Dilema Politik PKS; Oposisi atau Koalisi?

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Politik FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Meskinpun sempat dilanda “badai politik”, dengan eksodusnya para petinggi partai : Anis Matta, dkk, yang kemudian mendirikan partau baru : Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), namun sepertinya tidak terlalu berpengaruh signifikan pada tingkat elektabiltas Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pada Pemilu 2019 lalu, PKS meraup suara 8,21% dengan konversi kursi sebanyak 50 kursi DPR RI. Angka ini bahkan lebih tinggi dibanding pemilu 2014, yang meraap 6,79%. Pada Pemilu 2019, PKS adalah salah satu partai dengan tingkat pertumbuhan politiknya cukup signifikan dibanding partai-partai lainnya. Pada Pemilu Presiden 2019, PKS mengusung Prabowo-Sandi dan kalah. Pasca Pemilu 2019, PKS memutuskan sikap politiknya dengan oposisi.

Pada Pemilu 2024, PKS bersama koalisi Nasdem dan PKB mengusung pasangan Anis-Muhaimin (Amin). Berdasarkan hasil Quick Coount berbagai lembaga survey maupun Real Count KPU, pasangan Prabowo-Gibran diprediksi akan memenangkan kontestasi Pilpres, dengan perolehan suara sebesar 58,85%. Sementara Pasangan Amin memperoleh 24,49% disusul pasangan Ganjar Mahfud dengan 16,68%. Dengan demikian partai koalisi pengusung Prabowo-Gibran ; Gerindra, Golkar, PAN, PSI, Demokrat, akan membentuk pemerintahan baru 2024-2029. Dalam tradisi demokrasi dan sistem pemerintahan presidensial, partai yang kalah dalam Pemilu (baca: Pilpres), akan memposisikan diri sebagai partai oposisi atau di luar pemerintahan. Partai atau kelompok oposisi di parlemen ini penting untuk menyehatkan iklim demokrasi. Peran check and balances sangat penting, karena akan berbahaya jika pemerintahan berjalan tanpa pengawasan. Nirkontrol, pemerintah akan cenderung merasa benar sendiri. Karena setiap kebijakannya tidak perlu pertimbangan dan akhirnya bisa menjerumuskan. Maka yang dirugikan nanti adalah rakyat.

Selama hampir 10 tahun terkahir (baca: pemerintahan Jokowi), nyaris tak ada oposisi yang kuat, hanya PKS yang istiqomah sampai akhir. Dampaknya, tata kelola pemerintahan Jokowi dijalankan dengan “semau gue”. Faktanya; berbagai kebijakan apapun yang diproduksi Jokowi, mudah diloloskan parlemen. Sebut saja UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Kesehatan dan sebagainya. Bahkan kekuasaan negara, sampai Pemilu 2024 ini, berubah menjadi kekuasaan personal Jokowi. Matinya oposisi (tanpa ada chek and balance) di parlemen akan berpotensi menghasilkan pemerintahan korup, sebagaimana di disebut Lord Acton, “Power tend to corrup, and absolute power corrups absolutely”, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup.

PKS : Oposisi atau Koalisi?
Belajar dari praktek kekuasaan 10 tehun Jokowi yang tanpa kekuatan oposisi (parlemen) yang kuat, dan berdampak pada buruknya iklim demokrasi, maka hadirnya kekuatan oposisi parlemen menjadi kebicayaan politik. Bagaimana mengembalikan marwah demokrasi Indonesia?. Semua ini akan bergantung pada sikap dan posisi politik Parpol yang kalah Pilpres. Di antara partai-partai yang kalah Pilpres, yang memiliki pengalaman oposisi adalah PDI-P dan PKS dengan waktu 10 tahun. Oposisi parlemen akan kuat jika, partai-partai yang kalah memposisikan diri sebagai oposisi dengan kekuatan sekitar 55,5% kursi parlemen. Sementara partai pemerintah (koalisi) hanya memiliki kekuatan sebesar 45,5%. Pertanyaannya, apakah partai-partai yang kalah akan menjadi partai oposisi atau koalisi?.

Khusus untuk PKS, dengan hasil Pemilu 2024 ini yang diprediksi memperoleh 7,5% suara atau setara dengan 50 kursi lebih, akan menghadapi sikap politiknya; apakah mau oposisi atau koalisi. Jika PKS sendiri oposisi, maka akan sulit memerankan peran politik oposisinya. Belajar dari pengalaman oposisi PKS, selama 10 tahun oposisi, suara-suara kritis-kontruktif dan oposisi PKS memang terlihat dan terekam publik, dan cukup menyehatkan iklim demokrasi di parlemen dan luar parlemen. Akan tetapi, sikap oposisi ini kurang berdampak secara signifikan terhadap perolehan suara (baca: elektabilitas) PKS di Pemilu 2024 ini. Mungkin ada kenaikan suara atau kursi, akan tetapi tidak terlalu signifikan. Kondisi ini yang membuat dilema politik bagi partai-partai yang kalah Pilpres, termasuk PKS; apakah mau jadi oposisi atau masuk koalisi pemerintahan?.

Plus-minus Oposisi dan Koalisi
Partai-partai yang kalah Pilpres, tentu saja mulai berhitung dalam menentukan sikap dan posisi politiknya; Oposisi atau Koalisi?. Kelebihan menjadi oposisi; oposisi akan menyehatkan iklim demokrasi; mereduksi potensi dan praktek penyimpangan kekuasaan; menghindarkan parlemen dari menjadi stempel politik kebijakan; jika oposisi dijalankan dengan benar, konsisten dan konstruktif, berpeluang mendapat insentif elektoral di Pemilu selanjutnya. Sementara kekurangannya; oposisi membuat Parpol menjadi capek dan karenanya membutuhkan stamina politik yang kuat; dan tidak memiliki akses sumber daya politik-ekonomi (baca: lahan kering).

Sementara kelebihan koalisi/masuk pemerintahan ; partai akan mendapat jatah dan berkah politik (baca: lahan basah), yakni jabatan eksetutif (menteri atau wamen) atau yang lain; memiliki akses sumber daya politik dan ekonomi, memiliki modal politik dan ekonomi untuk membesarkan partai yang bersumber dari kekuasaan. Kekuarangannya; berpotensi melahirkan praktek politik oligarkhis parlemen, kebijakan dibuat sesuai selera penguasa, bukan rakyat; cenderung mengabaikan kepentingan rakyat. Golkar adalah satu-satunya partai yang memliki idiologi politik : tidak ada kamus oposisi dalam Golkar. Menag kalah Pilpres, tetap masuk koalisi. Dan Golkar mendapakan dan menikmati segalanya dari berkah koalisi, termasuk insentif elektoral yang didukung akses politik-ekonomi yang besar.

Demokrat yang oposisi selama 9 tahun tidak kuat, dan akhirnya masuk koalisi. Selama 9 tahun oposisi, Demokrat tak dapat berkah politik dan elektoral. Bahkan pernah menjadi sasaran tembak penguasa dalam kasus “begal politik Demokrat”. Perolehan suara Demokrat pun pada Pemilu 2024, bukannya naik, justru turun dari 7,77% pada 2019 menjadi 7,41 (real count KPU) pada pemilu 2024.

Sama-sama Bermartabat
Bagi pemenang Pilpres, Prabowo-Gibran dengan modal politik sekitar 45% (partai koalisi), maka belum cukup kuat untuk menjalankan pemerintahan dengan aman ke depan. Prabowo-Gibran pasti akan berusaha merayu 2-3 partai agar masuk koalisi untuk memperkuat barisan koalisi dengan kekuatan minimal menjadi 70% dan mengamankan jalannya pemerintahan ke depan. Persoalannya, siapa paryai yang mau diajak koalisi? Apakah PDI-P, PPP, Nasdem, PKB, atau PKS. Semuanya punya Peluang diajak masuk, akan tetapi yang memiliki peluang besar diajak adalah PDI-P, PKB, dan PPP. Kemungkinan besar yang dilepas Nasdem dan PKS. Namun demikian, oposisi atau koalisi, akan berantung pada sikap politik ketua umumnya dan otonomi politik partai masing-masing, dan sikap politik partai yang kalah Pilpres dalam mengajukan hak angket Pemilu yang sekarang masih berproses.

Alhasil, apapun sikap dan posisi partai-partai yang kalah Pilpres, mau oposisi atau koalisi, kedua sama-sama bermartabat dan mulia dalam membangun bangsa dan negara ini. Dalam demokrasi meniscayakan adanya oposisi atau check and balances. Jika menjadi koalisi pemerintah, jadilah pelaksana kekuasaan yang baik dan benar serta berpihak pada kepentingan masyarakat. Jika menjadi oposisi, jadilah opisisi yang baik dan benar. Mungkin oposisi secara jumlah kecil, tapi jika diperankan dengan (tak asal kritik), mampu memberikan tawaran alternatif solusi dan tegas serta konsisten dalam memperjuangkan aspirasi, maka akan memberikan warna politik tersendiri bagi iklim demokrasi yang lebih sehat dan menyehatkan

Kekuatan oposisi tidak boleh kehilangan suara untuk mengkritik secara konsisten. Dengan demikian, keberadaan oposisi sanggup memberi kebijakan alternatif. Dampaknya akan positif bagi parpol dan demokrasi. hilangnya suara kritik oposisi parlemen dan ekstraparlementer, akan berdampak pada kuatnya hegemoni kekuasaan pemerintah yang berujung pada otoritarianisme dan matinya demokrasi.

————- *** ————-

Rate this article!
Tags: