Cinta dan 2 Keyakinan

Oleh:
Depri Ajopan
Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru Mandailing Natal Sumatera Utara.

Cinta dan 2 Keyakinan

Hapeku berbunyi. “Ini siapa?” Tak ada jawaban, hape mati. Kulempar ke atas kasur. Hape berbunyi lagi, kuangkat. “Maaf, benar ini dengan saudara Ipung?” Nampaknya orang ini serius.
“Maaf ini dengan siapa?”
“Faruk.”
“Saya Ipung.”
“Ipung saya mau bicara sebentar. Saya abang iparnya Eljak.” Aku tersentak kaget. Kalau dia coba macam-macam, ikut campur mengurusi hubunganku dengan Eljak, akan kuhabisi dia.
“Aku mau bicara tentang hubunganmu dengan Eljak. Kau jangan percaya dengan sms-nya yang memutuskanmu. Dia tulus kok mencintaimu, dia sendiri tadi yang cerita padaku waktu aku di rumahnya. Lagian yang menulis sms itu Bapaknya sendiri, yang suka marah-marah setelah dia tahu kalian masih ada hubungan.” Terbayang wajah Bapaknya yang mengerikan.
“Apakah kau tulus mencintainya?” Untung saja dia mau bicara baik. Aku pikir tadi lelaki keparat itu menyuruhku jangan lagi menemui Eljak, lalu mengancamku. Kalau dia paksa aku menutup perasaan pada Eljak. Besok kepalanya akan berpisah dari badan, walaupun aku belum mengenalnya, bagiku ia keparat.
Aku menganggukkan kepala seolah berada di dekatnya. Aku menjawab, demi Tuhan aku sungguh mencintainya. “Bagaimana kalau kalian menikah nanti, jelas-jelas agama bertabrakan? Dan apa kau sudah siap setelah Eljak wisuda kalian langsung menikah? Kau masih terlalu muda. Pernikahan membuat hidupmu menderita. Lebih baik kau serius dengan kuliahmu. Setelah wisuda kau cari kerja yang pas untuk membahagiakan keluargamu dulu, baru cari istri yang satu keyakinan denganmu. Bukan dengan orang yang berbeda agama, seperti Eljak.” Suasana hening. Lama aku terdiam. Mulutku benar-benar terbungkam, merasa dihipnotis ilmu jahad. Kata-katanya begitu agresif. Benar-benar dia bermaksud menyerangku. Lelaki bejat ini sudah mulai membentakku, dan mengajakku bertarung. Aku siap melawannya.

“Heh anak muda kenapa kau diam saja, lekas jawab pertanyaanku?” Aku merenung. Bagaimana cara membuka mulut.
“Kenapa kau belum menjawabnya anak muda,” ia memaksaku mengambil keputusan cepat. Aku tidak tahu siapa namanya apalagi rupanya, bagiku dia berengsek. Laki-laki keparat itu seekor binatang memiliki kuku panjang yang ingin merobek-robek cinta kami. Dia akan kujadikan musuh bebuyutan yang akan kuserang habis-habisan. Aku tidak akan berhenti sebelum dia mati.
“Aku siap menikah dengannya.”
“Setelah dia wisuda?”
“Sekarang pun aku siap.” Aku yakin dia mati kutu. Jawabanku spontan penuh emosi. Aku menggigit bibir yang merah, napasku sesak, dadaku naik turun. Dalam pikiran telah dapat kureka, bagaimana susahnya hidup berumah tangga sebelum dapat pekerjaan. Aku berbeda dengan nenek moyangku dulu yang bisa mengandalkan kekuatan fisiknya untuk bertahan hidup. Orang seperti diriku tidak akan bisa mendapatkan hal yang diinginkan melainkan dengan pendidikan. Semakin jauh pengembaraanku dalam menempuh pendidikan semakin besar peluangku untuk berhasil. Jantungku terus berdebar-debar. Hati mulai diliputi rasa menyesal kenapa mulutku yang memiliki dua pagar, gigi dan bibir berucap sederas itu.
“Ha….ha…..ha…..” dia terus terkekeh. Kali ini aku benar-benar jatuh ketempat paling bawah, aku merasa dilecehkan. Aku harus cepat-cepat bangkit menghajarnya.
“Sekarang apa maumu?” Ucapanku tidak ada remnya lagi.
“Kalau begitu temui aku sekarang juga di Gunung Pangilun, di depan kampus. Dia menutup telpon tanpa kesopanan. Seenaknya saja dia berbuat begitu. Awas kalau dia macam-macam akan kuputus lehernya.
Di sebuah warung kecil. Tempat pereman-pereman tanggung bermain judi, dan meminum-minuman yang memabukkan. Di tempat terkutuk itu aku diajaknya bertemu. Bicara dari hati ke hati. “Ini untukmu, ambillah.” Lelaki itu menyodorkan sebuah tas kecil warna hitam. Aku penasaran isinya. Kalau dia coba macam-macam, dia akan mati di tempat. Aku tarik resleting tas itu ceroboh. Kertas berwarna merah jatuh sebagian ke tanah. Aku kaget bukan kepalang. Isinya uang berlipat. Kuhitung duapuluh juta rupiah. Dia bermaksud menyogokku.
“Aku mohon urungkanlah niatmu menikahi Eljak. Jangan pernah temui dia lagi.” Lelaki yang berbadan tinggi itu cerita. Ia sering melihat Eljak dipukuli ayahnya sampai memar, setelah dia tahu aku dengan putrinya yang berkulit putih masih mengikat hati menggunakan tali cinta. “Aku mohon anak muda lupakan saja Eljakmu itu.” Dia memegang kedua tanganku. Kemudian memeluk erat tubuhku, airmatanya jatuh berderai. Aku merasa bertemu dengan lelaki paling lemah di dunia, dan aku merasa kasihan. “Kalau saja kau menikah dengannya, sama saja kau menancapkan ujung tombak di bagian jantungnya.” Aku merasa diulti matum. Aku tidak berkata sepatahpun. Aku hanya menyodorkan tas berharga itu. Kutarok di atas meja dengan sopan. Masih untung aku tidak melemparnya ke wajah Faruk. Dia pikir semudah itu aku bisa melupakan Eljak. Dia tidak tahu kenangan indah dari kisah seorang pecinta tidak akan pernah lenyap, walaupun dunia dan isinya sudah runtuh, tapi cinta itu tetap hidup. Cinta tidak akan pernah mati. Eljak bagian dari hidupku. Kalau saja ia pergi dari sisiku, meskipun ada unsur paksaan dari keluarganya, tamat sudah riwayatku. Biar pun Faruk mengasih aku dunia ini, aku tidak akan berpikir panjang. Aku masih memilih hidup dengan Eljak. Gadis itu jauh lebih berharga tidak akan pernah tergantikan. Aku merasa Eljak adalah bintang kecoraku yang mampu menerangi hidupku dari kegelapan yang pengap. Andai saja dia mati, akupun belum pasti hidup. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan hatiku sendiri. Jika itu terjadi sama saja aku membunuh diri sendiri. “Asal kau tahu, jika saja Eljak memilih pergi dari sisiku aku belum pasti hidup.” Aku geram, tidak suka cinta digantikan dengan uang berapapun jumlahnya. Untuk menenangkan jiwaku yang tenggelam, aku memilih meninggalkan tempat terkutuk ini, menggigit bibir penuh emosi. “Tunggu anak muda,” dia mengejarku dari belakang seperti anjing kelaparan. Aku senang melihat ia melakukan itu. Kalau perlu ia sujud di bawah kakiku. Jurus apalagi yang akan kau gunakan untuk memisahkan aku dengan Ejlak? “Jujurkukatakan aku menghargaimu. Kalau tidak akan kuhabisi kau sampai mati.” Aku menggunakan kata kau pada orang yang usianya masih di atasku. Menurut adat kami kata kau itu kasar sekali. Apalagi pada orang yang umurnya jauh di atasku, tidak beretika sekali.Untuk saat ini aku takpeduli. Rasa benci telah melilit hatiku, sampai detik ini dia belum pergi, dan mungkin rasa benci ini tidak akan pernah pergi akan kubawa sampai mati.
“Aku juga mengagumimu. Kalau begitu aku mengaku kalah, aku mengerti orang yang saling mencintai tidak pernah merasa takut meskipun kematian. Karena cinta itu adalah keberanian.” Sok puitis dia itu. Ingin rasanya aku meremas bibirnya sampai doer.
“Tidak usah banyak bicara. Sekarang katakan apa maumu?” Wajah lelaki itu tak pernah marah. Dia begitu menghargaiku, aku yang tidak punya otak memandangnya dengan wajah bersahabat.
“Kalau begitu bawa saja Eljak pergi jauh bersamamu kemanapun yang kau mau. Aku yang akan mengatur semua. Kalau tidak dia akan dikawin paksa oleh ayahnya. Paling lambat dia akan menikan dalam waktu dua bulan ini.”
Aku diberi kebebasan yang tidak menyenangkah hati. Aku mundur ke belakang, menggeleng-gelengkan kepala. Aku merasa dikuliti hidup-hidup. Tidak, aku tidak mau mengakhiri permainan ini dengan tragis. Harus secara sehat. Aku tidak mau mengambil putri orang dari pelukan ibunya yang manja secara paksa. Sederhananya tanpa ada restu. Kecuali kalau itu satu-satunya jalan. Aku yakin masih bisa memetik baik-baik gadis itu di depan mata keluarganya.

———- *** ————

Tentang Penulis :
Depri Ajopan
Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru Mandailing Natal. Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media. Novel barunya Pengakuan Seorang Novelis. Sekarang penulis aktif di Rumah kereatif Suku Seni Riau mengambil bagian sastra.

Rate this article!
Cinta dan 2 Keyakinan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: