Budaya Ziarah Ruwahan

Ramadhan 1443 Hijriyah, sudah di depan mata, sepekan lagi. Terasa istimewa, karena bersamaan dengan berakahir Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pilpres. Guncangan sosial akibat perbedaan pilihan, harus sudah diakhiri dengan legawa. Ikhlas menerima hasil Pemilu. Walau masih banyak kritisi penyelenggaraan Pemilihan Umum. Belum jurdil, seperti amanat konstitusi. Selama sepekan akhir bulan Ruwah (kalender Jawa), bisa menjadi penglipur keguyuban sosial. Terutama bersama men-ziarahi makam kerabat sekampung.

Bulan Ruwah (Sya’ban, pada kalender Hijriyah) memiliki pemaknaan budaya, dan tradisi. Dikenal sebagai bulan arwah, menjadi periode pengingat leluhur, anggota keluarga, dan kerabat, yang telah meninggal dunia. Pada sepekan akhir bulan Ruwah biasa dilakukan “nyekar” (ziarah dengan membawa sebungkus bunga-bungaan, kembang boreh) ke kompleks makam. Sekaligus persiapan mental menyambut bulan Ramadhan. Diawali dengan kirim doa untuk arwah anggota keluarga.

Pada masa kini, “nyekar” telah menjadi kegiatan ekonomi kreatif. Rata-rata sebungkus kembang boreh paling murah seharga Rp 20 ribu. Berderet penjual kembang boreh di sekitar makam. Di Surabaya, terutama antara lain nampak di makam Jalan Ngagel, makam Rangkah, dan makam Tembok. Ribuan peziarah memerlukan sebungkus kembang. Sehingga omzet penjual bunga melonjak drastis, sampai 10 kali biasanya. Setiap penjual bunga bisa memiliki penghasilan Rp 500 ribu per-hari!

Tradisi menyambut bulan Ramadhan dengan ziarah kubur, sekaligus menjadi arena “reuni” sahabat yang telah lama berpisah. Kunjungan ke makam biasanya akan bertemu sahabat lama, yang masing-masing telah pindah rumah. Namun masih memiliki makam leluhur yang sama. Menjadi arena menyambung kembali silaturahim sahabat masa kanak-kanak. Bisa bertukar nomor telepon. Maka ziarah kubur sangat mem-bahagiakan. Selain juga bermanfaat membangun spiritual.

Sesungguhnya, persiapan (perilaku) jelang bulan Ramadhan, menjadi hari muhasabah (introspeksi). Bukan untuk bersenang-senang. Terdapat tradisi kirim doa dan sedekah makanan untuk arwah (leluhur dan kerabat), dilakukan di mushala dan di masjid. Serta masjid dan mushala menggelar istighotsah. Bulan Ramadhan, selalu menjadi magnitude di Indonesia. Beragam spanduk menyambut bulan puasa, yang ditebar di berbagai lokasi juga diselingi saran beribadah di masjid.

Mal, perkulakan dan tempat perbelanjaan lain nampak mulai makin semarak. Toko dan stand pakaian mulai buka lebih lama. Begitu pula lapak baru kuliner mulai tumbuh di jalan sekitar permukiman. Hampir seluruh kampung ramai dengan persiapan ekonomi kreatif. Suasana Ramadhan di Indonesia memang berbeda dengan negara lain yang dihuni warga muslim. Terdapat pergerakan sosial budaya paling panjang. Dimulai dengan adat megengan masyarakat mempersiapkan spirit dan suasana kebatinan.

Terutama ziarah ke makam. Ini sekaligus menjadi penyambung silaturahim antar rakyat. Juga antara yang masih hidup dengan leluhur yang telah meninggal. Ada pula adat Megengan, berasal dari kata meng-agung-kan bulan yang dianggap paling suci, keramat dan penuh berkah. Megengan hanya terjadi selama kira-kira tiga hari dipenghujung bulan (Jawa) Ruwah (kalender Arab bulan Sya’ban). Terdapat pra-mudik (sehari), untuk mendatangi kuburan leluhur.

Diyakini, menjelang Ramadhan, seluruh arwah memperoleh “rehat” alam kubur dan boleh “pulang” menjenguk keluarganya yang masih hidup. Karena itu yang masih hidup mestilah berlaku saleh. Sehingga ziarah Ruwahan bukan sekadar tradisi. Melainkan juga ajaran agama, sebagai kesiapan menyambut Ramadhan. Bahkan dipersiapkan dua bulan sebelumnya (sejak bulan Rajab). Sebagai tanda kesiapan mental menyambut Ramadhan, berlatih memperbanyak sedekah.

Akhir Ruwah, terdapat budaya ater-ater. Yakni, mengantar hidangan makanan ke rumah tetangga, dan kerabat. Hidangan diantar, tak terkecuali yang sedang bermusuhan.

——— 000 ———

Rate this article!
Budaya Ziarah Ruwahan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: