Kobar Api Menuju Indonesia Merdeka

Judul Buku : Mencapai Indonesia Merdeka
Penulis : Ir. Soekarno
Penerbit : Diva Press
Cetakan : Pertama, Januari 2021
Tebal Buku : 156 Halaman
Peresensi : Slamet Makhsun
Mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga

Soekarno merupakan aktor penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Ia seakan menjadi ‘utusan Tuhan’ yang bertugas memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajahan. Begitu pula sepak terjangnya dalam melawan kolonial, telah melahirkan semangat juang nasionalisme yang sampai detik ini, masih bisa dirasakan.

Bung Karno-demikian panggilan akrabnya-adalah dikenal apik dalam hal berorasi. Ia seorang orator ulung. Pidato-pidatonya yang menggebu-gebu telah berhasil menghidupkan percikan api semangat bangsa Indonesia untuk berkonfrontasi dengan gigih melawan penjajah. Terbukti, ia bersama rekannya, Bung Hatta, dapat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada Hari Jumat, 17 Agustus 1945-sebagai bukti rigid bahwa bangsa Indonesia, sejak saat itu telah berdaulat penuh atas dirinya sendiri.

Kobaran api orasinya Sukarno, ternyata juga sama ditemui dalam buku-buku karyanya. Diksi-diksi yang diambil, penuh arti nasionalis dan optimisme menuju kemerdekaan Indonesia. Juga dalam beragam tulisannya, ia dengan jelas memetakan bagaimana ideologi yang harus diambil bangsa Indonesia, beserta ragam caranya dalam melawan penjajah.

“Welnu, bagaimanakah kita bisa menjelmakan pergerakan yang bewust dan radikal? Dengan suatu partai! Dengan suatu partai yang mendidik rakyat jelata itu ke dalam ke-bewest-an dan keradikalan. Partai yang demikian… bukan partai borjuis, bukan partai ningrat, bukan ‘partai Marhaen’ yang reformistis, bukan pun ‘partai radikal’ yang hanya amuk-amukan saja, tetapi partai Marhaen yang radikal yang tahu saat menjatuhkan pukulan-pukulannya,” (hal 16).

Untuk meruntuhkan stelsel imperialisme dan kapitalisme-nya penjajah, Soekarno menuliskan bahwa cara yang paling pokok ialah merdeka. Dengan mencapai kemerdekaan, bangsa Indonesia bisa leluasa mendirikan masyarakat baru yang tiada kapitalisme dan imperialisme. Dapatkah Ramawijaya mengalahkan Rahwana Dasamuka, jikalau Ramawijaya itu masih terikat kaki dan tangannya?-begitu paparnya.

Penjajahan tidak hanya dilakukan oleh orang asing, namun sesama bangsanya sendiri pun saling menjajah, menindas. Sebelum Belanda menginjakkan kaki di tanah air, kolonialisme telah ada yang bermetamorfosa sebagai penguasa atau raja yang feodal, tuan tanah yang semakna-mena, atau kaum-kaum yang mengaku agamawan yang ‘menghisap darah’ jamaahnya.

Atas dasar itu, Sukarno benar-benar ‘mengikhtiarkan kemerdekaan nasional’. Yakni, jika kemerdekaan Indonesia telah dipegang, jangan sampai yang menduduki tampuk kekuasaan kaum-kaum borjuis Indonesia, kaum ningrat, atau kaum-kaum kapitalis lainnya. Kaum Marhaen-kaum yang memperjuang wong cilik-harus menjaga di dalam kemerdekaan nasional itu, bahwa kaum Marhaenlah yang wajib memegang penuh tampuk kendali kekuasaan negara.

Problem intern penghalang bangsa Indonesia dalam menggapai kemerdekaan, menurut Sukarno, sejatinya juga terletak pada ke-taklid-an dan ketundukkan mereka kepada kaum Ningrat, yang sejak zaman Hindu-Buddha-Islam telah berkuasa secara feodal. Mereka menjadi aktor penting dalam agama dan kepercayaan yang dipeluk masyarakat kita. Dan, mau tidak mau, masyarkat terpaksa tunduk pada kaum Ningrat karena alasan taat dengan agama dan keperecayaan yang dianut tersebut.

Selain kaum Ningrat, kaum pemodal, tuan tanah, kaum berpunya, serta kaum pemilik industri yang jumlahnya sedikit ini, sama halnya telah membudakkan bangsa Indonesia. Mereka anggap bahwa bangsa yang miskin dan didera ‘buta huruf’ ini, pantas dijadikan kawulo. Dengan semua mereka itu, kaum Marhaen mengajukan demokrasi gotong royong, dalam bentuk sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme. Hingga nantinya, kaum Marhaen berhasil mendirikan suatu masyarakat yang tiada keningratan dan keborjuisan, tiada kelas-kelas, dan tiada kapitalisme.

Selama masih ada ketimpangan ekonomi antara yang satu dengan lainnya, maka selama itu pula bangsa Indonesia belum merdeka. Jika disepakati bahwa sesama bangsa Indonesia adalah saudara, mengapa masih terjadi sesama anak bangsanya sendiri, saling makan dan saling tindas?

Oleh sebab itu, Sukarno turut menawarkan gagasan Marxisme-nya. Ia mengatakan, semua bangsa Indonesia adalah senasib seperjuangan, semua saling bersaudara. Tidak boleh ada ketimpangan atau saling makan satu sama lain. Tidak ada yang boleh menindas satu dengan yang lainnya. Sehingga, semua bangsa Indonesia bersatu padu dalam membangun ekonomi. Bersatu padu dalam melaksanakan semangat nasionalisme. Jika hal itu bisa dikerahkan, maka bangsa Indonesia akan memiliki negara dan ekonomi yang kuat, sehingga orang-orang asing-kapital tiada yang berani dan mampu untuk menjajah Indonesia. Merdeka!!!

——– *** ——–

Rate this article!
Tags: