Sempat Minder, Kuli Bangunan Dilatih Membuat Hantaran

Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman meninjau aktifitas peserta pelatihan keterampilan bagi anak putus sekolah.

Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman meninjau aktifitas peserta pelatihan keterampilan bagi anak putus sekolah.

Mengaryakan Generasi Produktif Putus Sekolah
Kota Surabaya, Bhirawa
Menyandang gelar putus sekolah jelas bukan kebanggaan. Apalagi bagi mereka yang masuk dalam usia produktif. Persoalan mencari penghidupan yang layak seperti khayalan. Pilihan bekerja pun jatuh di sektor informal. Tanpa perlindungan hukum dan tanpa ketetapan gaji yang sesuai. Itulah seklumit cerita, atau lebih tepatnya disebut derita para generasi putus sekolah.
Ada sejumlah faktor yang melatari seorang anak atau remaja memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan sekolah. Diantaranya faktor ekonomi, sosial budaya, dan aksesibilitas. Begitu juga yang dialami Imam Mubin asal Trenggalek. Ditemui saat mengikuti pelatihan keterampilan anak putus sekolah di Kantor Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim, Mubin agak susah berinteraksi dengan orang baru.
Dia adalah salah satu diantara ribuan anak Jatim yang saat ini menyandang gelar putus asa. Alasannya tak lepas dari tiga hal itu. “Waktu itu lulus MI (Madrasah Ibtidaiyah) langsung nggak sekolah lagi. Teman-teman yang lain juga seperti itu,” kata remaja yang sempat menikmati bangku pendidikan formal di MI Alhikmah Melis Kecamatan Gandisari, Trenggalek.
Untuk mengisi kekosongan waktu setelah tidak lagi sekolah, Mubin memilih bekerja sebagai kuli bangunan di tempat asalnya. “Sempat minder sih. Ketemu orang seperti tidak bisa apa-apa, paling bodoh,” ungkapnya menyesal.
Perasaan minder Mubin semakin tak karuan ketika mengikuti pelatihan tersebut. Betapa tidak, kebiasannya bergelut dengan material kasar bangunan harus ditinggalnya. Sebagai gantinya, mulai Senin kemarin hingga hari ini, Rabu (23/9), dia diajak fokus berlatih menghias hantaran. “Ini baru pertama kali. Mudah-mudahan bisa mengikuti,” tuturnya malu-malu.
Berbeda dengan Mubin, Yuliati asal Kabupaten Pamekasan terlihat lebih bersemangat saat itu. Perempuan yang berhenti sekolah sejak lulus MTs itu masih senang belajar meski tak dapat lagi bersekolah formal. Dia berhenti lantaran dinikahkan kedua orangtuanya dengan saudara sepupunya sendiri. “Usia masih muda sebenarnya masih ingin sekolah. Tapi sekarang ya sudah dijalani saja,” tutur dia.
Yuliati mengaku tak ingin muluk-muluk dengan pelatihan yang dia ikuti itu. Hanya, pelatihan itu akan menjadi pengalamannya. Selebihnya, jika keterampilan itu nantinya memang bisa dijual. Dia akan lebih serius menekuninya di rumah. “Sekarang sudah ada warung kecil-kecilan di rumah. Jadi bisa sambil jaga warung bikin hantaran,” tutur dia.
Remaja-remaja putus sekolah yang sudah memasuki usia produktif itu mendapat suntikan motivasi dari Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman. Menurutnya, jumlah anak putus sekolah sangat identik dengan kemiskinan. Karena salah satu upaya mengentas kemiskinan adalah melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, pilihan seseorang hanya menjadi tenaga kerja informal yang tidak memiliki perlindungan hukum.
“Banyak kekerasan dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri karena mereka tidak memiliki perlindungan hukum,” ungkap dia. Karena itu, Saiful memohon kepada seluruh genarasi yang masih produktif itu agar tidak berhenti berusaha dan belajar meski tidak di sekolah. “Setidaknya anda memiliki keterampilan supaya bisa membuka usaha. Ada orang tidak sekolah dan bisa berhasil. Itu pasti karena  dia terampil,” ungkapnya.
Sementara itu, Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal Dindik Jatim Abdun Nasor menambahkan, pelatihan ini dilakukan hingga empat gelombang. Setiap gelombang terdapat 114 peserta yang terdiri dari anak-anak putus sekolah. “Kita giring anak-anak itu berlatih keterampilan. Selain agar menjadi stimulus mereka berwirausaha, juga untuk mendorong mereka ikut pendidikan kesetaraan kejar paket,” tutur dia.
Nasor menuturkan,hingga 2013 lalu, sebanyak 3.556 anak tidak dapat menuntaskan jenjang SD. Sedangkan SMP, sebanyak 4.675 anak dinyatakan putus sekolah dan SMA/SMK sebanyak 7.270 anak. “Kelihatannya memang banyak. Tapi persentasenya kecil jika dibandingkan dengan yang tidak putus sekolah. Hanya kurang dari satu persen,” pungkas Nasor. [Adit Hananta Utama]

Tags: