Terkuburnya Bahasa Jawa Kita

Oleh:
Windi Saputri
Mahasiswi pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Redaktur Dewan Pelaksana di Lentera Jurnalistik serta menjadi anggota PENA MAS sampai sekarang. Aktif menulis di blog pribadinya yaitu di putrianginangin.blogspot.co.id.

Meh sambat kalih sinten
Yen sampun mekaten
Merana urip ku
Aku welasno kangmas
Aku mesakno aku
Aku nangis, nganti metu eluh getih putih 

Siapa yang tak kenal dengan lirik lagu tersebut? Lagu dengan lirik bahasa jawa dan sedikit bahasa Indonesia itu tidak hanya didengar dan dikenal oleh masyarakat Jawa saja tapi sudah dikenal hampir seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Bukan hanya karena penyanyinya yang cantik dan suaranya yang merdu tetapi lirik lagunya pun menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah untuk diingat.
Namun sayang, eksistensi lagu berlirik jawa yang dipopulerkan oleh Via Vallen tersebut tidak sejalan dengan eksistensi bahasa jawa dikalangan masyarakat. Terutama anak muda. Banyak anak muda terutama yang berasal dari Jawa enggan bahkan malu untuk menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari – hari. Sehingga mungkin, anak cucu generasi milenial nanti mendapati bahasa jawa sudah terbujur kaku di dalam buku sejarah.
Penyebab Kewafatan
Ada banyak faktor yang menjadikan bahasa Jawa kehilangan eksistensinya. Bahkan banyak diantara anak – anak masa kini yang menganggap bahasa Jawa sebagai bahasa yang tertinggal sehingga mereka malu untuk menggunakannya, apalagi menggunakannya di tempat umum. Paradigma yang tumbuh dan berkembang pada anak – anak tersebut semakin didukung dan diperkuat dengan lingkungan keluarga yang tidak menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa sehari hari. Banyak orang tua sekarang yang lebih memilih mengajarkan anaknya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dibandingkan mengajarkan bahasa jawa karena mereka lebih bangga jika anaknya mahir berbahasa Inggris sejak kecil dibandingkan mahir berbahasa Jawa.
Jawaban menggelitik yang cukup membuat hati miris adalah ketika seorang anak Sekolah Menengah Atas ditanya mengenai alasan tidak menggunakan bahasa jawa meskipun dia adalah orang jawa asli yakni bahwa bahasa jawa tak digunakan saat interview sehingga lebih memprioritaskan belajar bahasa inggris yang lebih dibutuhkan saat interview. Sebuah fenomena yang memprihatinkan tapi memang seperti itu kenyataannya. Keberadaan bahasa jawa benar – benar sedang berada dalam keadaan sekarat.
Ngoko, madya, krama dan krama inggil merupakan variasi bahasa jawa yang cukup jadi boomerang. Dalam setiap variasi bahasa tersebut terdapat aturan – aturan penggunaanya yang berbeda dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Hal tersebut dikarenakan dalam bahasa jawa terdapat aturan tersendiri ketika melakukan komunikasi. Contohnya saja ketika penutur melakukan komunikasi dengan lawan tutur yang usianya lebih tua. Pasti hal itu akan berbeda ketika penutur berkomunikasi dengan lawan tutur yang sebaya atau lebih muda. Aturan – aturan itu yang menyebabkan banyak orang terutama anak muda sekarang yang notabennya nggak mau ribet dengan segala aturan – aturan tersebut. Padahal, aturan ketika berkomunikasi itu adalah bagian dari wujud sopan santun karena orang jawa terkenal dengan kesantunannya.
Berbeda dengan Bahasa Indonesia yang masih menggunkan kata yang sama ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, sebaya ataupun yang lebih muda. Contohnya kalimat tanya “Nenek sudah makan?” akan sama tingkatannya dengan “Adik sudah makan?” atau “Kamu sudah makan?”. Namun, dalam bahasa Jawa, untuk maksud yanng sama akan menggunakan variasi yang berbeda tergantung dengan lawan tuturnya. Variasi ini yang disebut dengan variasi bahasa sehingga kalimat tanya itu menjadi “Mbah Putri sampun dahar?”, “Adik wis maem” dan “Ko wis madhang?”. Alasan ini yang menjadi momok orang lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia dibandingkan Bahasa Jawa. Lebih sederhana dan tidak perlu berpikir aturannya. Cukup menggunakan kata baku dan tidak baku untuk menyesuaikan kondisi.
Kebiasaan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia membuat orang Jawa asli pun mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa Jawa. Sadar atau tidak, disengaja ataupun tidak, seseorang akan merasa bingung ketika memilih kata bahasa Jawa meskipun tahu maksudnya. Menggunakan bahasa Jawa akan sama tingkat kesulitannya dengan menggunakan bahasa Inggris. Seperti perlu terjemahan untuk sampai kepada maksud yang sudah dipikirkan. Hal ini disebabkan karena kurangnya perbendaharaan kata bahasa Jawa sehingga seseorang mengalami kesulitan dan kebingungan dalam mengucapkannya. Alhasil, alternatif yang digunakan dan dianggap efektif adalah menggunakan kata bahasa Indonesia yang sudah umum dimengerti dan dimaklumi oleh orang lain.
Ada satu alasan yang cukup menyelamatkan keberadaan bahasa Jawa. Alasan itu terbungkus pada satu momen yang datang sekali dalam setahun. Idul Fitri. Momen ini biasanya digunakan oleh anak muda untuk menggunakan bahasa Jawa yaitu ketika sungkeman. Biasanya penggunaan bahasa Jawa masih dipakai untuk menghormati lawan tutur orang yang lebih tua atau diajeni. Jadi, faktor lawan tutur cukup menjadi pengaruh seseorang menggunakan bahasa Jawa.
Dari berbagai alasan itulah, dapat dilihat dan dirasakan bahwa keberadaan bahasa Jawa pada nantinya akan “mati”. Jika sekarang keadaannya masih “mati suri” karena masih ada beberapa orang yang menggunakannya, tidak menutup kemungkinan keadaan “mati suri” tersebut akan benar – benar menjadi “mati”. Anak cucu kita mungkin hanya dapat mengenal bahasa Jawa lewat buku – buku sejarah, buku pelajaran atau cerita turun – temurun layaknya sebuah dongeng. Kearifan lokal yang harusnya dijaga oleh akademisi, justru ditumbangkan oleh akademisi pula yang tidak sanggup menjaga bahasa Jawa. Dan pada akhirnya wafatlah bahasa Jawa kita. Semacam batu nisan yang hanya menyisakkan nama, tak ada wujud nyatanya. Hanya sebuah kenangan dan mimpi buruk tentu saja jika keadaan” mati suri” ini tak segera dihidupkan kembali. Tentu saja, tidak cukup dengan sekedar kata – kata melainkan tindakan. Bulat dan nyata.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: