Teguhkan Spirit Kebangsaan

Senantiasa meng-gelora-kan spirit kebangsaan (cinta negara) bukan hanya tugas tentara. Tetapi kewajiban seluruh rakyat. Spirit kebangsaan mesti dipahami sebagai dukungan, agar negara kuat menghadapi tantangan. Serta tetap berdaulat. Tidak cukup hanya melalui upacara bendera. Melainkan diperlukan aksi nyata bukti rasa kebangsaan, melalui gotongroyong ke-shaleh-an sosial. Juga saling menghormati antar-suku sebangsa se-tanah air.
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) masih membutuhkan aksi kebangsaan lebih luas, dan lebih sistemik. Spirit kebangsaan, bukan sekadar rasa nasionalisme (sempit). Karena nasionalisme, bisa berujung rasialis. Berbagai aksi pengerahan masa berlabel “nasionalisme” malah berpotensi menjadi ancaman ke-bhineka-an Indonesia. Terutama aksi yang dilakukan oleh partai politik (parpol), sering memicu kecurigaan pihak lain.
Yang lebih meng-khawatirkan, adalah “berkata-kata” di media sosial. Berjuta-juta posting bagai meng-aduk-aduk rasa kebangsaan. Tren psikologis sosial kebangsaan kini menjadi ke-prihatin-an. Dikhawatirkan akan semakin tergerus era globalisasi dan materialisme (perburuan kapita). Berbagai budaya ke-setia kawan-an, rela berkorban demi negara telah pupus. Berubah menjadi pencitraan abal-abal, palsu.
Maka seyogianya, aksi kebangsaan tetap menjadi domain kinerja masyarakat. Pemerintah (dan parpol) cukup menjadi fasilitator, membantu kelancaran aski. Sebab hingga kini, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (dan parpol) belum pulih benar. Banyak aparat pemerintah terjebak narsisme. Sering menyiarkan secuil keberhasilan kelompok (dan institusi). Agar dikira berprestasi dan memperoleh simpati.
Di daerah, narsisme pemerintah semakin meluas. Termasuk “membeli” penghargaan tingkat nasional dan internasonal. Misalnya, memperoleh penghargaan kebersihan, walau kota masih kotor. Serta memperoleh penghargaan bidang lingkungan, walau masih sering banjir. Narsisme kalangan pemerintahan, menyebabkan Indonesia menjadi sasaran empuk lembaga (abal-abal) penjual award berbagai penghargaan.
Di seluruh dunia, spirit kebangsaan memang domain masyarakat berbasis ke-gotongroyong-an. Lazimnya, aksi berupa partisipasi publik dimotori oleh tokoh masyarakat, bersifat sukarela. Itulah yang kini sedang dilakukan oleh tokoh agama (ulama dan habaib) di seantero pulau Jawa. Aksi kesetiaan kebangsaan, melalui gerakan istighotsah, gigih (dan masif) digelar. Syukur, negara (pemerintah) merespons positif.
Presiden Jokowi, juga merespons positif aksi istighotsah bertema “kesetiaan kebangsaan” di Pekalongan, Jawa Tengah. Di tempat lain dihadiri Panglima TNI, dan Kapolri. Begitu pula Pangdam dan Kapolda, turut membaur dalam istighotsah di daerah-daerah di Jawa Timur. Bahkan di pulau terpencil (seperti pulau Kangean di Sumenep, Madura) diselenggarakan istighotsah kesetiaan kebangsaan.
Aksi kesetiaan kebangsaan, menjadi bukti kekhawatiran terkoyaknya persatuan dan kesatuan nasional. Terutama disebabkan ekses pilkada (Jakarta). Walau digelar secara damai, dan “sukses” dalam pencitraan. Namun aksi-aksi sektarian, nyata-nyata merugikan perekonomian nasional. Terbukti lembaga keuangan internasional, JPMorgan. meng-opini-kan Indonesia “kurang layak” investasi. Ini cukup merugikan perekonomian (iklim investasi) dalam negeri.
Opini JP Morgan itu, niscaya berpotensi menjadi badai perekonomian. Alasan JPMorgan, diantaranya aksi demo (2 Desember 2016) lalu di Jakarta. Walau aksi berlangsung damai (bahkan digelari “super damai”). Tetapi pesertanya datang dari berbagai daerah seluruh Indonesia, mencapai lebih dari sejuta umat. Seolah-olah aksi demo besar, akan gampang disulut melalui isu keagamaan dan etnis. Dianggap memiliki gekolak sosial politik cukup serius.
Tetapi kesetiaan kebangsaan oleh masyarakat saja, tentu tidak cukup. Diperlukan “kesetiaan” penyelenggara negara kepada NKRI. Yang diharapkan, adalah “kesetiaan” menghindari KKN (kolusi korupsi dan nepotisme). Berdasar catatan Ditjen Otonomi Daerah, sudah sebanyak 320 Kepala Daerah (gubernur serta walikota dan bupati) yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK maupun Kejaksaan. NKRI terancam pembusukan internal oleh mental koruptif.
Pada masa kini, aksi kesetiaan kebangsaan bisa bermakna vital, sebagai upaya pencegahan korupsi.

                                                                                                        ———– 000 ————-

Rate this article!
Tags: