepada korban tindak pidana.

Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2000 menghasilkan, salah satunya, United Nation: Basic Principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters. Dokumen yang memuat prinsip-prinsip dasar penerapan restorative justice sebagai alternatif mekanisme peradilan yang retributif (Eva Achjani Zulfa, 2011: 17; dan Septa Chandra, 2014: 264).

Relasi antar manusia dipandang terlanggar ketika tindak pidana terjadi. Begitu pandangan restorative justice. Konsekuensinya, menjadi perlu bagi pelaku tindak pidana memulihkan kembali tatanan yang sempat dikacaukannya, termasuk pemulihan kerugian kepada korban. Untuk itu, keterlibatan aktif pelaku, korban, juga masyarakat dalam pemulihan membutuhkan akses yang setara (Gerry Johnstone, Van Ness, dan Daniel W., 2007: 15).

Penulis melakukan penelitian tentang restorative justice pada 2022 yang lalu. Dijumpai Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 204/Pid.B/2014/PN.Kdr, tanggal 2 Oktober 2014, dan Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 144/Pid.B/2016/PN.Kdr, tanggal 15 Agustus 2016. Kedua putusan itu menerapkan restorative justice. Pelaku (terdakwa) meminta maaf dan mengembalikan kerugian korban, tetapi tetap dinyatakan bersalah dan akhirnya dipidana.

Pada dua perkara itu, para terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Hanya saja, ada upaya pemulihan yang dilakukan terhadap korban. Majelis hakim mempertimbangkannya sebagai alasan yang memperingan pidana. Pasalnya, restorative justice tidak serta-merta menghapuskan kesalahan pelaku. Demikian menurut hakim yang penulis temui saat proses penyelesaian penelitian.

Bahkan, Andreas N. Marbun (2022) berani menggagas restorative justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dia mencontohkan kasus penggelapan uang negara yang dilakukan Paul Coffin di Kanada. Setelah mengakui kesalahan dan membayar uang pengganti, pelaku pemalsuan invoice itu dipidana kerja sosial. Pemaknaannya, ada kewajiban pemulihan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban, termasuk dalam jumlah yang jamak.

Ke Depan
Refleksi atas konsep dan praktik restorative justice di atas tidak dapat dimaknai, pertama, pelaku melenggang bebas tak bersalah tanpa dijerat pidana setelah memulihkan kerugian yang dialami korban. Kedua, meskipun telah memulihkan kerugian korban, ternyata pelaku masih dapat dipidana, sehingga implementasi restorative justice menjadi percuma.

Jadi, tawaran pemaknaannya adalah pemidanaan tidak serta-merta dapat berhenti ketika menerapkan restorative justice. Artinya, pelaku tetap dapat diproses menurut hukum acara pidana. Lalu, dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. Hanya saja, durasi pidana penjara misalnya, dapat berkurang. Dengan syarat, pelaku telah memulihkan kerugian yang diderita korban.

Bisa jadi, dalam perkara Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas, mereka dibebankan tanggung jawab untuk memulihkan kerugian yang dialami oleh David Ozora sebagaimana dikonsepsikan menurut restorative justice. Namun, tidak serta-merta kesalahan mereka terhapus dan tidak dipidana.

Untuk itu, konsepsi (dan juga praktik) restorative justice yang menyamakannya dengan penghentian perkara perlu didekonstruksi. Di sisi yang lain, membumikan konstruksi restorative justice sebagai upaya (yang sesungguhnya) untuk memulihkan kerugian yang diderita korban menjadi perlu dilakukan.

“Pekerjaan rumah” lainnya adalah mendorong pembentukan undang-undang mengenai restorative justice. Jangan berhenti ketika sistem peradilan pidana anak sudah mengadopsinya. Ruang penerapannya juga dapat diadopsi untuk penyelesaian perkara pidana yang lain.

Menjadi penting disusun dalam undang-undang, karena berkenaan dengan pembatasan HAM, khususnya korban. Dalam instrumen HAM internasional maupun nasional, pembatasan HAM hanya dapat dilakukan, salah satunya, melalui undang-undang.

Ketua Perhimpunan Dosen Ilmu Hukum Pidana (DIHPA) Indonesia, M Sholehuddin, berkali-kali menyampaikan dalam koran ini, restorative justice tidak tepat diatur di dalam peraturan internal aparat penegak hukum pidana. Pengaturan yang demikian akan memunculkan interpretasi sepihak. Bahkan, berpotensi mengesampingkan pentingnya imparsialitas.

Momentum pembaruan hukum acara pidana agaknya mulai tersulut (lagi) sejak KUHP 2023 diundangkan. Untuk itu, partisipasi masyarakat yang bermakna menjadi ruang yang wajib dibuka lebar. Semoga.

———– *** ————-

Tags: