Swasembada Beras dan Kemiskinan Petani

Refleksi Hari Tani Nasional 24 September:

Oleh :
Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang.

Indonesia mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atau Institut Penelitian Padi Internasional yang berkantor pusat di Los Banos, Philippina. Penghargaan yang bertajuk “Acknowledgment for Achieving Agri-food System Resiliency and Rice Self-Sufficiency during 2019-2021 through the Application of Rice Innovation Technology” atau “Penghargaan Sistem Pertanian-Pangan Tangguh dan Swasembada Beras Tahun 2019-2021 melalui Penggunaan Teknologi Inovasi Padi”, diserahkan oleh Direktur Jenderal IRRI Jean Balie kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Minggu (14/08/2022).IRRI menilai Indonesia memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada 2019-2021 secara berturut-turut. IRRI dikenal hasil penelitiannya dalam mengembangkan varietas padi yangberkontribusiterhadap RevolusiHijau pada 1960-anyang mencegah kelaparan di Asia. Lembaga yang didirikan pada tahun 1960 ini bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan, meningkatkan kesehatan petani dan konsumen beras, dan memastikan keberlanjutan lingkungan pertanian padi.

BPS mencatat trend produksi beras Indonesia meningkat sebanyak 31,31 juta ton (2019), 31,5 juta ton (2020), dan 31,36 juta ton (2021). Peningkatan produksi beras disebabkan perluasan areal panen, peningkatan produktivitas, dan perbaikan infrastruktur, sertaketersediaan teknologi yang lebih baik. Konsumsi beras di Indonesia didominasi oleh sektor rumah tangga sekitar 77,5 kg per kapita per tahun. Jika ditambah konsumsi beras sektor industri, horeka (hotel, restoran, dan katering) dan jasa, total konsumsi beras mencapai 103 kg per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk sebanyak 272 juta, maka total konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 28 juta ton per tahun. Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa produksi beras Indonesia telah melebihi kebutuhan konsumsi penduduk (surplus). Kementan mencatat nilai SSR (Self Sufficiency Ratio) beras telah mencapai 99,4%, yang berarti bahwa 99,4 persen kebutuhan beras dalam negeri dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Berdasarkan ketetapan FAO tahun 1999, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional.

Prestasi mencapai swasembada beras ternyata berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan petani padi. Salah satu indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). NTP merupakan rasio antara Indeks Harga yang Diterima oleh Petani (It) dan Indeks Harga yang Dibayar oleh Petani (Ib). Konsep ini secara sederhana menggambarkan daya beli pendapatan petani. Penghitungan NTP dilandasi pemikiran bahwa petani sebagai agen ekonomi, baik sebagai produsen dan konsumen. Petani memproduksi hasil pertanian yang kemudian hasilnya dijual, dan petani merupakan konsumen yang membeli barang dan jasa untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari. Petani juga mengeluarkan biaya produksi dalam usahanya untuk memproduksi komoditas/produk pertanian. Angka NTP lebih besar dari 100menunjukkan kondisi petani mengalami surplus, sedangkan bila kurang dari 100 artinya petani mengalami defisit. Semakin besar surplusnya, maka kesejahteraan (dayabeli) petani semakin meningkat.

BPS (2022) mencatat angka NTPP (Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan) menurun dari 101,72 (2019), 100,34 (2020), 98,21 (2021), menjadi 97,90 (Agustus 2022). Angka NTPP tersebut membuktikan bahwa kesejahteraan petani padi semakin menurun pada saat pemerintah menerima penghargaan atas prestasi mencapai swasembada beras. Penurunan kesejahteraan petani disebabkan harga-harga sarana produksi dan barang kebutuhan hidup petani naik lebih tinggi daripada harga komoditas hasil produksi petani. Harga-harga sarana produksi, seperti bibit, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja, serta barang kebutuhan hidup keluarga petani, seperti makanan, transportasi, komunikasi, kesehatan, hiburan, dan sebagainya, umumnya naik lebih tinggi karena ditentukan oleh mekanisme pasar. Sementara itu, harga produksi padi dan beras cenderung stabil karena dikontrol oleh pemerintah.

Beras merupakan bahan pokok makanan yang harus selalu tersedia dalam menu sehari-hari masyarakat Indonesia. Beras mempunyai peranan strategis dalam ketahanan pangan, ketahanan ekonomi, dan stabilitas politik nasional. Sebagian besar penduduk Indonesia menghendaki agar pasokan dan harga beras dapat stabil, tersedia sepanjang waktu, dan harga yang terjangkau. Oleh karena itu, pemerintah selalu bertekad untuk mencapai swasembada beras dengan tingkat harga yang terjangkau masyarakat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan beras masyarakat, pemerintah membuat berbagai kebijakan, seperti pembelian gabah petani saat panen raya dan penetapan harga dasar gabah, serta pengendalian harga di tingkat konsumen.

Rendahnya kesejahteraan petani padi juga bisa dilihat dari pendapatannya. Survei BPS tentang Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017 (SOUT Padi 2017) mencatat pendapatan petani hanya sebesar Rp 4,95 juta per musim tanam per hektare atau Rp 1,23 juta per bulan. Survei BPS juga menyebutkan sebanyak 57,97 persen petani hanya memiliki lahan di bawah 0,1 hektare dan 29,47 persen petani memiliki 0,1 sampai 0,49 hektare. Ini berarti sebanyak 87,44 persen petani padi Indonesia hanya berpenghasilan antara Rp 123 ribu sampai Rp 615 ribu per bulan. Penghasilan tersebut jauh di bawah UMP Jawa Timur tahun 2022 sebesar Rp1,89 juta per bulan dan Garis Kemiskinan sebesar Rp2.187.756 per rumah tangga miskin per bulan.Rendahnya pendapatan mengakibatkan petani tidak mampu mengimbangi kebutuhan sosial ekonomi rumah tangga yang terus meningkat, sehingga terjerumus dalam perangkap kemiskinan (poverty trap). Perangkap kemiskinan merupakan sistem ekonomi yang sangat menyulitkan masyarakat petani keluar dari lingkaran kemiskinan karena rendahnya pendapatan. BPS (2021) mencatat jumlah rumah tangga miskin di Indonesia sebagian besar (46,30 persen) berpenghasilan utama berasal dari sektor pertanian.

Hasil SOUT Padi 2017 juga memperlihatkan bahwa rumah tangga petani masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan dalam melakukan usaha budidaya tanaman padi. Permasalahan tersebut antara lain adalah kenaikan biaya produksi yang relatif tinggi (36,68%), kesulitan dalam hal pembiayaan usaha (11,46%), dampak serangan hama/OPT yang lebih berat (31%), dampak perubahan iklim dan atau bencana alam (8,33%), serta kesulitan dalam mendapatkan dan mengupah pekerja (9,49%), dan kendala lainnya (3,04%). Pendapatan rendah dan permasalahanproduksi yang kompleks menyisakanhanya petani tua yang bertahan di lahan pertanian, sedangkan generasi muda milenial menghindari pekerjaan di sektor pertanian, karena memandang profesi petani sebagai lambang kemiskinan berkelanjutan.

——— *** ———-

Tags: