Seorang Bapak dan Sebuah Kebimbangan

Oleh :
Anisa Arpan

“Bu Rahayu bilang aku lolos seleksi masuk perguruan tinggi tanpa tes, di universitas di Jawa Barat, jurusan matematika.” Ana mendongakkan kepala, menakar ekspresi di wajah Bapaknya, “Boleh tidak -”
“Bu Rahayu yang mana?”
“Masa Bapak tidak ingat? Itu loh, wali kelasku … yang waktu di sekolah menyerahkan amplop kelulusan pada Bapak.”

***

Matahari pagi agaknya terlambat bangun. Pohon-pohon karet masih basah oleh sisa hujan semalam. Sobri, lelaki tinggi berkumis lebat itu menyandarkan tubuh ke pohon karet kesepuluh yang disadapnya. Semburat resah tergambar di dahi keriputnya, sementara matanya terpejam. Minggu lalu, Ana, putri bungsunya tiba-tiba mengutarakan keinginannya berkuliah ke kota. Demi menghindar menanggapi hal itu, Sobri selalu mencari-cari kesibukan. Misalnya pagi ini, ia buru-buru menenggak habis kopi panas dan pura-pura tenggelam di antara rerimbunan pohon karet. Padahal, setelah hujan semalaman ia tahu tak bisa berharap banyak pada hasil sadapan hari ini.
Sebetulnya, bukan uang yang menjadi masalah. Meskipun harga getah kian hari kian mencekik, tapi Sobri yakin masih cukup mampu membiayai kuliah putrinya. Hanya saja, setelah kepergiaan Arif, anak sulungnya, di pertengkaran tiga tahun silam, tinggal Ana yang menemaninya. Sebagai seorang bapak, Sobri masih belum siap jika harus melepas putri bungsunya.
Sepetak kaplingan tempat rumahnya berdiri itu ia beli setahun setelah menikah. Letaknya di pelosok, cukup jauh dari pusat kota. Seperti halnya penduduk lain yang kebanyakan merupakan transmigran dari Jawa, ia dan mendiang istrinya juga menggantungkan hidup pada pohon karet. Sobri ingat, saat Ana masih berayun dalam buaian, pohon-pohon karet mereka baru mulai berdaun. Sekarang pohonnya meninggi dan daun-daunnya sudah menenggelamkan istana kayu mereka. Seandainya Sobri tidak terbatuk setiap pagi, matahari kemungkinan bakal lupa membagi segaris cahaya melewati cela-cela dinding papan yang mulai lapuk untuk membangunkan penghuninya.
“Loh, Bapak nyadap?” Terdengar suara halus seorang gadis yang sukses membuyarkan lamunan Sobri. Lelaki itu menoleh, rupanya Ana pergi menyusulnya ke tengah kebun.
“Buru-buru pergi, kupikir Bapak mau menjual getah. Ana sudah selesai menanak nasi, Bapak sarapan dulu, ya.” Ia berujar lembut.
Sobri agak terkejut mendapati kehadiran putrinya itu. Ia buru-buru mengusap wajahnya. “Bapak memang mau ke rumah Mang Slamet. Nanti pergi agak siangan. Eh, sekarang maksud Bapak.” Ia buru-buru menjawab.
Sobri tak tahu sampai kapan bisa menghindari putrinya. Ia bahkan tak berani mengangkat wajah setiap kali berbicara dengannya. Padahal putrinya itu bersikap biasa saja setelah percakapan tempo hari, meski tak kunjung mendapat respon dari Sobri. Tapi Sobri makin kalut bergulat dengan batinnya sendiri, bukan perkara mudah untuk memutuskan sikap. Sobri buru-buru pulang mengambil motor bututnya, menyusun beberapa karung berisi gumpalan getah karet yang baunya kian menyengat, untuk kemudian dijual kepada toke.

***

Aroma khas getah karet yang bakal bikin orang kota mengumpat, menguar laksana bau rupiah bagi hidung Sobri. Asalnya dari tumpukan yang sudah mencokelat dan dikerubungi lalat di halaman luas itu. Seorang lelaki tinggi berkulit gelap tampak sedang menimbang karung-karung gendut milik orang-orang. Dikalkulasikannya jumlah kilo yang dicapai, barulah diserahkannya lembaran-lembaran uang mulus pada si penjual.
“Eh, Sobri. Tumben jual kemari.” Mang Slamet menyambut karung-karung yang diturunkan Sobri dari motor. “Gimana putrimu, lulus?”
“Yang terbaik di sekolahnya.” Sobri mengacungkan kedua jempol seraya nyengir bangga.
Mang Slamet terkekeh, menampakkan deretan gigi kuningnya. Ia menimbang karung-karung milik Sobri, lalu bertanya lagi, “Ngomong-ngomong, sudah punya calon buat putrimu?”
Demi mendengar pertanyaan Mang Slamet yang terasa menyayat telinga, Sobri sampai tersedak ludahya sendiri. Mang Slamet menoleh dan mengeryitkan dahi, mempertanyakan tingkah Sobri.
“Putrimu itu kan cantik, mirip mamaknya. Pasti banyak laki-laki yang mau. Coba kau kenalkan dengan si Merdi, anak toke karet dari dusun sebelah.”
Sobri diam. Namun Mang Slamet seperti tahu apa yang sedang dipikirkannya, lantas melanjutkan, “Kau mau dia merantau kayak abangnya-Siapa nama si bengal itu?! Lebih baik anakmu di sini saja, menikah, supaya ada yang bisa merawatmu. Kalau sampai dia merantau kayak abangnya, kau bisa mati kesepian, Sob.”
Perkataan Mang Slamet menjelma bayangan yang membuntuti Sobri dalam perjalanan pulang. Ia berdecak sebal, sejurus menyesal telah mendatangi lelaki itu. Mang Slamet hanya satu dari sekian kenalan Sobri yang menyarankan demikian. Meminta Ana menetap, menikah, adalah sebuah keputusan yang dirasa paling tepat saat dia mengingat masa tuanya. Tapi semakin dipikirkan, mengapa ia justru semakin pusing? Kekalutan seorang bapak dan sebuah kebimbangan ini membuat kepalanya mau meledak.
Tiba-tiba pikirannya terbawa angin ke pertengkaran tiga tahun silam. Sobri masih ingat betul, hari itu matahari bersinar remang-remang. Deru angin bersahut-sahutan dengan umpatan seorang pemuda yang tengah menggerus kulit pohon karet.
“Aku masih tak habis pikir kenapa Bapak bersikeras melarangku merantau ke Ibukota. Aku pergi juga untuk mencari uang!”
“Mencari uang? Di sini kau bisa mencari uang.”
“Aku juga ingin melihat kota orang, di sini cuma ada pohon karet.”
“Kau bosan membantu bapak, begitu?”
“Aku tidak bilang begitu!” Arif menoleh, berusaha keras mengontrol luapan emosinya. “Sudahlah! Bertengkar dengan Bapak cuma bikin capek saja. Toh masa depanku, Bapak yang menentukan. Terserah!!”
Mendengarnya, telinga Sobri memanas. Ia tak dapat menahan diri. Segenggam tinju melayang ke wajah tirus di hadapannya. Pemuda itu terjungkal, menghantam pohon karet.
Sobri harus selalu menahan sesak di dada tiap kali mengingat pertengkaran itu. Satu pukulan yang ia layangkan telah menumpahkan harga dirinya di hadapan putra yang ia besarkan. Mengingat Arif sama halnya seperti membuka jahitan luka yang baru saja akan mengering. Pada akhirnya pemuda itu nekat pergi merantau tanpa restu bapaknya.
Setelah memarkir motornya di dekat tangga, Sobri menjatuhkan diri ke bangku kayu di beranda. Angin sontak menampar wajahnya, membawa serta asap dari api yang dihidupkan di bawah anjung untuk mengusir nyamuk.
Waktu melesat begitu cepat. Kini putrinya pun telah dewasa, seperti abangnya. Haruskah ia merelakan keduanya pergi?!
Egoiskan dirinya sebagai bapak? Lagi-lagi ia bermonolog dengan dirinya. Ana hanya mengutarakan sebuah impian, melanjutkan pendidikan demi menjadi seorang guru. Bagaimana mungkin ia tega merobek harapan itu? Ia tak ingin Ana menjadi orang yang gagal dan menyesal seperti dirinya di masa lalu. Tidak! Putrinya masih belia, cerdas, dan memiliki kemauan keras.
Terdengar suara langkah yang membuat papan-papan penyangga anjung itu berderik. Ana menyodorkan kepala di ambang pintu yang terbuka. Ia menarik senyum saat bapaknya menoleh.
“Bapak, makan dulu.”
“Belum lapar.” Sobri menyahut.
“Tidak usah berpura-pura untuk menghindar seperti ini, nanti Bapak sakit,” lirih Ana.
Sobri menolehkan kepala, menatap lamat-lamat sepasang mata putrinya. Di keteduhan dua bola hitam itu, Sobri dapat melihat cahaya yang sama seperti milik Arif. Hasrat untuk menjelajah dunia. Tangan Sobri bergerak menepuk tepian bangku. “Sini, duduk sebentar di samping Bapak.”
Ana menurut. Sementara Sobri malah beranjak masuk, mengambil sebuah kotak kayu yang terselip di lemari bajunya. Disorokannya pada Ana. Gadis itu ragu-ragu membukanya.
“Itu uang tabungan Bapak. Ambillah, untuk kuliahmu di kota.”
“Bapak ….” Ana menatap Sobri. Ada jeda panjang sebelum ia kembali membuka suara, “Setelah kupikir-pikir, aku tidak usah kuliah saja. Aku mau di sini, menemani Bapak.”
“Jangan buat Bapak semakin merasa bersalah, seperti waktu abangmu pergi, tak seharusnya Bapak mencemooh impiannya.” Sobri menggeleng. Matanya memerah, namun anehnya air mata tak kunjung keluar dari ceruknya. “Izinkan Bapak memperbaiki kesalahan masa lalu.”
Dahan-dahan pohon karet melambai-lambai, mendendangkan nyanyian alam. Suasana begini, kadang Sobri terlalu menghayati deretan pohon karet yang terlihat seperti lengan-lengan yang ingin memeluk, memberitahu bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, setidaknya dia tak akan menanggung penyesalan seumur hidupnya. Sebab inilah impiannya sebagai seorang bapak; melihat anak-anaknya pergi mengejar impian.
Ana menghambur ke dalam pelukan bapaknya. Terisak sejadi-jadinya, tidak menyangka kalau bapaknya merestui impiannya melanjutkan pendidikan. Sementara Sobri berusaha menegarkan diri, menyakini bahwa kali ini ia telah melakukan yang semestinya dilakukan sejak dulu saat Arif akan pergi.
“Terima kasih, Bapak.” Ana berucap lirih.
Sobri mengecup pangkal kepala putrinya. Hatinya menjadi lebih lapang. Ia berpikir kedua anaknya bisa pergi sejauh yang mereka mau, sampai kaki-kaki itu lelah melangkah. Kelak, mereka akan bertemu petang temaram yang menyadarkan bahwa tiada yang lebih indah selain kedamain di kebun kecil ini. Ia akan menjadi rumah untuk mereka, yang menawarkan kenangan, kedamaian, dan semangat baru. Menjadi tempat kembali untuk langkah-langkah yang kelelahan dan mulai hilang keseimbangan.
Sobri mengela napas dengan berat. Hari-hari tanpa kedua anaknya tak akan sama lagi. Hari-hari selanjutnya tak akan pernah sama. Dipejamnya kedua mata untuk merasakan gelitikan angin sepoi-sepoi, pada merekalah rindunya akan bermuara.

———- *** ———

Tentang Penulis:
Anisa Arpan
Lahir di bawah langit sore Bumi Rafflesia 4 Februari.

Rate this article!
Tags: