Audit Infrastruktur

foto Ilustrasi sebuah jalan rusak di wilayah Kab Sidoarjo.

Hujan ekstrem masih sering terjadi pada penghujung musim ini. Semakin banyak jalan berlubang. Longsor tebing jalan, dan jalan jembatan semakin sering terjadi seiring curah hujan tinggi. Musim hujan, seolah menjadi ancaman serius konstruksi infrastruktur. Hujan deras yang mengguyurkan, menyebabkan aliran sungai menjadi sangat deras. Dengan kecepatan arus 40 kilometer per-jam, aliran air mampu menghanyutkan plengseng beton. Bahkan bisa menggeser konstruksi kaki pancang jembatan, menyebabkan keruntuhan.

Masalah kerusakan jalan, bukan sekadar diterpa hujan. Melainkan juga sistem drainase di sisi (kanan – kiri) jalan. Serta tebing gundul (dan curam) pada kontur jalan di kawasan perbukitan. Sehingga audit infrastruktur jalan tidak dapat dilaksanakan oleh satu Kementerian (PUPR), melainkan harus bersinergi dengan Kementerian lain. Termasuk kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), serta Kementerian Perhubungan. Begitu pula konsekuensi anggaran bisa “sharing” sesuai lokasi, dan kewenangan.

Di daerah (propinsi serta kabupaten dan kota), sinergitas perbaikan jalan dilakukan oleh Dinas Bina Marga, dan Dinas Perhubungan. Juga perlu melibatkan Dinas Sumber Daya Air (SDA) yang “memiliki” saluran drainase di sisi jalan. Serta melibatkan Dinas Lingkungan Hidup, yang “mengurus” tebing di kawasan perbukitan sebagai catchment area. Jika perbaikan dikoordinasikan dengan baik secara lintas kewenangan, niscaya utilitas (kemanfaatan) jalan akan cukup lama.

“Kemantapan” jalan menjadi sarana strategis distribusi logistik. Kondisi jalan yang rusak niscaya menyebabkan ke-tersendat-an distribusi. Menjadi penyebab kenaikan biaya transportasi. Berujung kenaikan harga komoditas. Bisa memicu inflasi. Namun konon, daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) tidak memiliki anggaran yang cukup memelihara jalan. Lebih lagi di Indonesia hanya mengenal dua musim (hujan dan kemarau). Curah hujan menjadi penyebab utilitas jalan sangat rentan.

Pemerintah (pusat) telah meng-alokasi-kan anggaran sebesar Rp 32 trilyun untuk perbaikan jalan daerah. Termasuk Rp 800 milyar untuk perbaikan jalan di propinsi Lampung. Terdapat 447 ribu kilometer jalan di kabupaten dan kota, hanya sekitar 42% dalam keadaan baik. Targetnya pada tahun 2024, sebesar 65% jalan daerah dalam keadaan baik. Berdasar catatan BPS (Badan Pusat Statistik), jalan milik propinsi yang rusak berat sepanjang 174.298 kilometer (32% total ruas jalan).

Jalan “rusak berat,” di-definisi-kan dengan laju kendaraan 0 – 20 kilometer per-jam. Paling banyak berada di Nusa Tenggara Timur (667 kilometer), disusul Riau (633 kilometer), Papua Barat (623 kilometer), dan Sumatera Utara (583 kilometer). Sebanyak 10 propinsi dengan jalan “rusak berat,” seluruhnya berada di luar Jawa. Pemerintah melaksanakan kewenangan (dan hak) utilitas jalan dengan cara berbagi. Ruas jalan yang dikelola oleh pemerintah kabupaten dan kota tercatat sepanjang 446.855 km.

Sedangkan jalan yang dikelola pemerintah propinsi mencapai sepanjang 54.551 km. Serta jalan yang dikelola oleh negara sepanjang 47.071 km. Secara umum, hampir tiada penambahan jalan propinsi. Namun jalan kabupaten dan kota, selalu bertambah seiring kebutuhan (dan perkembangan ekonomi) daerah. Seyogianya pemerintah tidak hanya meng-geber jalan tol. Melainkan juga menyokong anggaran perbaikan jalan di daerah.

Sejak tahun 2017, Bank Dunia merekomendasikan audit reguler (periodik dan sistemik) konstruksi infrastruktur. Sifatnya wajib. Setiap infrastruktur, jalan, jembatan, plengseng jalan, dan plengseng sungai, wajib dilakukan audit periodik. Pemerintah (dan Daerah) memikul tanggungjawab menerbitkan standar audit kekuatan, daya tahan (utilitas), keamanan, dan keselamatan. Juga daya dukung pelestarian lingkungan.

Kemantapan infrastruktur jalan menjadi penyokong utama sektor distribusi logistik. Sangat berpengaruh pada perekonomian daerah, dan nasional. Terutama sebagai pengangkutan hasil panen. [*]

Rate this article!
Audit Infrastruktur,5 / 5 ( 1votes )
Tags: