Surabaya Harusnya Belajar Kelola Sungai dari Jakarta

Sungai di JakartaSurabaya, Bhirawa
Pemkot Surabaya diminta belajar mengelola sungai ke Pemprov DKI Jakarta. Terlebih jelang Kota Pahlawan menjadi tuan rumah UN Habitat yang akan dihadiri sekitar 6.000 orang delegasi dari 159 negara pada Juli 2016 mendatang.
Jakarta kini gencar melakukan normalisasi sungai dengan mengedepankan target renaturalisasi. Salah satunya pada sungai Ciliwung. Bukan betonisasi sungai, terlebih membangun box culvert di aliran sungai seperti halnya di Kota Surabaya. Normalisasi untuk renaturalisasi mengedepankan aspek habitat. Bukan saja untuk manusia, tapi hewan sungai, terlebih ekosistemnya.
Karakter sungai Ciliwung cenderung lurus dan elevasi curam. Sedangkan karakter sungai Brantas dan terusannya, termasuk sungai Pelayaran di Gresik dan Kali Surabaya. Di Surabaya berkarakter spiral. Melingkar dari selatan ke barat, timur, utara dan timur kembali.
Pandangan ini disampaikan Direktur Institut Pemulihan dan Perlindungan Sungai (Inspirasi) Daru Setyorini, kemarin. “UN Habitat akan prioritaskan habitat untuk manusia. Namun peserta tentu akan juga melihat perlunya manusia berbagi habitat dengan hewan, alam. Bicara sungai di Surabaya, peserta UN Habitat tentunya juga akan melihat dan bahkan menilai sungai di Surabaya sebatas untuk manusia. Belum ada sungai dijadikan sekaligus menjadi bagian alam,” kata Daru.
Dosen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Adhitama Surabaya (ITATS) ini menilai belum ada kebijakan di Surabaya yang mengedepankan berbagi habitat. Dia mencontohkan kawasan konservasi di Wonorejo atau daerah hilir terusan Kali Surabaya yang merupakan bagian Sungai brantas, kini menjadi kawasan hunian. Banyak perumahan baru bermunculan.
“Sungai di Surabaya, bagian hilirnya menyempit. Seharusnya yang namanya sungai, bagian hilirnya harus melebar karena sungai menampung aliran dari anak sungai lainnya. Jadi wajar jika daerah hilir di Surabaya sekarang ini mudah banjir. Bantaran sungai yang harusnya secara alami menjadi tempat luapan air sungai berubah menjadi hunian,” paparnya.
Upaya pelebaran sungai di daerah hilir sulit dilakukan. Sebagai kota besar, Surabaya merupakan salah satu tujuan urbanisasi yang berujung besarnya kebutuhan lahan hunian.
“Lebar sungai di daerah hulu, di Kediri, Tulungagung sampai 200 meter. Tapi di hilir, daerah terusan Sungai Brantas, terutama Surabaya lebar sungai menyempit jadi 30-50an meter,” urainya.
Melihat manajemen pengelolaan lingkungan yang diterapkan di Surabaya, kata Daru, dia menilai 5-10 tahun mendatang banjir di Surabaya bakal semakin parah. Ada banyak fakta di lapangan yang melandasi prediksi tersebut.
Di antaranya, penanganan banjir dengan membangun box culvert yang fungsinya sebatas membantu percepatan aliran air menuju laut, bukan mengedepankan resapan air ke tanah.
Penanganan banjir di Surabaya, menurut Daru, juga memanfaatkan pompa-pompa yang tujuannya membuang air ke laut. Disisi lain ini membahayakan ekosistem. Belum lagi ancaman banjir di hilir sebagai efek air dari tengah kota yang dipompa ke laut (hilir).
“Masih ada anggapan dalam masyarakat kita bahwa sungai merupakan tempat sampah ajaib. Sampah dibuang langsung hanyut. Namun, lagi-lagi penumpukkan sampah akan terjadi di daerah hilir,” tukasnya.
Anggapan keliru dalam kehidupan masyarakat ini yang membuat jembatan di atas sungai di Surabaya kini dilengkapi pagar berbahan galvanis. Contohnya di jembatan Jalan Dupak. Sebelumnya tidak jarang ada orang melempar bungkusan sampah sambil mengendarai motor. “Budaya keliru menjadikan sungai tempat sampah ajaib ini bukan saja di Surabaya. Namun Gresik, Sidoarjo, dan Mojokerto,” rincinya.
Sampah yang terbawa ke hilir membuat hewan air mati terlilit plastik, bahkan mati juga lantaran makan plastik. “Pemkot harus tegas mengawal kawasan lindung, daerah konservasi. Nasib perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang ada, bagaimana kabarnya? Secara aturan, lebar bantaran pantai harus 150 meter kali tinggi pasang-surut air laut. Bagaimana dengan bantaran pantai timur Surabaya?,” ulasnya.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Bencana dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Amien Widodo mengingatkan, keberadaan box culvert membuat saluran air tertutup. Penguraian yang terjadi dalam box culvert terjadi secara anaerobik, bukan aerobik secara alami dengan bantuan sinar matahari dan oksigen.
”Penguraian tanpa oksigen akan menghasilkan gas amoniak dan gas beracun lain. Penguraian bisa menimbulkan ledakan, meski tekanannya tidak besar. Tapi keberadaan gas beracun bahayakan pekerja yang memperbaiki box culvert yang meledak,” sebut Amien.
Amien mengingatkan pemkot agar keberadaan box culvert yang dibangun pemkot harus dibarengi larangan bagi warga membuang sampah di aliran sungai yang bisa masuk box culvert. Termasuk menjadikan aliran dalam box culvert sebagai saluran buang septic tank rumah. “Keberadaan sampah bisa memicu munculnya gas metan yang menimbulkan ledakan. Buang sampah ke saluran air harus benar-benar dilarang,” kata Amien. (geh)

Tags: