Sudahkah Indonesia Benar-benar Merdeka?

Oleh :
Rokhmat Subagiyo
Dosen Ekonomi Syariah, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Usia Indonesia pada Tahun 2021 ini telah mencapai tujuh puluh enam (76) tahun. Hari ulang tahun kemerdekaannya berdekatan dengan tahun baru Islam yakni tahun baru hijriyah 1443 H. Bagi sebuah negara usia ini merupakan usia yang cukup matang khususnya Indonesia untuk membangun sebuah bangsa dan menjadi negara yang kokoh. Ditandai dengan sumber daya alam yang melimpah ruah. Akan tetapi, hal ini tidak membuat Indonesia menjadi negara yang mandiri dan kuat. Justru Indonesia menjadi salah satu negara pengutang atau debitur. Menjadi pertanyaan, kKira-kira apa penyebabnya sampai Indonesia seperti ini?

Saat ini Indonesia berada pada urutan ketujuh sebagai negara pengutang terbesar dunia di setelah Turki (laporan World Bank, 2021). Akhir Tahun 2021, utang Indonesia tercatat sebesar Rp6.074,56 triliun, atau setara dengan 38,68% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) (https://www.bi.go.id/en/statistik/ekonomi-keuangan/sulni/Pages/SULNI_Maret_2021.aspx).

Baru-baru ini kementerian keuangan memproyeksikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menurun dari Rp1.006,4 triliun menjadi Rp939,6 triliun (https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/belanja-negara-diakselerasi-defisit-dipastikan-masih-terjaga/). Jumlah ini setara dengan 5,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Persentase ini masih berada di bawah batas defsit anggaran sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang (UU) no. 2 tahun 2020, yakni 3% dari PDB (https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176114/UU_Nomor_2_Tahun_2020.pdf). Namun, masih ditoleransi oleh kebijakan pemerintah terkait pelebaran defisit anggaran dengan cara “mengurangi” beban APBN (https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/uu-no-2-tahun-2020-bukti-negara-hadir-berikan-perlindungan-terhadap-dampak-covid-19/).

Pemerintah berkilah, fenomena seperti ini memang tidak bisa dihindari sejak pandemi yang terjadi pada awal Tahun 2020. Secara faktual, sebelum pandemi terjadi Indonesia telah terjadi situasi krisis. Tahun 2020, ekonomi Indonesia secara resmi memasuki jurang resesi (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201105082733-532-566117/indonesia-resmi-terperosok-ke-jurang-resesi-ekonomi). Dengan demikian, timbul pertanyaan apakah mampu Indonesia merdeka dari utang?

Politik utang masih menjadi jurus andalan pemerintah untuk mengatasi permasalahan keuangan negara. Terbukti setiap ada masalah keuangan pada negara, yang menjadi alternatif pertama adalah utang. Utang luar negeri sudah dikenal sejak lama oleh Indonesia. Diawali pada masa penjajahan yaitu warisan utang dari pemerintah Hindia Belanda. Berlanjut saat awal kemerdekaan, Indonesia mempunyai utang sebanyak USD2,3 miliar atau setara dengan Rp32 triliun (https://www.merdeka.com/trending/daftar-utang-indonesia-dari-era-presiden-soekarno-hingga-jokowi-jumlahnya-fantastis.html?page=2). Diikuti pada era pemerintahan Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo utang luar negeri dari tahun ke tahun mengalami tren kenaikan (https://www.kompas.com/stori/read/2021/04/13/153532379/perekonomian-indonesia-di-awal-kemerdekaan?page=all).

Menurut Suparmoko (1996), utang negara digolongkan menjadi tiga (3), yakni: (1) reproductive debt dan dead weight debt. Reproductive debt adalah utang yang dijamin seluruhnya dengan kekayaan Negara berutang atas dasar nilai yang sama besarnya. Sedangkan dead weight debt adalah utang yang tanpa disertai jaminan kekayaan; (2) pinjaman sukarela dan pinjaman paksa dan (3) pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri Pinjaman dalam negeri adalah pinjaman yang berasal dari orang orang atau lembaga-lembaga sebagai penduduk negara itu sendiri. Sementara itu, pinjaman luar negeri merupakan pinjaman yang berasal dari orang-orang atau lembaga negara lain.

Utang luar negeri harus diselaraskan dengan kapasitas negara dalam membayar utang. Utang luar negeri yang sehat adalah utang luar negeri yang masih berada dalam kisaran negara mampu membayar angsuran pokok dan bunganya. Jika jumlah utang luar negeri lebih besar daripada kemampuan membayar, negara akan mengalami kesulitan dalam membayar dan lebih jauh lagi akan membawa dampak negatif pada perekonomian negara tersebut.

Bagi pemerintah Indonesia sendiri misalnya, selalu beralasan bahwa meskipun posisi utang negara sudah begitu menggunung, tetapi masih dalam posisi aman. Hal ini dikarenakan rasio utang terhadap PDB yang masih jauh di bawah standar atau plafon yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 60 persen dari PDB. Bagi pengelola negara, angka ini adalah angka yang wajar, sebab negara lain seperti Amerika Serikat dan Jepang menetapkan plafon yang sama. Bahkan ada negara yang memberikan toleransi angka utang aman lebih tinggi dari angka 60 persen dari PDB-nya.

Padahal kondisi Indonesia berbeda dengan negara-negara maju tersebut. Kemampuan mengelola ekonomi, daya saing, daya juang, termasuk produksi, kualitas produk, dan pangsa pasar Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara maju. Hal ini tampak dalam upaya pemulihan ekonomi di tengah situasi pandemi yang hanya mengandalkan APBN.

Secara faktual di lapangan tampak bahwa penerimaan dari pajak sulit diandalkan. Bagai makan buah simalakama. Situasi pandemi yang makin sulit dikendalikan, ditambah dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berjilid-jilid ini, seakan-akan menjadi alasan pemerintah untuk berutang. Berbagai cara dilakukan untuk menarik dana pinjaman. Diantaranya, dengan mengobral proyek-proyek investasi di sektor strategis dengan dalih menggerakkan perekonomian yang masih berfokus pada sector konsumsi.

Fenomena ini seharusnya tidak terjadi saat usia kemerdekaan Indonesia yang semakin matang. Jsutru, seharusnya menjadi momentum untuk melakukan evaluasi ulang. Negara ini berpotensi menjadi negara yang mandiri dan kuat. Apabila ditelisik dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah ruah dan semuanya ada, seperti: tambang, energi, pertanian, hutan, dan laut.

Pendapat para ahli ilmu ekonomi tentang utang luar negeri dikelompokkan menjadi dua. Pertama, tidak memperbolehkan negara melakukan pengeluaran defisit (jumlah pengeluaran lebih besar dibandingkan jumlah pendapatan). Kedua, mengijinkan negara-negara yang kekurangan modal untuk melakukan utang (Muhajirin, 2016).

Sejalan dengan pendapat para ahli ekonomi Islam terkait anggaran defisit, diantaranya: (1) Mannan, negara Islam modern harus bersedia menerima konsep anggaran defisit. Caranya dengan merombak sistem kebijakan fiskal (intensifikasi dan eksistensifikasi pajak, tax amnesty), mengajukan utang kepada Lembaga keuangan internasional dan perbankan dalam negeri (Mannan, 1985). Dengan syarat, pinjaman tanpa tekanan dari kreditor dan pembebanan bunga (riba). (2) Chapra, sepakat dengan Mannan, hanya ada modifikasi. Untuk menutup defisit anggaran dengan meningkatkan pajak, dengan cara mereformasi sistem perpajakan dan pengeluaran negara. Tanpa melalui kebijakan moneter dan melakukan pinjaman dari pihak luar (Chapra, 2000). (3) Zallum sepakat dengan anggaran defisit, namun untuk menutupi kekuranganya tidak dengan pinjaman dan bukan pajak. Akan tetapi, dengan pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sumber-sumber pendapatan negara yang tradisional seperti, ghanimah, fa’i, jizyah, ‘usyr dan khumus, terkadang tidak mampu menutup pos-pos pengeluaran (Zallum, 2004).

Agar Indonesia tidak gagal dalam membayar utang, merdeka dari utang, dan menjadi negara mandiri, harus memperhatikan prinsip hutang luar negeri (Huda, 2016). Diantaranya: (1) Utang hanya sebagai alternatif terakhir, ketika mengalami kemacetan dalam melakukan usaha yang halal. Terdapat unsur terpaksa dan bukan kebiasaan. Dalam konteks kenegaraan, perlu dilihat apa termasuk darurat atau justru sebagai kebiasaan. (2) Dilarang berutang melebihi kemampuan bayarnya atau disebut dengan ghalabatid dayn (terlilit) hutang, karena akan berdampak negatif yaitu qahrir rijal atau gampang dikuasai pihak lain. Dalam konteks negara harus dilihat apakah selama ini sudah sesuai dengan kemampuan yang dimiliknya. (3) Jika tetap melakukan transaksi utang, harus ada itikad baik untuk mengembalikannya. Konteks ekonomi makro, berhubungan erat antar negara. Jika tidak sanggup memenuhi kewajibannya, ada usaha rescheduling utang. Menurut Drajad H. Wibowo mengatakan bahwa 70% manfaat hutang kembali ke kreditur.

Merujuk pada prinsip hutang Luar Negeri dan hutang menurut Islam, pemerintah Indonesia wajib berhati-hati dan tidak boleh melakukan utang di luar kemampuannya. Hal ini akan berdampak pada batas aman dan indikator-indikator utang luar negeri tetap terjaga.

Berdasarkan paparan di atas diperoleh sejumlah solusi agar Indonesia terbebas dari hutang antara lain: (1) Mempersiapkan diri dengan mental dan keberanian agar politik hutang dilakukan secara proporsional. (2) Mengambil semua pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) oleh negara.(3) Mengoptimalkan potensi yang dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pengelola SDA. (4) Meninggalkan ekonomi berbasis riba.

Wallahu ‘alamu bi showwab.

———- *** ———-

Tags: