Kala Seorang Wartawan Menulis Puisi dan Dibacakan di Panggung Seni

Dyah Ayu Setyorini yang akrab disapa Ading membacakan karya puisinya berjudul Cerita tentang Penyihir di Balai Pemuda Surabaya bersama 14 wartawan, Selasa (20/2) malam. [gegeh bagus/bhirawa]

Bisakah jurnalistik dan puisi disatukan? Bagi seorang Dyah Ayu Setyorini, dua kutub yang mempunyai pakem berbeda itu sangat bisa dilakukan. Ading sapaan akrabnya yang kesehariannya jadi wartawan media online berkantor di Surabaya ini menulis puisi dengan gaya seorang wartawan.

Surabaya, Bhirawa
Kemeriahan Hari Pers Nasional (HPN) di Kota Surabaya masih hangat terasa. Sebanyak 14 penyair yang berprofesi sebagai wartawan secara bergantian membacakan puisi karyanya di Gedung Barat Balai Pemuda, Selasa (19/2) malam.
Menariknya , ada wajah baru yang turut andil menghiasi dunia seni di Kota Pahlawan ini. Ia adalah Ading. Perempuan berjilbab ini sebelum masuk dunia jurnalistik telah getol menggeluti dunia seni, khususnya teater.
Ia beberapa kali menjadi sutradara dan aktor di Teater Gapus Surabaya. Dan saat ini tengah menyiapkan satu proyek bersama No-exit Theatre, yang mana ia juga menjadi sutradara sekaligus penulis naskah.
Selain itu, Ading juga menulis beberapa puisi yang telah dimuat di media cetak pada 2012 dan majalah Pandji Balai edisi ke-2 tahun 1 terbitan Dinas Kebudayaan Jawa Timur. Ading menyampaikan bahwa di jurnalistik teknik penulisannya harus selugas mungkin. Berdasarkan fakta dan data bahkan jika ingin menambahkan opini pribadi harus di tajuk tersendiri.
“Sedangkan di puisi, data fakta dan lain-lain tidak diperlukan. Bahkan konten itu sendiri adalah subjektif. Kebenarannya secara struktural tidak dapat dirujuk pada suatu apapun,” ulasnya.
Menurutnya, dalam bahasa jurnalis harus bisa dipahami. Setidaknya jika memang ada diksi yang sengaja dibuat ambigu tetap saja bahasanya lugas. “Di puisi tidak demikian, salah satu yang paling mutlak adalah metafor. Dan metafor menciptakan bias yang yang sulit dirujuk meskipun dianalisis dengan teori apapun kebenarannya tetap pada si penulis. Sedangkan di jurnalistik kebenaran harus diungkapkan,” terangnya.
Ia menekankan bahwa puisi itu hampir semua adalah lirik. Meski demikian, lanjut Ading, puisi lirik tetap ada kritik di dalamnya kerena puisi tercipta dari kontemplasi perenungan dan pemikiran jelas, paling tidak ada selfcritic. “Jadi intinya tetap akan ada pembeda antara jurnalistik dan sastra. Apalagi berita dan puisi,” imbuhnya.
Kegiatan pembacaan puisi dengan judul Wartawan Penyair Baca Puisi ini masih dalam rangkaian Bengkel Sastra, salah satu agenda sastra bulanan Bengkel Muda Surabaya.
Hanya ada dua perempuan di empat belas nama tersebut, yakni Sirikit Syah yang namanya tidak asing lagi di telinga para jurnalis maupun seniman Surabaya dan seorang wajah baru dalam kumpulan wartawan penyair tersebut, yakni Dyah Ayu Setyorini.
Sementara, Ketua Umum Bengkel Muda Surabaya (BMS), Heroe Budiarto mengatakan Februari bertepatan Hari Pers Nasional, khususnya HPN 2019 dipusatkan di Surabaya, maka Bengkel Sastra periode Februari 2019 Bengkel Muda Surabaya mengundang penyair-penyair yang berprofesi sebagai wartawan untuk membacakan puisi-puisi karyanya di Bengkel Sastra.
Adapun Bengkel Sastra pada Maret 2019 ada pentas baca puisi dan monolog sastrawan/dramawan dari Kota Batu, April 2019 pentas sastra berjudul Panggil Aku Kartini Saja (naskah ditulis Leres Budi Santoso berdasar novel Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer). [geh]

Tags: