Sekolah Wajib Beri Kuota 5 Persen Siswa Gakin

Karikatur sekolahPemkot Surabaya, Bhirawa
Masa Ujian Nasional (UN) hampir berakhir. Kini saatnya Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya disibukkan dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang akan dimulai akhir Juni mendatang. Tidak banyak aturan yang berubah dari tahun lalu. Kecuali penegasan bagi sekolah untuk lebih memprioritaskan masyarakat dari keluarga miskin (Gakin).
Kepala Dindik Surabaya Ikhsan mewanti-wanti agar seluruh sekolah baik negeri dan maupun swasta untuk memprioritaskan siswa gakin. Kuota yang disiapkan minimal lima persen. Bagi, sekolah yang tidak mendapatkan gakin Dindik meminta sekolah tersebut memberikan bantuan lewat mitra warga.
“Biasanya sekolah elit jarang gakin karena banyak anak gakin yang tidak mau masuk ke sekolah itu lantaran malu,” kata Ikhsan, kemarin (19/5). Selama ini memang tidak pernah ada sekolah swasta atau elit yang menolak siswa gakin. Tetapi orang tua dan siswa gakinlah yang tidak mau melanjutkan sekolah di sekolah swasta yang mahal dan elit itu.
Alasanya minder dan takut mendapatkan tekanan psikologis dari teman. Diakui Ikhsan, dalam dunia pendidikan di Indonesia ketimpangan dan bullying dari teman sekolah memang tidak bisa dihindari. Padahal, sekolah terutama guru BK sudah memberikan arahan untuk tidak membandingkan kemampuan ekonomi siswanya.
“Tapi, namanya anak. Soal handphone saja misalnya. Anak keluarga kaya dan miskin pasti beda merek handphonenya. Nah, ini kan juga menjadi beban bagi siswa gakin jika memaksa sekolah di sekolah swasta elit,”  jelasnya. Begitupula soal pergaulan dan penampilannya. Dengan kondisi ekonomi yang berbeda maka ketimpangan pun sangat kental.
Persoalan ini membuat siswa gakin tidak berani mendaftar ke sekolah elit tersebut. Padahal siswa tersebut ingin sekolah disana. “Karena kuota lima persen ini masuk dalam perda nomor 16 tahun 2012. Kami minta sekolah elit ini tetap menerima dan mencari siswa gakin. Jika memang siswa gakin tidak betah sekolah  di tempat tersebut, maka sekolah harus tetap membiayai pendidikan gakin tersebut.,” jelasnya.
Caranya bermacam-macam. Pemerintah kota (pemkot) sudah memberi anggaran lewat mitra keluarga. “Anggaran  beda. Yang pasti gakin yang diterima lewat PPDB akan mendapatkan seragam, sepatu, tas, buku pelajaran dan perlengkan sekolah lainnya,” jelasnya.
Biasanya anggaran itu diberikan ketika siswa sudah diterima lewat jalur PPDB yakni pada trimester ketiga. Jika pun ada sekolah swasta yang akhirnya tidak mendapatkan siswa gakin, maka sekolah tersebut tetap harus memberikan bantuan kepada gakin di luar sekolahnya. Menurut Ikhsan, kepedulian sekolah swasta untuk memberikan bantuan kepada gakin biasanya dilakukan lewat bantuan anak asuh dan teman asuh. Dimana, anak asuh yakni merupakan bantuan dana dari pihak sekolah ke siswa gakin. Sedangkan, teman asuh merupakan bantuan dana yang diberikan dari sumbangan siswa di sekolah tersebut. “Saya rasa sekolah sudah memupuk kesadaran siswa untuk meningkatkan kepedulian ke orang lainnya,” jelasnya.
Menurut Ikhsan, seleksi jalur mitra keluarga ini lebih sulit dibandingkan jalur PPDB lainnya. Pasalnya, selain harus bersaing nilai, ada tim investigasi dari sekolah dan data dari Bapemas serta Dispendukcapil untuk menyurvei siswa gakin tersebut.
“Saingannya cukup berat. Karena setelah nilai siswa dirangking, tim inverstigasi akan merangking lagi data kemiskinannnya. Kalau memang pantas dia akan dapat (bantuan mitra warga,red),” jelasnya.
Sayangnya, bantuan mitra keluarga, anak asuh dan teman asuh ini hanya berlaku pada semester pertama. Yakni ketika siswa masuk sekolah atau pada semester satu kelas I SD, kelas VII SMP dan X SMA. Lalu, bantuan mitra keluarga ini tidak berkelanjutan. Padahal, setiap kenaikan kelas tingkat siswa gakin tetap membuntuhkan bantuan untuk biaya sekolah lanjutan. “Ini yang sedang kita pikirkan. Kita harap siswa mitra keluarga bisa dikaver KIP (Kartu Indonesia Pintar) atau bantuan lainnya. Karena dijamin data siswa gakin dalam mitra warga ini valid,” pungkasnya. [tam]

Tags: