SPP Naik, Siswa Pilih Berhenti Sekolah

Anggota DPRD Surabaya Reni Astuti berbincang dengan anak-anak putus sekolah di wilayah Kelurahan Putat Jaya Surabaya, Minggu (16/4). [trie diana]

Dindik Jatim Ingatkan DPRD Surabaya Tak Urusi SMA/SMK
Dindik Jatim, Bhirawa
Kekhawatiran atas munculnya anak putus sekolah pasca pelimpahan wewenang pendidikan menengah SMA/SMK mulai tampak nyata. Warga tidak mampu menjadi korban. Akses pendidikan yang dijanjikan dapat diperoleh secara gratis bagi mereka, ternyata bukan kebijakan yang mudah terealisasi di lapangan.
Yuliani adalah salah satunya. Perjalanannya menjadi siswa di SMK Pawiyatan hanya bertahan selama enam bulan. Selanjutnya, persis pada Januari lalu pasca pelimpahan SMA/SMK dari kabupaten/kota ke provinsi terjadi, Yuliani memutuskan untuk mundur dari sekolah tersebut. Alasannya miris, tidak mampu bayar SPP yang sejak bulan itu naik dari Rp 150 ribu menjadi Rp 305 ribu per bulan.
“Orangtua sudah mencoba datang dan meminta keringanan. Tetap disuruh sekolah lagi. Tapi harus tetap membayar,” terang Yuliani saat ditemui di tempat tinggalnya di Kelurahan Putat Jaya Surabaya, Minggu (16/4).
Memilih putus sekolah sebenarnya bukan keinginannya. Dia hanya korban dari keadaan ekonomi yang kurang mendukung ditambah sulitnya akses pendidikan untuk warga tidak mampu. “Sebenarnya masih ingin sekolah. Tapi kebetulan saya saudara kembar yang sama-sama sedang sekolah. Jadi harus mengalah salah satu karena biayanya tidak mampu,” terang bekas siswa kelas X jurusan perkantoran SMK Pawiyatan itu.
Sempat meminta solusi agar bisa mendapat beasiswa, pihak orangtua malah diminta sekolah mencari sumbangan di Islamic Center Surabaya.
Yuliani tidak sendiri, Nur Aini Fatmawati yang semula mengambil jurusan multimedia di sekolah yang sama juga mengalami hal serupa. Anak angkat dari Budiono  itu juga baru duduk di bangku kelas X. “Saya sebenarnya sudah tawarkan sama anak untuk tetap sekolah. Entah bagaimana caranya. Tapi Nur Aini sepertinya kasihan sama saya akhirnya dia keluar dan sekarang kerja di pabrik amplop,” tutur Budiono.
Budiono pun bercerita tentang kondisi ekonominya yang rumit. Bekerja sebagai tukang di mebel borongan hanya mendapat penghasilan rata-rata Rp 300 ribu seminggu. Itu standarnya, kalau sepi bisa lebih sedikit. “Pernah didatangi guru ke rumah menanyakan Nur Aini. Tapi untuk menagih tanggungan SPP, bukan memberi solusi,” tutur dia.
Bagi anaknya, bekerja di pabrik amplop sebenarnya bukan pilihan yang tepat. Karena Budiono yakin, anaknya masih membutuhkan sekolah untuk mengejar pendidikannya. “Kalau semisal bisa dapat beasiswa, saya mau anak saya keluar dari pekerjaannya. Karena pendidikan itu yang utama,” terang dia.
Di kampung yang sama, tidak hanya Yuliani dan Nur Aini yang putus sekolah. Ada empat lagi teman sekampungnya yang juga putus sekolah. Dua di antaranya karena tak mampu membayar SPP, dua lagi karena persoalan lain.

Tags: