TNI – Unair Cetuskan Pendidikan Spesialis Hybrid Basis Universitas – RS TNI

Rektor Unair Prof Moh Nasih dan Panglima TNI Andika Perkasa menunjukkan nota kesepahaman program pendidikan doktes spesialis untuk mencukupi kebutuhan dokter spesialis militer.

Solusi Akselerasi Peningkatan Kebutuhan Dokter Spesialis dan Distribusi Daerah 3T
Surabaya, Bhirawa
Kebutuhan dokter spesialis di lingkungan RS TNI cukup tinggi. Dari 939 dokter spesialis yang seharusnya dimiliki TNI, baru bisa tercukupi sebanyak 422 dokter spesialis atau hanya 46% yang tersebar di RS milik TNI. Maka untuk meningkatkan jumlah kebutuhan itu, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menggandeng Universitas Airlangga (Unair).
Kerjasama itu, tertuang dalam Nota Kesepahaman Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang ditandatangani oleh Jenderal Andika Perkasa dan Rektor Unair, Prof Nasih, Jumat (4/2). Kerjasama ini akan difokuskan pada pendidikan spesialis berkonsep Hybrid Basis Universitas – RS TNI.
Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa menuturkan, saat ini TNI memiliki 116 RS dari kelas A – D. Jika mengacu pada standar Kemenkes, TNI seharusnya memiliki jumlah dokter spesialis sebanyak 936. Namun saat ini dokter spesialis yang tersedia hanya sebanyak 422 orang.
“Jadi kami hanya memenuhi 46% hingga 47% dari yang seharusnya. Karenanya dengan kerjasama yang baik ini kami berharap bisa membantu menambah jumlah dokter spesialis di RS kami yang juga tersebar hingga daerah terluar Indonesia, seperti di Papua,” tambahnya.
Iapun mencontohkan kekurangan tenaga spesialis di RS TNI yang ada di Merauke yang merupakan RS kelas D. Tetapi jumlah tenaga kesehatan hanya ada 12 orang dokter spesialis dengan 1 dokter umum.
“Dan kami baru tahu setelah ada evaluasi covid, dan akhirnya baru kami tambahkan 24 tenaga kesehatan karena banyak anggota dan keluarganya di Merauke,” tambahnya.
Dengan minimnya tenaga spesialis ini, pihaknya berharap melalui kerjasama ini maka pihaknya bisa mengirimkan dokter umum untuk belajar spesialis ke Unair.
Sementara itu, Rektor Unair, Prof Moh Nasih mengungkapkan jumlah dokter spesialis dan dokter umum jika dirasiokan dengan jumlah penduduk Indonesia masih cukup tinggi. Dengan kata lain beban dokter cukup besar. Secara rinci ia menyebut, jika saat Indonesia hanya memiliki 41 ribu dokter spesialis dan 145 ribu dokter umum. Jumlah ini dari total 160 juta penduduk indonesia.
“Jika dirasiokan masih cukup tinggi. Satu dokter spesialis masih harus melayani 6 ribu lebih penduduk di Indonesia,” jelasnya.
Dikatakan Prof Nasih, dari 34 provinsi di Indonesia hanya ada 41% provinsi dengan jumlah dokter spesialis yang cukup tinggi. Salah satunya DKI Jakarta. Meski begitu, Nasih melihat ada disparitas penyebaran dokter spesialis antar kota. Salah satunya di Jawa Timur.
“Dari sekian provinsi di Indonesia, baru ada belasan provinsi yang jumlah spesialisnya cukup. Namun, meskipun cukup masih ada disparitas yang tinggi antar kota dan kabupaten. Di Jawa Timur, disparitas ini terlihat dengan dokter spesialis yang berkumpul di Surabaya sementara di kota kabupaten lain seperti Pacitan masih kurang dokter spesialisnya. Harapannya, dengan kerjasama ini nantinya akan ada tenaga-tenaga yang bisa ditempatkan secara strategis di daerah,” tandasanya.

58 Persen Daerah Masih Kekurangan Dokter Spesialis
Upaya memenuhi kebutuhan dokter spesialis di RS TNI, Unair telah menyiapkan pendidikan spesialis berkonsep Hybrid berbasis universitas dan RS TNI.
Menurut Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia yang juga berprofesi sebagai Dokter spesialis bedah plastik dan rekoktruksi, Prof David Sontani Perdanakusuma, program ini lahir dari kondisi di mana secara umum (kebutuhan dokter spesialis, red) relatif kekurangan dan mal distribusi. Sebanyak 58% daerah di Indonesia kekurangan dokter spesialis. Diantaranya Maluku Utara, Papua Barat, Bangka Belitung dan Kalimantan Utara.
“Ini kondisi yang menurut kami harus diatasi. Maka kami berkomunimasi dengan TNI dan kerjasama ini bisa mengakselerasi kebutuhan itu (dokter spesialis),” terangnya.
Terkait teknis penerimaan, sebut Prof David yakni dokter militer dikirim RS Tentara yang memenuhi syarat, kemudian proses pendaftaran seperti pada umumnya sekolah spesialis. Selanjutnya mengikuti tes yang dilakukan pihak Unair, jika lolos akan mengikuti pendidikan di RS Tentara, dengan supervisi dari Program Studi Induk (Unair). Misalnya weekly report, pertemuan jurnal, pertemuan ilmiah termasuk penilaian berkala yang akan dilakukan oleh prodi Unair.
“Tapi selama pendidikannya, mulai operasi, perawatan pasien dilakukan di RS tentara dan proses kelulusan dilakukan Unair. Setelah lulus kemudian (dokter spesialis) akan dikembalikan ke TNI untuk didistribusikan ke daerah yang kekurangan (3T),” jelasnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran Unair, Prof Dr Budi Santoso dr Sp OG(K) menambahkan, dengan perkuliahan hybrid ini, dokter militer yang sudah ada di RS milik TNI bisa mengambil program spesialis di FK Unair, namun program PPDSnya bisa tetap dilaksanakan di RS milik TNI.
Bedanya dengan PPDS biasa, dokter militer ini nantinya tidak akan belajar di RSUD Dr Soetomo maupun RSUA, namun di RS milik TNI yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
“Mereka akan belajar di RS Pendidikan Unair hanya di waktu tertentu saja,” tambahnya.
Prof Budi melanjutkan, kini baru sembilan Prodi spesialis yang yang akan bekerjasama dalam pendidikan. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah tersebut akan terus bertambah nantinya.
Berikut Semmbilan Prodi Fakultas Kedokteran Unair yang bekerjasama dalam program studi PPDS yang siap menerima mahasiswa baru dari lingkungan TNI pada semester gasal tahun 2022 yakni Departemen Anestesi dan Reanimasi, Prodi Obstetri dan Ginekologi, Departemen Ilmu Bedah Saraf, Departemem Radiologi, Departemen Ilmu Bedah, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Bedah Plastik dan Rekonstruksi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Departemen Kardiologi dan Ilmu Kedokteran Vaskular. [ina.fen]

Tags: