ITS Gagas Konsep Hunian Hybrid untuk Kawasan Gunung Semeru

Model rumah ramah bencana yang digagas Tim MKPI ITS untuk kawasan Gunung Semeru yang dibahas beberapa waktu lalu.

Surabaya, Bhirawa
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) berupaya memberikan dukungan bagi solusi korban erupsi Gunung Semeru. Tim Peneliti ITS khususnya dari Pusat Penelitian Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS yang merumuskan konsep hybrid Hunian Sementara (Huntara) dan Hunian Tetap (Huntap) pasca bencana Gunung Semeru.
Hal itu sempat dibahas dalam sebuah diskusi yang diadakan secara Daring, beberapa waktu lalu. Kepala Pusat Penelitian MKPI ITS, Adjie Pamungkas ST MDevPlg PhD mengatakan, diskusi bertujuan untuk memberikan solusi dalam upaya permukiman kembali (resettlement) pasca bencana erupsi Gunung Semeru.
Diskusi ini juga dihadiri oleh beberapa peneliti dari ITS, di antaranya Johanes Krisdianto ST MT dan Wahyu Setyawan ST MT dari Departemen Arsitektur, Bambang Piscesa ST MT PhD dari Departemen Teknik Sipil, dan Kesumaning Dyah Larasati ST MArs selaku asisten peneliti di MKPI.
Dalam diskusi ini, diusulkan sebuah konsep hybrid Huntara dan Huntap. Konsep ini untuk menghindari potensi konflik akibat delay yang kerap terjadi pada saat pembangunan Huntara maupun Huntap. Selain itu, konsep modular tahan gempa dan abu vulkanik juga bisa diterapkan untuk fasilitas umum, seperti kantor desa, sekolah, Puskesmas, dan lain sebagainya.
Menurut Wahyu, masyarakat desa harus responsif dan resilien terhadap bahaya bencana di kaki Gunung Semeru. Maka dari itu, dengan implementasi konsep resettlement tersebut, masyarakat desa di kaki Gunung Semeru diharapkan dapat berpartisipasi dalam pemulihan pasca bencana.
“Mulai dari meningkatkan perekonomiannya, hingga meningkatkan pengetahuannya mengenai mitigasi bencana alam,” ujarnya, Senin (27/12).
Wahyu berharap, pembangunan permukiman ini bisa ditambah dengan penanaman hutan bambu di sekitar kaki Gunung Semeru. Penanaman bambu ini dapat menjadi alarm bagi warga desa karena bambu akan mengeluarkan suara keras ketika terkena awan panas.
Sementara itu, untuk konsep rumah tahan gempa dan abu vulkanik, dijelaskan Johanes, rumah tersebut dibentuk dengan atap yang mampu menahan curahan abu vulkanik gunung berapi. Selain itu, rumah tersebut harus berbahan material sederhana, kokoh, dan mudah dicari di daerah Semeru.
“Hal ini dilakukan untuk mempermudah masyarakat desa dalam mengembangkan rumah mereka secara mandiri tanpa keahlian khusus,” jelasnya.
Tak hanya itu, rumah yang dikonsep oleh tim ITS ini dapat dibangun dengan cepat dan dapat dipindahkan secara mudah. Oleh karena itu, bahan material yang digunakan pun harus ringan sehingga dapat dipindahkan dengan mudah dan tidak mudah roboh ketika terkena dampak gempa.
“Rumah itu sudah memiliki fasilitas sesuai standar rumah inti, yaitu terdapat kamar mandi, kamar tidur, maupun dapur,” bebernya.
Ditambahkan Adjie, Keunggulan lain rumah tersebut bersifat hybrid, yaitu bisa menjadi hunian sementara, kemudian dapat dikembangkan oleh masyarakat menjadi hunian tetap mereka.
“Rumah itu dapat direduksi seperti ruang studio maupun ditambah menjadi rumah yang lebih luas,” tambahnya.
Diharapkan konsep ini dapat segera direalisasikan. Sehingga, rumah yang dibangun ke depannya bisa lebih ramah terhadap bencana alam, khususnya di daerah kaki Gunung Semeru. ”Kami berharap rumah itu bisa lebih resilien dan tidak mudah roboh,” tandasnya. [ina]

Tags: