Tradisi Korupsi Pejabat Negeri

Oleh :
Sutawi
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang

Selain berjibaku memberantas infeksi Covid-19 telah menjangkit dan merenggut nyawa belasan ribu jiwa, bangsa Indonesia juga harus berjihad melawan tradisi korupsi yang dilakukan pejabat negeri. Dalam dua minggu berturut-turut dua orang menteri ditangkap KPK dalam kasus korupsi, masing-masing Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabrowo (25/11/2020), dan Menteri Sosial Juliari P. Batubara (6/12/2020). Jika dihitung sejak era reformasi tahun 1999 terdapat 13 orang menteri yang masuk daftar tersangka kasus korupsi. Ada 5 menteri pada pemerintahan Presiden Megawati (2000-2004), yaitu Mendagri Hari Sabarno, Mensos Bachtiar Chamsyah, Menkes Achmad Sujudi, Men-KP Rokhmin Dahuri, dan Menag Said Agil Husin Al Munawar. Pada era Presiden SBY (2004-2014) ada 4 orang menteri, yaitu Menpora Andi Alfian Mallarangeng, Menag Suryadharma Ali, Menkes Siti Fadilah Supari, dan Men-ESDM Jero Wacik. Pada era Presiden Jokowi (2014-2024) sementara orang 4 menteri, yaitu Mensos Idrus Marham, Menpora Imam Nahrawi, Men-KP Edhy Prabowo, dan Mensos Juliari P. Batubara. Jika ditambah pejabat-pejabat di DPR, DPRD, kementerian/lembaga negara, provinsi, sampai kabupaten/kota, terdapat ribuan pejabat negeri yang terjerat kasus korupsi.

Ada banyak faktor yang mendorong tradisi korupsi tumbuh subur di kalangan pejabat negeri. Pertama, hukuman sangat ringan. Hukuman bagi koruptor di Indonesia seperti tertuang dalam UU Tipikor pasal 2 ayat 1 adalah pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Selama era reformasi, menteri yang merugikan negara puluhan sampai ratusan miliar rupiah hanya menerima vonis ringan antara 1,5 sampai 7 tahun penjara dan denda 200-500 juta rupiah. Di Cina, koruptor yang terbukti merugikan negara lebih dari 100 ribu yuan (sekitar Rp217 juta) dihukum mati. Pada 1997 Malaysia memberlakukan undang-undang Anti Corruption Act yang menjatuhi hukuman gantung bagi pelaku korupsi.

Kedua, tuna budaya malu. Jepang merupakan teladan negara yang tidak mempunyai undang-undang khusus tentang korupsi. Namun, kuatnya budaya malu (shame culture) membuat tingkat korupsi di Negeri Sakura sangat rendah. Korupsi merupakan aib besar bagi pejabat, sehingga cara terhormat menebus kesalahan dan rasa malu karena korupsi adalah bunuh diri (harakiri). Pada 28 Mei 2007 Toshikatsu Matsuoka, Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang, ditemukan tewas gantung diri dengan seutas tali di jendela apartemennya. Toshikatsu mengaku lupa melaporkan donasi sebesar 8.500 dollar Amerika Serikat dari Business Export Forum. Dia tewas hanya beberapa jam sebelum dijadwalkan untuk diinterogasi. Di Indonesia, meski budaya malu ada di setiap suku, agama, ras, dan antar golongan, bahkan disebut sebagai bagian iman, namun luntur ketika berhadapan dengan kasus korupsi. Pejabat koruptor umumnya kaya, agamis, dan berpendidikan tinggi, namun tuna rasa malu. Di negeri yang agamis ini, bunuh diri adalah suatu yang dikutuk. Namun, korupsi seperti bukan sesuatu yang memalukan. Karena itu, jangankan bunuh diri, para pejabat koruptor yang telah terbukti di pengadilan pun tidak merasa malu dan barangkali juga tidak menyesal.

Ketiga, masyarakat toleran dan pemaaf terhadap koruptor. Dalam beberapa kasus, calon kepala daerah yang berstatus tersangka korupsi pun bisa memenangi pilkada dan dilantik sebagai Kepala Daerah. Pada Pilkada 2018, Syahri Mulyo yang telah ditetapkan sebagai tersangka bahkan ditahan KPK, memenangi pilbup dan sempat dilantik sebagai Bupati Tulungagung. Sedikitnya ada 11 kepala daerah di Indonesia yang dilantik ketika berstatus sebagai tersangka korupsi. Hanya di Indonesia, masyarakat mau memilih koruptor menjadi kepala daerah.

Keempat, hak politik koruptor tidak dicabut, sehingga masih bisa mengikuti pemilu legislatif dan kepala daerah. Tahun 2002 Mochammad Basuki Ketua DPRD Surabaya terlibat kasus korupsi Rp1,2 miliar, dihukum 1 tahun penjara dan bebas pada 4 Februari 2004. Basuki terpilih kembali menjadi anggota Dewan periode 2014-2019 dan menjabat Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur. Pada 6 Juni 2017 Mochammad Basuki ditangkap lagi oleh KPK karena menerima suap dari beberapa kepala dinas Provinsi Jawa Timur. Nasib serupa dialami Muhammad Taufik di DKI Jakarta. M. Taufik pernah tersandung kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga pemilu 2004 sebesar Rp 488 juta saat menjabat Ketua KPU DKI Jakarta dan divonis 18 bulan penjara. M. Taufik kembali lolos sebagai DPRD DKI dalam Pileg 2014 dan 2019, dan menjabat Wakil Ketua DPRD DKI sejak 2014 sampai sekarang. Hanya di Indonesia, masyarakat mau memilih koruptor menjadi wakil rakyat.

Kelima, politik dinasti. Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Pilkada serentak terbukti menumbuhsuburkan dinasti politik di daerah. Kepemimpinan daerah didominasi keluarga inti dan sanak saudara. Kepala daerah yang sudah menjabat dua periode akan menyiapkan “putra mahkota” untuk menggantikannya, baik istri, anak, atau keponakan. Politik dinasti cenderung menciptakan kepala daerah koruptif. Pada Juni 2020 lalu, KPK menetapkan Bupati Kutai Timur dan istrinya yang merupakan Ketua DPRD Kutai Timur sebagai tersangka penerima suap Rp2,65 miliar terkait sejumlah proyek pekerjaan di Kutai Timur tahun anggaran 2019-2020. Sebelumnya, ada 12 pasutri pejabat yang pernah berurusan dengan lembaga antirasuah KPK.

Keenam, tidak ada sanksi sosial dari masyarakat. Pasca menjalani hukuman, para napi koruptor keluar penjara seperti orang yang sudah bersih dari dosa. Secara hukum dan politik mereka tidak dilarang alias berhak kembali terjun ke dunia politik. Jika ada partai politik yang mengusung, mereka bisa menjadi calon legislatif maupun calon kepala daerah. Pada Pileg 2019 terdapat 81 nama caleg yang pernah divonis sebagai koruptor, masing-masing 23 caleg eks koruptor tingkat DPRD provinsi, 49 caleg eks koruptor tingkat DPRD kabupaten/kota, dan sembilan calon anggota DPD. Di Korea Selatan, para pelaku korupsi dikucilkan oleh masyarakat bahkan oleh keluarganya sendiri. Tahun 2009 Roh Moo Hyun (Presiden Korsel 2003-2008), yang dikucilkan oleh keluarganya dan tak kuat menahan rasa malu atas kasus korupsi yang menjeratnya, memilih bunuh diri.

Ketujuh, suap-menyuap dan gratifikasi. Pada umumnya, masyarakat memahami korupsi sebagai sesuatu yang merugikan keuangan negara semata. Padahal, korupsi juga tumbuh subur karena partisipasi masyarakat dalam memberi suap dan gratifikasi kepada pejabat. Korupsi kelompok ini jamak terjadi pada urusan pelayanan publik, kenaikan jabatan, dan pemenangan proyek. Menurut KPK, suap dan gratifikasi adalah akar dari korupsi.

———— *** ————–

Rate this article!
Tags: