Hadapi Kekerasan Seksual pada Anak, Negara Harus Hadir dan Melindungi Korban

Jakarta, Bhirawa.
Menurut Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Retno Listyarti, kekerasan seksual terhadap anak-anak pada 2018-2019, pelakunya 88% adalah Guru dan 22% adalah Kepala Sekolah.

“Pelaku yang dari Guru itu, 40% adalah Guru Olahraga dan 13,3% adalah Guru Agama. Selebihnya adalah guru Kesenian, Guru Komputer, Guru IPS, Guru Bahasa Indonesia,” papar Retno Listyarti dalam diskusi 4 Pilar MPR RI dengan tema “Mendorong Keberpihakan Negara dalam Perlindungan Anak, hari Senin (13/12). Nara sumber lainnya, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (virtual) dan Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni.

Retno Listyarti lebih jauh bilang; Bentuk kekerasan pada anak itu mulai dari sodomi, perkosaan dan pencabulan. Maupun pelecehan seksual atau juga melakukan oral sek.

Jenis kelamin korban, dari 17 kasus pada tahun 2019, korban mencapai 89 orang anak. Terdiri dari 55 anak perempuan dan 34 anak laki-laki. Ada 4 kasus tambahan, hingga korban mencapai 123 anak pada tahun 2019. Terdiri dari 71 korban anak perempuan dan 52 anak laki-laki. Pelakunya, total 21 orang, 20 orang adalah laki-laki dan 1 pelaku perempuan.

” Pelaku 1 perempuan ini adalah kasus di Bali, dimana pelaku adalah Guru SMA, yang mengajak muridnya melakukan Trisome bersama pacarnya,” papar Retno.

Diceritakan, modus kekerasan seksual pada anak ini beragam.Dari data tahun 2018-2019, total kasus berdasarkan jenjang pendidikan, paling tinggi adalah SD yaitu 64,7%. Kasus kekerasan seksual yang edua adalah di SMP dengan kasus 23,53%. Sedang dijenjang SMA atau sederajat, kasusnya 11,77%. 

“Kalau ada sistem pengaduan yang kuat, ada sistem pengawasan yang kuat, hal itu akan memberikan perlindungan terhadap anak-anak kita,” pungkas Retno Lystiarti.

Hidayat Nur Wahid menyatakan; Harus ada sosialisasi dari bawah, terkait dengan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Maka, meningkatkan kualitas dan kualifikasi dari Kementerian Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. 

Perlu juga disosialisasikan terkait masalah konten daripada perUndang-Undangan. Minimal UUD dan UU tentang Perlindungan anak. Karena, kalau UUD ini tidak dipahami dengan benar, terkait perlindungan anak. Mungkin negara merasa tidak mempunyai kewajiban maksimal untuk melindungi anak,” nasihat HNW. [ira]

Tags: