Kurikulum Merdeka dengan Pembelajaran Inklusif

Oleh:
Roby Zulkarnain Noer
Mahasiswa S-3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

Kita sering mendengar pemeo “Ganti Menteri, Ganti Kurikulum”. Namun faktanya, laju perubahan kurikulum nasional kita sebenarnya tidak terlalu cepat, bahkan melambat. Perhatikan, sejak ditetapkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, laju perubahan kurikulum melambat dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) pada 2004, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) pada 2006, dan yang terakhir adalah Kurikulum 2013 (K-13) pada 2013.

Kurikulum Merdeka baru menjadi kurikulum nasional pada 2022. Dengan kata lain, pergantian berikutnya baru terjadi setelah kurikulum yang sebelumnya (K-13) diterapkan selama sembilan tahun dan melewati setidaknya empat menteri pendidikan. Maka, fakta ini mematahkan pemeo “Ganti Menteri, Ganti Kurikulum”.

Permasalahan yang dihadapi oleh pendidik sejak 2020 ketika adanya pandemi Covid-19 menjadi sebuah trigger di mana Kurikulum Merdeka diluncurkan setelah menghadapi terpaan pandemi Covid-19 yang luar biasa dan berdampak pada Learning Loss bagi peserta didik. Tujuan Kurikulum Merdeka lebih awal di-launching yang semula direncanakan pada 2024 memiliki maksud untuk mengatasi krisis pembelajaran dan mendorong pemulihan kualitas belajar. Lebih dari 140.000 satuan pendidikan telah memilih dan menerapkan Kurikulum Merdeka pada tahun pelajaran 2022/2023.

Berdasarkan hasil riset dari Ineu Sumarsih, dkk (2022) terkait implementasi Kurikulum Merdeka di SD memiliki banyak keunggulan di antaranya memberikan dampak yang besar pada peserta didik seperti terwujudnya akhlak yang mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, gotong royong, dan rasa kebhinekaan. Hal tersebut sejalan dengan harapan Kemendikbud dalam pelaksanaan Kurikulum Merdeka.

Faktanya, saat ini sekolah yang telah menerapkan Kurikulum Merdeka merasakan tiga keunggulannya. Pertama, Kurikulum Merdeka berfokus pada materi esensial sehingga guru tidak terburu-buru dalam mengajar, bisa memperhatikan proses belajar peserta didik, dan menerapkan pembelajaran yang mendalam. Kedua, Kurikulum Merdeka mengalokasikan jam pelajaran khusus bagi pengembangan karakter melalui proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila. Ketiga, Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas bagi sekolah untuk merancang kurikulum operasionalnya sendiri serta bagi guru untuk menyesuaikan pembelajaran dengan tingkat kemampuan peserta didiknya.

Kerangka kurikulum yang fleksibel ini nantinya akan memudahkan sekolah yang minim fasilitas dan atau yang berada di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) untuk merancang pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya.

Agar permasalahan terkait kurikulum di pendidikan Indonesia memperoleh solusi yang tepat, maka perlu adanya penyelenggaran pembelajaran yang inklusif. Perkembangan dalam dunia pendidikan erat kaitannya dengan kurikulum yang merupakan instrumen penting sebagai kontribusi untuk menciptakan pembelajaran yang inklusif. Inklusif tidak hanya tentang menerima peserta didik dengan kebutuhan khusus. Namun, inklusif artinya satuan pendidikan mampu menyelenggarakan iklim pembelajaran yang menerima dan menghargai perbedaan, baik perbedaan sosial, budaya, agama, dan suku bangsa. Pembelajaran yang menerima bagaimanapun fisik, agama, dan identitas para peserta didiknya.

Dalam Kurikulum Merdeka ini, pembelajaran inklusif tecermin melalui pembelajaran berdiferensiasi. Menurut (Wiwin, 2021) pembelajaran berdiferensiasi merupakan pembelajaran dengan mengakomodasi seluruh kebutuhan peserta didik (Student Centered). Guru diharapkan dapat melakukan analisis kebutuhan (Need Assesment) sebelum memulai pembelajaran dikarenakan setiap peserta didik dengan karakteristik penyandang disabilitas itu unik.

Hasil dari analisis kebutuhan inilah yang nantinya menjadi modal awal guru mengelola pelayanan sesuai dengan ketunaan peserta didik. Dalam konteks terkait kurikulum yang dibahas yaitu kurikulum merdeka, John McNeil (1985) mendefinisikan Need assessment sebagai: “the process by which one defines educational needs and decides what their priorities are”. Sepemahaman dengan McNeil, Seels dan Glasglow (1990) menjelaskan definisi need assessment :”it meqns a plan for gathering informasition about discrepancies and for using that information to make decisions about priorities”.

Sedangkan menurut Anderson analisis kebutuhan diartikan sebagai suatu proses kebutuhan sekaligus menentukan prioritas. Need Assessment suatu cara untuk mengetahui perbedaan antara kondisi yang diinginkan (should be /ought to be) atau diharapkan dengan kondisi yang ada (what is). Kondisi yang diinginkan sering kali disebut dengan kondisi ideal, sedangkan kondisi yang ada, sering kali disebut dengan kondisi real atau kondisi nyata.

Maka perlu adanya pembelajaran yang inklusif juga melalui penerapan profil pelajar Pancasila, misalnya dari dimensi kebhinekaan global dan akhlak kepada sesama serta dari pembelajaran berbasis projek (Project Based Learning). Pembelajaran berbasis projek ini nantinya akan otomatis memfasilitasi tumbuhnya toleransi sehingga terwujudnya pembelajaran yang inklusif.

Pembelajaran inklusif ini telah diatur sejak 2009 dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Apabila berbicara mengenai sistem Pendidikan Inklusi maka penamaan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) sudah berubah menjadi Penyandang Disabilitas. Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas pada pasal 9 menyampaikan bahwa Ragam Disabilitas meliputi: a) penyandang disabilitas fisik, b) penyandang disabilitas intelektual, c) penyandang disabilitas mental, d) penyandang disabilitas sensorik yaitu: 1) disabilitas Netra, 2 disabilitas rungu dan atau Wicara.

Tentunya dalam pembelajaran peserta didik penyandang disabilitas ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam setiap pembelajarannnya. Kita semua tahu dalam Kurikulum Merdeka memiliki alur yang harus dilalui guru dalam menentukan alur tujuan pembelajaran (ATP). Proses tersebut merupakan kompetensi inti dan kompetensi dasar dilebur menjadi capaian pembelajaran (CP) setelah itu CP dianalisis menjadi tujuan pembelajaran kemudian disusun menjadi alur tujuan pembelajaran (ATP). Nah, ATP inilah yang digunakan menjadi modul ajar.

Pertanyaannya, apakah pendidikan inklusi juga menggunakan capaian pembelajaran (CP) yang sama dengan pendidikan reguler? Jawabannya adalah CP pendidikan inklusi disusun berdasarkan CP reguler yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan penyandang disabilitas. CP ini bersifat fleksibel karena dibuat secara global dan dapat diterapkan untuk semua ketunaan dengan patokan kondisi peserta didik berhambatan intelektual.

Untuk peserta didik yang tidak memiliki hambatan intelektual, dapat tetap menggunakan CP yang sama dengan satuan pendidikan reguler. Peserta didik penyandang disabilitas juga dapat menggunakan berbagai sumber belajar yang relevan termasuk buku. Untuk saat ini pemerintah telah menyediakan buku panduan guru yang terdiri atas panduan pelaksanaan pendidikan inklusif, panduan pelaksanaan program pembelajaran individual (PPI), panduan asesmen, dan pembelajaran pendidikan khusus. Menurut (Olifia Rombot, 2017) menyatakan bahwa pendidikan inklusi menyatakan pengembangan kurikulum dapat dilakukan sebagai upaya menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan tujuan pembelajaran dapat tercapai dalam pendidikan inklusi.

Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif yang dimaksud di atas telah diluncurkan pada Juni 2021 oleh Pusat Kurikulum dan perbukuan Kemdikbud RI. Panduan ini merupakan salah satu kelengkapan yang dapat digunakan untuk implementasi kurikulum pendidikan khusus, baik di sekolah luar biasa (SLB) maupun sekolah inklusi.

Penyusunan panduan ini bertujuan untuk memandu stakeholder memahami pendidikan inklusi sehingga dapat menyediakan layanan pendidikan yang sesuai untuk peserta didik berkebutuhan khusus. Panduan ini menyajikan langkah implementasi pendidikan inklusi di indonesia, antara lain penerimaan peserta didik baru (PPDB), identifikasi dan asesmen, penyusunan profil peserta didik, perencanaan pembelajaran, penyusunan profil peserta didik, perencanaan pembelajaran dan bahkan hingga cara memodifikasi kurikulum serta program pembelajaran individual bagi penyandang disabilitas.

Namun, kadang timbul permasalahan saat proses penerimaan peserta didik baru (PPDB). Banyak satuan pendidikan memiliki rasa pesimis dengan alasan belum siap dengan sumber daya manusia (SDM), belum siap dengan infrastruktur apabila terdapat peserta didik yang membutuhkan penanganan individual, dan bahkan ‘takut’ karena tidak ada instruksi dari dinas pendidikan provinsi, kota/kabupaten setempat untuk melaksanakan penerimaan peserta didik baru dengan jalur afirmasi penyandang disabilitas. Memang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah diatur dalam Pasal 12 bahwa jalur pendaftaran PPDB adalah jalur zonasi dan jalur afirmasi. Penjelasan jalur afirmasi dijelaskan pada paragraf 3 pasal 21, yaitu jalur afirmasi adalah a) berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu; b) penyandang disabilitas.

Dari landasan yuridis inilah harusnya dinas pendidikan baik provinsi, kota/kabupaten berkewajiban untuk dapat melaksanakan dan mengimplementasikan Kurikulum Merdeka yang dibarengi dengan semangat melaksanakan pembelajaran inklusif yang terbuka untuk seluruh siswa. Karena kita harus meyakini setiap orang berhak untuk mendapatkan akses pendidikan yang sama.

————– *** —————

Tags: