Zaken Kabinet dalam Sistem Multi Partai

Oleh :
Adam Setiawan
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia

Seorang Ilmuan yang juga merupakan anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yakni Prof. Ahmad Syafii Maarif memberikan saran terhadap Presiden Joko Widodo agar membentuk zaken kabinet kelak jika terpilih kembali.
Buya Syafii Maarif menjelaskan bahwa zaken kabinet yang dimaksud adalah kabinet yang terdiri dari seorang ahli, yang boleh berasal dari partai. Disini partai tidak boleh mengusulkan satu kandidat menteri saja melainkan mengusulkan beberapa kandidat menteri, yang nantinya Presiden akan menentukan. Dengan demikian Presiden mempunyai daulat menentukan kabinetnya.
Adapun pernyataan dari Buya Syafii Maarif tidak ada yang salah namun pada umumnya kita mengenal istilah zaken kabinet merupakan suatu kabinet yang para menterinya dipilih atau berasal dari tokoh-tokoh yang Profesional, ahli dibidangnya, jauh dari latar belakang partai tertentu. Dari hal tersebut terlihat ada perbedaan namun tidak terlalu mencolok dalam memaknai zaken kabinet. Menurut penulis, Buya Syafii Maarif mencoba meracik strategi dengan memberikan usulan agar dibentuknya zaken kabinet dibentuk tanpa menanggalkan kodrat bahwa partai mempunyai peran dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Jika dianlisis secara cermat, rasanya zaken kabinet sukar untuk dipraktikkan oleh Presiden terpilih. Mengingat konstelasi politik negara Indonesia yang sedang carut marut ditambah negara Indonesia menganut sistem multipartai. Untuk itu Penulis mencoba mengulas lebih komperehensif dari perspektif ketatanegaraan mengapa zaken kabinet rasanya sukar untuk dipraktikkan.
Eksistensi Zaken Kabinet di Indonesia
Negara Republik Indonesia pada tahun 1957 hingga 1959 pernah memiliki zaken kabinet yang dipimpin oleh seorang profesional ahli di bidangnya yakni Ir. H. Raden Djoeanda Kartawidjaja. Selama menjadi Perdana Menteri, kabinet yang dipimpinnya diisi oleh orang-orang professional. Sehingga kabinet yang dipimpin oleh Djoeanda dikenal dengan sebutan zaken Kabinet atau Kabinet Ahli. Perlu diingat negara Indonesia pernah mempraktikkan sistem pemerintahan parlementer sebelum akhirnya memilih sistem pemerintahan presidensil
Kabinet Djoeanda muncul pada tahun 1957 hingga 1959, pasca terjadinya instabilitas penyelenggaraan pemerintah. Pada tahun 1956, Soekarno menunjuk Ali Sastroamijoyo yang merupakan tokoh politik Partai Nasionalis (PNI) untuk menduduki posisi Perdana menteri, yang pada waktu itu ditugaskan oleh Soekarno untuk menjadi formatur kabinet. Namun, alih-alih membuat kabinet yang menjadi lebih kuat, Ali Sastromijoyo justru gagal dikarena mengakibatkan instabilitas penyelenggaran pemerintahan.
Selanjutnya Presiden Soekarno menunjuk Soewiryo Ketua Umum PNI sebagai formatur untuk membentuk dan menyusun zaken kabinet. Namun, usaha tersebut kembali gagal hingga akhirnya Soekarno sendiri yang menjadi formatur kabinet.
Namun dengan ditunjuknya Djoeanda Kartawijaya sebagai Perdana Menteri, harapan untuk merealisasikan zaken kabinet mulai terasa.
Zaken kabinet ini mempunyai Program kerja yang efektif dalam menjaga kestabilan negara. Kabinet yang dibentuk oleh Djoeanda berisi menteri ahli di bidangnya antara lain menteri perdagangan Soenarjo yang ahli dalam bidang ekonomi perdagangan, menteri sosial Johannes Leimena yang ahli dalam bidang gerakan sosial, menteri pendidikan Prijono yang ahli dalam pendidikan.
Zaken kabinet bentukan Djoeanda hanya bertahan 2 (dua) tahun, dimana zaken kabinet bentukan Djuanda dibubar. Karena berlakunya UUD Sementara 1950 yang menerapkan sistem demokrasi terpimpin Soekarano.
Sistem Kepartaian Multi Partai
Secara historis Negara Republik Indonesia beberapa kali mendesign ulang sistem kepartaian dengan corak tersendiri sebagaimana dipraktikkan sejak era Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi.
Pasca runtuhnnya rezim otoritarian “Orde Baru” sistem multi partai merupakan pilihan yang ideal untuk dipraktikkan di alam demokrasi ini, mengingat pada rezim Orde Baru kebebasan seakan terpasung tidak ada kesempatan sedikitpun bagi warga negara untuk dapat mendirikan partai dengan dalih menghindarkan terjadinya instabilitas politik.
Namun seiring berjalannya waktu, dalih yang dipakai Orde Baru ada benarnya jika kita menengok secara cermat kondisi perpolitikan negara kita. Hal demikian menurut sebagian ahli diakibatkan sistem multi partai yang tidak dapat dikawinkan dengan sistem pemerintahan presidensil. Dalam hal ini jumlah partai yang membludak banyaknya, cenderung mengakibatkan gesekan kepentingan antar setiap partai yang berada di parlemen dengan Presiden yang notabene merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
Gesekan kepentingan terjadi tatkala fungsi legislasi telah melibatkan Presiden terlalu jauh. Dalam hal ini DPR melakukan pembahasan dan persetujuan bersama Presiden. Pengertian itu, jika DPR tidak menyetujui rancangan undang-undang yang berasal Pemerintah atau sebaliknya Presiden menolak rancangan undang-undang yang diusulkan oleh DPR, undang-undang tidak akan dihasilkan.
Menurut penulis hal ini akan memicu anomali dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam fungsi legislasi dikarenakan ego masing-masing lembaga.
Maka dari itu tak dapat dipungkiri bahwa dengan design sistem kepartaian yang kita praktikkan sekarang rasanya Presiden wajib berkoalisi untuk mendapat sokongan suara mayoritas partai yang berada di parlemen demi mewujudkan hubungan yang harmonis antara presiden dan parlemen.
Lantas dengan cara berkoalisi tersebut tentunya mempunyai implikasi bahwa Presiden akan membentuk kabinetnya dengan menteri yang berasal dari partai pendukung. Misalnya jika Presiden Jokowi terpilih lagi, rasanya sukar untuk tidak memberi jatah menteri atau posisi yang strategis kepada partai pendukung, seperti diketahui partai yang mendukung Jokowi-Maruf Amin berjumlah 10 (sepuluh) partai, ditambah Partai Demokrat yang mulai merapat ke koalisi Indonesia Kerja.
Yang menjadi ketakutan kita adalah ketika partai mempunyai peran yang besar dalam menentukan susunan menteri dalam kabinet. Sungguh ironis rasanya jika presiden kehilangan hak preogratifnya dalam menentukan susunan menteri di dalam kabinet karena kekuatan partai yang mendukung presiden. Dengan demikian rasanya sukar untuk dipraktikkan zaken kabinet di dalam sistem kepartaian multipartai
——— *** ———-

Tags: