HPP Beras Jelang Panen

Sungai besar di seantero pulau Jawa telah meluap, akibat hujan cuaca ekstrem. Hampir seluruh kawasan sentra pangan di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogya, dan Jawa Timur, terendam banjir. Jelang musim panen raya padi, banyak area persawahan digenangi luapan banjir (dan dihunjam angin kencang). Tanaman padi yang terendam, tak tertolong menjadi membusuk. Yang terkena angin akan roboh. Menyebabkan sebagian ladang gagal panen. Maka spekulasi harga beras bertahan sangat tinggi.

Tetapi petani tidak pernah memperoleh “berkah” harga beras mahal. Bahkan kenaikan harga beras bisa meruntuhkan NTP (Nilai Tukar Petani). Disebabkan indeks yang diterima (It) pada saat panen sangat rendah. Sedangkan belanja (indeks beli, Ib) pangan petani pada masa jelang panen lebih tinggi. Petani tekor. Usaha ke-pertani-an terasa infeasible (tidak layak). Sehingga memerlukan “perlindungan” dari kebangkrutan. Konon pemerintah akan menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah, dan Beras.

Namun tidak mudah. Karena menaikkan HPP Beras (dan Gabah), pasti, akan menaikkan harga beras di pasar. Pasti pula akan diikuti inflasi sektor pangan. Padahal Presiden Jokowi telah wanti-wanti seluruh Kepala Daerah jaga inflasi. Realitanya, harga beras di seluruh daerah telah membubung. Termahal selama 5 tahun terakhir. Harga beras medium, rata-rata dibanderol Rp 11.700,- per-kilogram, tertinggi sejak tahun 2018. Sedangkan beras premium rata-rata seharga Rp 13.520,- per-kilogram.

Sedangkan droping beras yang dilakukan Bulog (harga Rp 43 ribu per-5 kilogram), langsung diserbu masyarakat. Tetapi droping Bulog tidak pernah mencukupi kebutuhan. Harga beras tetap semakin menjauh dari HET (medium sebesar Rp 9.450,- per-kilogram). Serta HET beras premium senilai Rp 12.800,- per-kilogram. berlakun sejak September 2017. Selama 6 tahun HET beras, tak jauh dari HPP oleh Bulog dari Petani, dan perusahaan slip.

Berdasar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020, HPP beras medium sebesar Rp 8.800,- per-kilogram. HET yang ditetapkan 6 tahun lalu, turut memicu spekulasi. Dianggap sudah saatnya harga beras naik. Padahal pemerintah berupaya tidak terjadi kenaikan harga beras, sebagai pangan utama. Pemerintah menjaga keseimbangan, antara harga ke-ekonomi-an yang tidak merugikan petani. Sekaligus harga beras wajar yang tidak memberatkan masyarakat.

Melindungi ke-ekonomi-an harga beras, tidak harus dengan menaikkan harga. Melainkan dengan perbaikan sistemik, on-farm (ke-pertani-an) di ladang, dan off farm (manajemen penagadaan pangan). On-farm, terutama melalui mekanisasi teknologi pertanian. Misalnya menggunakan mesin tanam padi, (rice transplanter) pada masa derep tandur (memasukkan bibit ke ladang). Serta menggunakan mesin panen combine harvester.

Mesin mobile ini, sesuai namanya, merupakan kombinasi dari tiga operasi yang berbeda. Yakni menuai, merontokkan, dan menampi, dijadikan satu rangkaian operasi. Beberapa daerah (antara lain, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Barat) telah cukup akrab. Harga combine harvester bervariasi, yang cukup baik antara Rp 400 juta hingga Rp 500 juta per-unit. Perbaikan on-farm bisa dilakukan pada level kelompok tani (Poktan), dengan memanfaatkan KUR (Kredit Usaha Rakyat). Serta skema kredit murah lain ber-bunga rendah (4% per-tahun).

Mekanisasi pertanian akan meng-efisien-kan nilai produksi beras dalam negeri. Realitanya, beras dari Vietnam jauh lebih murah dibanding beras dalam negeri. Biaya produksi beras dalam negeri sebesar Rp 4.079,- per-kilogram. Sedangkan di Vietnam hanya Rp 1.679,-. Begitu pula di Thailand senilai Rp 2.291,-, serta di India Rp 2.306, dan di Filipina Rp 3.224,-. Bahkan harga produksi beras di Indonesia tergolong paling mahal di dunia.

——— 000 ———

Rate this article!
HPP Beras Jelang Panen,5 / 5 ( 1votes )
Tags: