Tim Kemenkes Tinjau RSUD dr Soewandhie

Pemkot Surabaya, Bhirawa
Perjuangan RSUD dr M. Soewandhie menjadi rumah sakit (RS) pendidikan akan tercapai. RS milik pemkot yang berlokasi di Jl. Tambahrejo itu dinilai kelayakannya oleh tim dari Kementerian Kesehatan (kemenkes) RI yang beranggotakan enam orang.
Menurut Kadinkes Surabaya Febria Rachmanita, tim penilai dari Kemenkes yang akan melakukan assessment datang dari berbagai latar belakang, di antaranya dari unsur pemerintahan maupun para akademisi dan praktisi.
Pejabat yang akrab dipanggil Fenny ini menjelaskan background RSUD dr M. Soewandhie akan dijadikan rumah sakit pendidikan adalah sudah dimanfaatkan sebagai tempat menimba ilmu para dokter muda maupun senior sejak 1998.
Mereka umumnya mencoba menggali kasus yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, pemahaman ilmu kedokteran akan semakin berkembang.
”Usulan penetapan RS pendidikan sejatinya sudah diajukan sejak awal Mei 2015. Awalnya, RSUD dr M. Soewandhie mengajukan untuk RS pendidikan utama. Namun, aturan mewajibkan peningkatan status harus bertahap, sehingga RSUD dr M. Soewandhie harus berlabel RS pendidikan satelit dulu. Setelah dua atau tiga tahun baru bisa naik menjadi RS pendidikan utama,” ujarnya.
Fenny juga mengatakan, meski dijadikan tempat pembelajaran oleh para dokter muda, namun mereka (dokter muda,red) belum boleh menangani pasien secara langsung. Dokter muda hanya diperbolehkan observasi dengan didampingi dokter senior.
Fenny melanjutkan, adapun antara RS pendidikan dan non-pendidikan memiliki sejumlah perbedaan mendasar. RS non-pendidikan tidak memerlukan dokter klinis.
Di samping itu juga tidak ada penelitian. Sedangkan RS berlabel pendidikan memperbolehkan dilaksanakannya penelitian akan suatu kasus penyakit. Jika sudah berstatus RS pendidikan, maka pihak RS tentu juga meningkatkan sumber daya manusia (SDM) para dokternya menjadi dokter klinis.
”Dengan adanya penelitian, setiap penyakit akan didiskusikan. Dari hasil itu, wawasan para dokter akan bertambah sehingga hal itu berdampak positif terhadap pelayanan kesehatan masyarakat,” imbuh alumnus FKG Universitas Prof. Dr. Moestopo ini.
Dari sisi usia pensiun dokter spesialis di RS pendidikan juga lebih panjang, yakni 65 tahun. Sedangkan dokter spesialis pada RS non-pendidikan pensiun pada 60 tahun.
Lebih lanjut, Fenny memaparkan, aspek-aspek yang akan dinilai dalam assessment oleh kemenkes meliputi jumlah dokter, sarana/prasarana, buku pedoman ajar mahasiswa, serta laporan progres dokter muda.
Fenny mengatakan, sebelumnya pihak RSUD dr M. Soewandhie telah melakukan self-assessment. Hasilnya, sudah memenuhi prinsip RS pendidikan sebanyak 80 persen.
”Rumah sakit kami ini minimalis, tapi semua sudah terpenuhi. Seperti ruang diskusi dan ruang kuliah juga sudah ada di sini. Oleh karenanya kami optimis dapat mengantongi izin penetapan RS pendidikan dari kementerian,” tuturnya.
Izin penetapan RS pendidikan bukanlah target terakhir yang dibidik RSUD dr M. Soewandhie. Pada Oktober mendatang, RS yang kini tengah menggenjot pembangunan gedung baru ini akan mengejar sertifikasi akreditasi RS versi 2012 dari Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS).
Menurut Fenny, persyaratan sertifikasi tersebut lebih berat karena penilaian lebih detail dan komprehensif. Obyek penilaian mulai dari pasien, satpam, cleaning service, dokter, perawat serta pihak manajemen. Parameter hak-hak pasien juga akan disoroti lebih detail dan terperinci.
Sertifikasi akreditasi yang berlaku tiga tahun ini, kata Fenny, sangat penting karena sebagai salah satu persyaratan perpanjangan izin operasional sebuah rumah sakit.
”Sejauh ini kami tetap optimistis menyongsong akreditasi dari KARS ini karena itu menjadikan motivasi demi peningkatan kualitas mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat,” pungkasnya. [dre]

Tags: