Uji Coba Masuk Sekolah; Tantangan atau Kebutuhan

Oleh:
Muhammad Farhan Azizi
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UMM, dan Pegiat Literasi

Uji coba masuk sekolah di sejumlah daerah dimulai lagi pada Senin, (29/08). Uji Coba tersebut adalah keputusan yang sangat menantang. Maka akan kerepotan bila uji coba masuk sekolah dijalankan, namun tidak disertai dengan persiapan, niat, dan tekad yang kuat dari sekolah itu sendiri.

Tantangan

Sebagaimana dikutip dari detik.com (17/06), uji coba sekolah tatap muka yang pernah diselenggarakan di 226 sekolah di Ibu Kota pada Juni lalu, dihentikan oleh Pemprov DKI karena berimbas pada lonjakan kasus COVID-19.

Karena itu, konsekuensi logis serupa dengan apa yang pernah terjadi sebelumnya, mungkin harus diterima oleh sekolah kedepannya. Maka sekolah harus siap menerima gamparan keras dari orang tua murid, apabila murid-murid di sekolah nantinya terpapar virus corona saat menjalani uji coba masuk sekolah kembali.

Khawatirnya, jika orang tua murid kecewa dengan diadakannya kebijakan uji coba masuk sekolah karena anaknya terpapar virus. Maka hilanglah esensi sekolah sebagai “taman berpikir”. Adapun uji coba masuk sekolah yang mungkin mengakibat kecewa tersebut, bisa saja dianggap sebagai tempat penularan virus atau “taman virus” bagi murid oleh orang tua mereka.

Maka boleh jadi, orang tua akan melarang anaknya untuk pergi ke sekolah, dan uji coba ini akan dianggap gagal, atau bisa dihentikan lagi penyelenggaraannya. Dari sini, dapat dipahami bahwa uji coba masuk sekolah adalah kebijakan tantangan yang sangat menantang semua elemen pendidikan (guru, murid, orang tua, atau lingkungan sekolah).

Untuk itu, tidak banyak yang harus dilakukan oleh pihak sekolah, satu hal yang harus dilakukan adalah memastikan murid agar benar-benar tidak tertular dan tersebar virus corona dengan cara melakukan pengawasan dan pendisiplinan saat uji coba masuk sekolah itu berjalan. Inilah yang menjadi tantangan uji coba masuk sekolah.

Kebutuhan

Tapi dari pihak lain, masuk sekolah alias membuka kembali sekolah dengan pembelajaran tatap muka tidak seharusnya melalui uji coba, karena sekolah merupakan hal yang diprioritaskan. Selain itu, kegiatan di sekolah merupakah proses regenerasi bibit unggul penerus bangsa.

Serta, status kebijakan pandemi di Indonesia yang masih pada taraf pembatasan berskala, dan belum mencapai lockdown, membuat sekolah harusnya tetap dibuka dan diselenggarakan secara langsung.

Mengutip perkataan Epidemiolog Dicky Budiman, membuka sekolah itu merupakan prioritas utama, dan mempunyai fungsi yang unik di masa pandemi. Bahkan, menurut Dicky lebih lanjut, sekolah baru boleh ditutup ketika suatu wilayah dinyatakan lockdown. Itulah mengapa, masuk sekolah bukan lagi hal yang harus diuji dan dicoba, namun hal itu sudah menjadi kebutuhan karena sekolah merupakan prioritas utama pendidikan.

“Kalau di suatu wilayah tidak ada lockdown sekolah harus dibuka dengan pengaman. Jadi salah besar kalau ada pemahaman sekolah harus ditutup untuk menjaga itu salah besar. Sebab masalah sekolah bukan hanya masalah kesehatan, ada masalah generasi, masa depan satu bangsa. Ini yang harus dipertimbangkan oleh semua daerah,” jelas Dicky.

Sejalan dengan itu, dikutip dalam voi.id (9/06), pengamat pendidikan Doni Koesoma mengamini bahwa pembelajaran tatap muka di sekolah adalah hal yang utama. Sebab hal itu merupakan bagian penting proses pendidikan yang tidak mungkin tergantikan oleh pembelajaran daring. “Maka, pembelajaran tatap muka harus dilihat sebagai sarana utama pendidikan,” kata Doni.

Sebaliknya, kata Doni belajar daring bukanlah kodrat pendidikan. “Belajar dalam perjumpaan itu sejatinya pendidikan. Tapi dalam keadaan tertentu belajar daring dapat bermanfaat dalam situasi tertentu, seperti saat situasi pandemi Covid-19.”

Ia menambahkan bahwa dampak jangka panjang belajar daring dapat memengaruhi psikososial anak. “Anak tak mengenal sekolah, guru dan teman-temannya. Padahal perjumpaan adalah proses pendidikan yang otentik.”

Demikian halnya dalam Jurnal Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud 2020, sebagian orang tua melihat adanya perubahan anak setelah menjalani sekolah dengan pembelajaran daring. Disebutkan bahwa anak mereka lebih banyak mengalami perasaan negatif. Dan, orang tua turut mengalami kesulitan dalam pengendalian emosi, sehingga memaksa, serta cenderung melakukan tindak kekerasan kepada anak.

Fakta lain mengenai masalah psikososial yang timbul pada murid alias peserta didik juga diperkuat dengan banyaknya hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh pembelajaran jarak jauh terhadap psikologis, dan emosional peserta didik. Terdapat sikap pembangkangan (negativism), agresi (aggression), dan mementingkan diri sendiri (selfishness) yang turut hadir dalam jiwa peserta didik.

Hasil akhir, sekolah yang tetap dijalankan dengan metode daring (dalam jaringan) berarti membiarkan generasi bangsa terpuruk pada situasi emosional yang buruk. Karena ada dua masalah besar lain (generasi dan bangsa), di luar dari satu masalah (kesehatan) yang harus betul-betul mendapat perhatian oleh sekolah.

Maka dari itu, sekolah dengan pembelajaran tatap muka adalah suatu keharusan yang semestinya tetap diselenggarakan sebagai bentuk kebutuhan, sekaligus menjadi kegiatan pemenuhan kebutuhan generasi bangsa. Kendati berimbas pada lonjakan kasus penularan virus, yang menjadi pekerjaan khusus bagi pihak sekolah adalah mempertimbangkan masalah besar generasi dan satu bangsa dalam menghadapi masalah ini.

———- *** ———–

Tags: