Dinkes dan BBTKLPP Surabaya Lakukan Survey Tikus-Deteksi Dini Leptospirosis

Dinkes dan BBTKLPP Surabaya lakukan survey tikus dan deteksi dini penyakit Leptospirosis. [wiwit agus pribadi/bhirawa]

Pemkab Probolinggo, Bhirawa.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Probolinggo bersama dengan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Surabaya melakukan survey tikus dan deteksi dini penyakit leptospirosis di Desa Sebaung Kecamatan Gending, Selasa hingga Jum’at (1-4/8).

Selain di Kabupaten Probolinggo, kegiatan serupa juga dilakukan di wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Gresik. Kegiatannya meliputi bahan dan peralatan, penentuan lokasi pemasangan perangkap serta prosedur penangkapan tikus.

Kepala Dinkes Kabupaten Probolinggo dr Shodiq Tjahjono melalui Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr Dewi Vironica, Kamis (3/8) mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi data surveilans tikus penyebab leptospirosis di daerah lokus sehingga diketahui besaran masalah dan dapat mengestimasi dampak penyakit di masa mendatang (kewaspadaan).

“Kegiatan ini perlu dilakukan sehingga hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk kewaspadaan, menjadi dasar perencanaan dan pengambilan keputusan program kesehatan,” katanya.

Dewi menjelaskan tikus adalah binatang mengerat (rodensia), beberapa jenis/spesies dari kelompok binatang ini hidup di dekat tempat hidup dan atau kegiatan manusia disebut rodensia komensal. Asosiasi tikus dengan manusia sering bersifat parasitisme karena menyebabkan kerugian bagi manusia.

“Kelompok binatang ini lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang di gudang dan binatang pengganggu yang menjijikan di perumahan. Binatang mengerat ini menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit merusak bahan pangan, instalasi media, instalasi listrik, peralatan kantor, komputer, perlengkapan laboratorium, dokumen/file hingga penyebab beberapa penyakit bagi manusia salah satunya leptospirosis,” jelasnya.

Menurut Dewi, tikus termasuk hewan cosmopolitan artinya menempati hampir di semua habitat dimana manusia tinggal. Untuk mendapatkan hasil penangkapan yang diharapkan maka dalam pemasangan perangkap perlu memperhatikan beberapa hal ditemukannya jejak tikus seperti sisa/seresah makanan (buah jatuh), bekas keratan, jejak kotoran (feces) dan runway.

“Perangkap juga dapat dipasang pada sekitar tanaman dan pepohonan. Informasi masyarakat tentang keberadaan tikus juga sangat berguna dalam menentukan keberhasilan penangkapan (trap success),” terangnya.

Dewi menerangkan cara penangkapan tikus dilakukan selama 2-3 hari. Hari pertama melakukan koordinasi kegiatan surveilans dengan puskesmas dan kader kesehatan, menyiapkan perangkap, menyiapkan umpan, penomoran perangkap, pemasangan perangkap, mengambil titik koordinat dan mengambil dokumentasi habitat.

“Hari kedua, pengambilan tikus dilakukan pada jam 06.00 pagi, pemberian label lapangan, pemeriksaan dan penggantian umpan, perangkap yang sudah pernah diisi tikus dicuci dengan air cucian beras sebelum digunakan kembali, semua perangkap dipasang kembali dan tikus tertangkap dibawa ke laboratorium lapangan, dipisah sesuai asal habitat untuk pemrosesan diawali tikus tertangkap dari habitat rumah,” tegasnya.

Hari ketiga terang Dewi, dilakukan pengambilan tikus dilakukan pada jam 06.00 pagi dan perangkap berisi tikus diambil tikusnya dan seterusnya dilakuan prosedur yang sama dengan hari kedua. “Semua perangkap dibersihkan dari sisa umpan, dicuci dengan air cucian beras dan dilipat menggunakan tali per 10 perangkap,” tuturnya.

Ebelumnya Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Probolinggo menggelar workshop surveilans sentinel leptospirosis di Ball Room Paseban Sena Kota Probolinggo. Kegiatan ini diikuti oleh 119 peserta terdiri dari 39 dokter puskesmas dan rumah sakit, 39 surveilans puskesmas dan rumah sakit serta 41 ATLM se-Kabupaten Probolinggo. Selama kegiatan mereka mendapatkan materi penegakan diagnosa dan tata laksana leptospirosis oleh dr.Nanik SpPd dari RSUD Waluyo Jati Kraksaan

Selanjutnya, surveilans leptospirosis oleh Gito Hartono dari Dinkes Provinsi Jawa Timur, pemeriksaan specimen leptospirosis (MAT dan PCR) serta handling dan shipping spesimen leptospirosis oleh Zikri Nanda dari BBTKLP dan simulasi sentinel surveilans leptospirosis serta alur kegiatan sentinel leptospirosis oleh Dya Candra dari BBTKLP.

Workshop surveilans sentinel leptospirosis ini digelar dengan tujuan untuk meningkatkan kewaspadaan dini terhadap penyakit leptospirosis, meningkatkan deteksi dini penemuan kasus leptospirosis serta terbentuknya sentinel leptospirosis.

Lebih lanjut Kepala Dinkes Kabupaten Probolinggo dr. Shodiq Tjahjono mengatakan saat ini kasus leptospirosis di Kabupaten Probolinggo tinggi. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius, cepat dan tanggap agar tidak melebihi kasus Covid-19.

“Diharapkan materi yang disampaikan oleh narasumber agar bisa diterapkan. Sebab leptospirosis ini bukan masalah sepele dan kalau dibiarkan kasusnya akan membengkak melebihi angka Covid-19. Kita harus berusaha keras agar Kabupaten Probolinggo bebas leptospirosis,” katanya.

Sementara Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kabupaten Probolinggo Mujoko mengungkapkan leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosa yang hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit tersebut terutama disebarkan oleh tikus yang melepaskan bakteri melalui urine ke lingkungan.

“Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu daerah endemis untuk leptospirosis dan menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat karena berkaitan dengan keberadaan faktor risiko yaitu tingginya populasi tikus (rodent) sebagai reservoir leptospirosis dan kurangnya sanitasi lingkungan serta semakin meluasnya daerah banjir di Kabupaten Probolinggo,” tambahnya.[wap.ca]

Tags: