Kabar Burung

Oleh :
Puji Tyasari

Hari beranjak siang. Sebuah hari yang mendung dan membuat sebagian orang malas beranjak ke luar rumah. Mungkin mereka melanjutkan tidurnya. Atau sibuk beraktivitas di rumah. Atau duduk-duduk saja menikmati hidup. Atau bahkan pergi entah kemana.

Tapi teriakan Mak Inah siang itu mengagetkan warga. Dia berteriak karena baru saja ada maling. Pandangan Mak Inah masih mengarah ke lokasi maling itu melaju. Tentu saja batang hidung maling itu sudah tak tampak. Tapi Mak Inah masih saja berteriak-teriak seperti orang kehilangan kesempatan menang lotre. Para tetangga satu per satu keluar mengerubungi Mak Inah yang saat itu duduk di pelataran rumah. Mereka ingin mendengar kronologi kejadian yang menghebohkan itu.

Teriakan Mak Inah juga mengagetkan Mak Surti dari ujung telepon. Kuping Mak Surti sampai berdenging-denging. Buru-buru perempuan bertubuh subur itu menjauhkan telepon genggam dari kupingnya. Belum sempat Mak Surti bertanya, tapi Mak Inah sudah nyerocos antusias.

“Rumahmu kemalingan, rumahmu dimasuki maling,” kata Mak Inah dengan suara baritonnya yang khas dan memekakkan telinga.

Mak Surti yang di ujung telepon tak kalah kaget. Kabar itu sontak membuat suasana liburan Mak Surti terganggu. Bagaimana tidak, siang itu Mak Surti sedang menghirup udara segar di Bedugul, Bali. Dia masih mengagumi suasana Danu Beratan yang eksotik itu. Apalagi panorama Pura Ulun Danu Beratan yang ada di tepi danau membuat Mak Surti tak henti berdecak kagum. Mak Surti yang saat itu memandangi pemandangan alam dari teras Masjid Al Hidayah itu pun takjub dengan kebesaran Sang Pencipta. Ya, Mak Surti sedang ikut rombongan wisata religi para wali di Bali.

Tapi kabar dari ujung telepon itu membuat pikiran Mak Surti jadi tak karuan. Jantungnya semakin kencang berdegup. Ia tak mau kalah dengan cerocosan Mak Inah. Mak Surti pun mencerca Mak Inah yang masih memiliki hubungan saudara itu dengan serentetan pertanyaan.

“Kapan? Kok bisa? Apa yang hilang? Terus gimana?” belum selesai Mak Surti bertanya. Mak Inah memotong pembicaraan Mak Surti dan menjelaskannya.

“Burung yang harganya jutaan itu hilang. Tiga burung hilang!” jelas Mak Inah singkat, padat, jelas.

Mak Surti lemas. Pikirannya menerawang ke rumah. Dia khawatir dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Burung itu dirawat oleh Mamat, anak laki-lakinya yang sulung. Yang disayangkan, salah satu burung itu adalah milik majikan anaknya itu, yang dititipkan untuk dipelihara dan dilombakan. Tapi untungnya tidak ada korban jiwa dari kejadian itu. Mbak Sri yang ikut dalam rombongan segera menghibur Mak Surti. Dan mengajaknya bersabar, serta kembali menikmati panorama Bedugul.

***

Tapi di lain waktu Mak Inah tak habis pikir. Benar-benar ia seolah tak percaya dengan praduga yang didengar dari suaminya. “Jangan-jangan itu cuma sandiwara saja, skenario si Mamat,” kata Pak Sum, suami Mak Inah.

Mak Inah yang bertubuh tambun itu susah payah membenarkan posisi duduknya untuk lebih dekat pada suaminya. “Sandiwara gimana Pak?” ujarnya penasaran setengah berbisik. Khawatir didengar oleh suami Surti atau anak-anak Surti lainnya.

“Ada yang aneh Bu, bagaimana bisa Mamat tidak kaget saat dikabari burungnya hilang? Ini mencurigakan,” kata Pak Sum antusias.

Pak Sum yang terpaksa pensiun dini sebagai sopir pribadi karena kecelakaan itu mulai merangkai-rangkai logikanya. Pertama, saat kejadian itu rumah dalam keadaan kosong. Mamat pergi entah kemana. Anak-anak Mamat yang masih kecil itu sedang diambil ibunya untuk diajak jalan-jalan. Mak Surti sedang wisata, sedangkan Pak Misnan -suami Mak Surti- tentu saja tidak ada di rumah. Sebab, hari-hari Pak Misnan berada di area pemakaman untuk bekerja. Bagaimana si maling tahu rumah dalam keadaan kosong? Padahal rumah Mamat berada nyempil di belakang rumah Mak Surti. “Jangan-jangan sudah ada kongkalikong,” curiga Pak Sum.

Kedua, pintu rumah bagian depan dalam keadaan tertutup. Tapi di belakang itu ada pintu lagi yang memang tidak dikunci. Burung itu disimpan di lantai dua. Darimana dia tahu burungnya ada di sana?

Ketiga, si maling itu sedang membawa anak. Anaknya yang masih kecil disuruh menunggu di atas motor. Persis di depan rumah Mak Inah. Mak Inah yang saat kejadian itu sedang santai di rumah pun biasa saja. Dia berpikir, orang itu adalah teman si Mamat. Karena, teman si Mamat memang banyak dan sering keluar masuk rumah.

Namun, apes bagi si maling. Dia ketahuan Marni, anak Mak Inah yang saat itu sedang berjalan ke belakang hendak mandi. Si maling maupun Marni sama-sama kaget. Marni pikir, dia teman Mamat yang numpang ke kamar mandi. Maklum, kamar mandi keluarga Mak Inah dan Mak Surti merupakan kamar mandi bersama yang letaknya ada di belakang rumah Mak Surti. Si maling bergegas pergi. Marni yang merasa tak enak, apalagi melihat tabung elpiji sudah dalam keadaan terlepas dan berada di depan kamar mandi pun curiga. Dia segera keluar menemui ibunya. “Buk, itu tadi maling, maling, maling, Buk!” Marni gemetaran.

Keempat, ini yang paling mengherankan. Saat dihubungi, nada bicara Mamat tidak terdengar panik. Bahkan saat itu dia sedang makan. Terdengar lahap sekali. Pun setelah itu, Mamat tidak lapor polisi. Bukankah burung Cucak Ijo langganan juara itu termasuk mahal? Dan, bagaimana jika si Mamat dicurigai oleh si juragannya yang titip burung?

Mak Inah yang sejak tadi mendengarkan penjelasan suaminya jadi manggut-manggut. “Bisa jadi begitu ya, Pak,” katanya yang masih tak yakin. Dalam benaknya masih menyisakan tanda tanya besar. Benarkah kejadian itu hanya skenario Mamat? Mak Inah menarik napas dalam, lalu membuangnya dengan berat.

***

Kabar tentang burung hilang itu seolah menguap begitu saja. Beberapa hari berlalu, tapi Mamat melenggang biasa saja. Tak terlihat raut wajah sedih ataupun menyesal atas kehilangan itu. Saban pagi, dia juga masih memandikan dan menjemur burung Lovebird yang tidak ikut diambil maling.

Malah entah ada angin apa dia memberikan hadiah buat ulang tahun anak bungsunya. Sebuah mobil remote control bermotif Spiderman dengan corak warna yang khas merah dan biru. Sebuah kado yang jauh-jauh hari sangat diharapkan oleh Wawan, anaknya. Tentu saja anaknya itu senang bukan kepalang.

Mamat tak biasanya memberikan kado buat anaknya. Jangankan memberikan kado, memanjakan anaknya pun tidak. Mamat lebih suka memanjakan burung peliharaan daripada anaknya. Biarpun anaknya nangis gulung-gulung, tetap saja Mamat tak peduli. Mak Surti yang akhirnya menolong anak Mamat. Mendiamkannya dan membujuknya dengan di ajak jalan-jalan ke halaman depan rumah Mak Inah. Berulang kali Mak Surti menegur Mamat agar perhatian kepada anaknya, tapi Mamat tak menggubris.

Bagi Mamat, hidupnya kini sedang gandrung pada burung. Ke luar kota pun dilakoni demi untuk ikut perlombaan burung. Mamat bungah luar biasa saat burung yang menjadi jagoannya menang lomba. Untuk urusan sekolah anaknya, Mamat tak tahu menahu. Urusan anaknya, biarlah jadi urusan Mak Surti. Batin Mamat.

Malah pernah suatu ketika anak-anak Mamat ikut-ikutan gandrung burung. Mak Surti ngomel-ngomel tak karuan. Cucu-cucunya itu membeli burung warna-warni seharga seribu rupiah per ekor. Tentu saja mereka tak cukup membeli seekor. Satu sangkar itu bahkan bisa diisi 10 burung.

Sungguh kasihan melihat kondisi burung-burung itu. Terhimpit dalam sangkar sempit. Mereka kehilangan habitat dan kebebasannya. Apalagi, saat bulu burung-burung tak berdosa itu dicabuti sedikit di bagian ekor dan sayap. Tujuannya supaya burung-burung itu tidak giras, terbangnya tidak jauh, dan tidak tinggi. Jadi kalau dibuat mainan anak-anak bisa enak. Terbang rendah dan gampang dielus-elus atau digenggam tangan kecil anak-anak itu.

Ah, bagaimana para aktivis lingkungan tidak mencak-mencak melihatnya? Mereka pasti akan sakit hatinya kalau menyaksikan makhluk mungil bersayap itu tersakiti sedemikian rupa. Jangankan para aktivis lingkungan, Mak Surti pun berulang kali ngoceh melihat kelakuan cucunya. Bedanya, Mak Surti ngoceh karena anak-anak Mamat terus menerus jajan burung. Belum lagi jika burung-burung itu mati karena terlalu sering dibuat mainan.

Kelakuan cucu-cucu Mak Surti itu ibarat buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ya, tentu saja kelakuan mereka meniru si Mamat, bapaknya. Kalau dipikir-pikir, Mamat memang sungguh jatuh hati pada burung. Apalagi Cucak Ijo dan Murai Batu yang jadi favoritnya itu. Burung-burung dengan kicauan super itu memang bagus. Sangat elok dipandang. Tak heran jika banyak orang yang naksir burung milik Si Mamat. Bahkan seekor burung sempat ditawar delapan juta rupiah. Sebuah harga yang fantastis.

Oleh Mamat, burung itu tak dilepas kepada pembeli. Sebab, kata Mamat, burung itu membawa hoki. Buktinya setiap kali ikut lomba, burung Mamat kerap tampil jadi juara. Setidaknya dapat nomor. Tentu saja Mamat dapat hadiah yang lumayan.

Mamat merawat burung itu dengan telaten. Setiap pagi dimandikannya burung itu. Disemprot dengan sukacita dan diberi vitamin. Mau tahu berapa harga vitamin burung? Harganya ratusan ribu.

Karena itu, Mamat tak melepaskan Cucak Ijo dan Murai Batu itu kepada mereka yang naksir. Dia rawat sendiri semampunya. Berharap bisa terus mendatangkan hoki.

Sayang, kejadian kemalingan hari itu membuat orang-orang di sekitar Mamat terkejut. Terutama Mak Surti. Apalagi, burung-burung itu nilainya cukup tinggi. Sungguh apes. Ditawar orang tidak dilepas, burung itu malah hilang. Uang jutaan rupiah itu pun menguap entah kemana.

“Makanya Le, mbok ya anaknya itu diperhatikan. Diajak bermain, diajak jalan, atau minimal diajak ngomong yang baik. Jangan dikit-dikit burung, dikit-dikit burung yang dimanja. Kalau sudah begini, kamu sendiri toh yang rugi,” Mak Surti mendengus kesal menasehati anaknya.

Lalu, prasangka Pak Sum yang mengatakan hilangnya burung itu hanya skenario Mamat nyatanya tak terbukti. Cocoklogi Pak Sum dan Mak Inah itu nyatanya tak benar, hanya kabar burung. Tapi Si Mamat terlanjur tuman. Dia tak kapok membeli lagi burung yang baru. Cucak Ijo dan Murai Batu!

Tentang Penulis :
Puji Tyasari
Alumni Sosiologi, FISIP, Unair. Suka menulis.

——— *** ———-

Rate this article!
Kabar Burung,5 / 5 ( 2votes )
Tags: